"Ah tunggu sebentar." Tegar menghalangi langkah Harun saat pria itu hendak masuk ke dalam mobilnya. Dia juga masih bersama Tian. "Kita ingin mengobrol, ayok minum kopi bersama di cafe," ajaknya.
"Maaf, Pak. Tapi ini sudah larut dan saya juga sangat sibuk," tolak Harun dengan lembut. Tetapi tetap saja dia dihalangi untuk masuk ke dalam mobil. Bahkan pintu mobilnya sudah ditutup secara paksa oleh Tian.
"Kita mau meminta harta warisan Kak Danu. Berikan salah satu dari kita 50%." Tegar bicara dengan terang-terangan. Sebab memang inilah yang dia dan adiknya tunggu. Menunggu Danu meninggal lalu meminta harta warisan.
"Tentang pembagian harta warisan nanti saya akan menyampaikannya setelah Almarhum Pak Danu dimakankan. Juga setelah Nona Citra tenang," jelas Harun.
"Sekarang saja. Dan kau tidak perlu memberitahu Citra, dia masih dibawah umur. Biar aku saja yang menjadi walinya, warisan Citra gabungkan dengan warisanku," ujar Tegar kembali.
"Nanti saat sudah waktunya baru saya sampaikan. Dan Nona Citra juga sudah menikah, Pak. Pak Stevenlah yang akan menjadi walinya nanti."
Mereka berdua tampak membulatkan matanya. Cepat-cepat Harun masuk ke dalam mobil, sebelum kedua pria yang saat ini tengah kaget itu menghentikannya lagi.
"Ah sialan! Aku baru ingat Citra sudah menikah. Brengs*k sekali Steven! Pasti ini semua rencananya untuk mencicipi harta warisan kakakku!" Tegar mengumpat dengan penuh kekesalan.
Dia tentu tahu, sebelum Citra genap 20 tahun, harta warisan gadis itu akan dipegang oleh orang yang menjadi walinya. Rencana awalnya yang ingin menjadi walinya Citra sehingga setengah harta itu bisa menjadi miliknya—kini sirna. Semua itu lantaran keponakannya sudah menikah.
"Kita bisa-bisa hanya dapat seperempat, Kak," keluh Tian. Dia juga sama kesalnya. "Kenapa juga Kak Danu mengizinkan Citra dinikahi perjaka tua itu! Harusnya jangan!"
"Nanti kita lihat dulu apa yang dikatakan Harun." Tegar membuang napasnya kasar seraya merangkul bahu adiknya, lalu mengajaknya untuk masuk ke dalam mobil.
***
Keesokan harinya.
Steven keluar dari kamar mandi rumah sakit dengan pakaian rapih. Setelan jas yang selalu melekat pada tubuhnya. Dia semalaman tidak bisa tidur, pikirannya tak karuan. Apalagi melihat Citra yang belum sadar dari pingsannya.
"Lho, di mana Citra?" Steven tampak terkejut melihat ranjang pasien sudah tak ada gadis itu. Tadi dia ingat sebelum mandi Citra masih ada.
Lantas, cepat-cepat Steven keluar dari kamar inap itu. Dari kejauhan—dia melihat ada seorang gadis yang tengah menangis sambil berlari yang entah mau ke mana. Tetapi arahnya keluar rumah sakit.
Steven langsung berlari mengejarnya saat tahu dia adalah Citra. Tepat di pinggir jalan, gadis yang tengah bersimpuh di bawah sambil menangis tersedu-sedu itu dia tarik lengannya hingga berdiri, lalu segera memeluk tubuhnya.
"Citra, kamu mau pergi ke mana?" Steven takkan bertanya dia kenapa, sebab saat ini dia tahu Citra pasti sangat berduka.
"Aku mau lihat Ayah dimakamkan, Om. Kenapa aku nggak diberitahu?" Citra masih terisak dengan tangis. Saat bangun tidur, dia langsung teringat jika ayahnya itu telah meninggal. Lalu dia pun bertanya pada dokter tentang kemana jenazah ayahnya. Dan dia berkata kalau saat ini beliau sudah dibawa pulang dan akan dimakankan.
"Ayok ikut denganku. Kita akan pergi ke pemakaman Ayah." Steven segera merangkul punggung gadis itu, lalu membawanya masuk ke dalam mobil.
Dalam perjalanan, Citra terus saja menangis. Steven sesekali menoleh ke arahnya, dia merasa kasihan. Perlahan lengannya terulur, lalu mengusap puncak rambutnya.
Citra langsung menoleh, dilihat Steven menyunggingkan tersenyum sampai kedua lesung pipinya terlihat. Dan dia pun segera menurunkan pandangan.
Bukan karena tak suka, jelas sekali dia suka dengan senyuman Steven dan malah membuat hatinya meleleh. Tetapi untuk saat ini, rasa sedihnya terlalu besar hingga menepis semua rasa yang lain.
***
Mereka sama sekali tak telat datang. Jenazah Danu baru saja dimasukkan ke liang lahat dan Citra ikut menyaksikan. Tetapi lagi-lagi gadis itu jatuh pingsan karena sangking tak kuatnya menahan luka.
Pada akhirnya, Steven juga tak bisa ikut melihat proses pemakaman itu sampai selesai. Dia mengendong Citra dan membawanya masuk kembali ke dalam mobil.
Namun, saat dia hendak membuka pintu di tempat kursi kemudi, tiba-tiba pintu mobilnya dihalangi oleh Tegar. Pria itu berdiri bersama Tian.
"Mau dibawa ke mana si Citra? Dia biar tinggal bersamaku!" tegas Tegar. Dia langsung menghampiri pintu mobil yang tepat di mana Citra berada, tetapi dengan cepat Steven memencet tombol pada kunci untuk menguncinya.
"Citra istriku. Dia akan tinggal bersamaku!" sahut Steven tegas. "Aku tahu Om ke sini untuk membahas masalah harta warisan, kan? Ayok ikut bersamaku. Aku akan meminta Pengacara Harun untuk membacakannya."
Steven yakin, dua pria itu datang pemakaman hanya semata-mata ingin bertemu Harun. Sebab tadi juga dia tak sengaja mendengar bahwa kedua pria itu meminta Harun untuk membahas masalah harta warisan setelah Danu dimakamkan.
Setelah itu, Steven pun langsung masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya. Tegar dan Tian pun cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Kemudian mengikuti kemana arah mobil putih Lamborghini itu melaju.
***
Citra mengerjapkan matanya, dia bangun dan langsung kaget saat sekarang tubuhnya berada di atas kasur, dalam kamarnya sendiri. Sudah lama sekali dia tak tidur disitu, sebab hampir setiap malam tidur di rumah sakit.
Citra bangun dan berjalan keluar dari kamar, dia teringat saat proses pemakaman itu berlangsung lalu dia pingsan. Dan saat ini niatnya ingin pergi ke sana lagi.
Namun, langkahnya terhenti di ruang tamu. Di sana ada Harun, Tegar, Tian, Gugun dan Steven. Para lelaki itu tengah duduk di sofa, dan Steven yang melihat Citra berdiri langsung dia hampiri.
"Ada apa ini, Om? Kenapa pada kumpul? Bukannya Ayah sedang dimakamkan?" tanya Citra binggung. Wajahnya terlihat sedih.
"Pemakamannya sudah selesai dan sekarang kita semua mau mengobrol. Kamu ikut saja, cukup mendengarkannya," ujar Steven lembut. Kemudian dia mengajak Citra untuk duduk di sofa panjang berdua dengannya.
"Baik, sebelum itu. Saya akan memberitahu terlebih dahulu. Jika sebelum Almarhum Pak Danu meninggal ... beliau membuat surat wasiat," ujar Pengacara Harun. Dia duduk di tengah-tengah dan sejak tadi memegang map coklat.
Tegar dan Tian langsung membulatkan matanya. Merasa terkejut.
"Surat wasiat itu apa, Om?" tanya Citra polos.
"Sebuah pesan yang Pak Danu tulis sebelum dia meninggal. Kita yang mendapatkan amanahnya harus menjalankan wasiat," jelas Harun.
Terlihat Citra diam saja tetapi dia sedikit memahami, kepalanya mengangguk pelan. Perlahan pria berkacamata itu membuka isi dalam map tersebut lalu membacakannya.
"Tentang pembagian harta warisan. Pak Danu Siregar telah menyerahkan hartanya untuk Nona Citra Putri Siregar sebesar 80%, untuk pemilik saham 10% dan untuk Pak Tegar Siregar dan Tian Siregar adalah 10%," jelas Harun.
Sontak saja, kedua mata Tegar dan Tian kembali membulat sempurna. Tangan Tegar dengan cepat merampas sebuah kertas yang berada di tangan Harun, kemudian membacanya sebab tadi tak percaya.
"Apa-apaan ini? Kapan Kak Danu membuat surat wasiat? Dan kenapa aku dan Tian hanya dapat 10% dibagi dua?!" pekik Tegar tak terima.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 483 Episodes
Comments
Wirda Wati
Dasar gila harta..
Abang nya baru dimakamkan...
2024-01-23
1
Maulana ya_Rohman
gak beres otak nya para adik² p. Danu nih🤔🤔🤔🤔
2023-09-05
1
Sarini Sadjam
tanah kuburan aja masih basah, dasar serakah 2T jgn tian thour tegar, sama togar
2023-08-20
0