Manya mematung sedang Jovan menatap lekat netra coklat gelap yang juga memandangnya. Sebuah getaran timbul di seluruh tubuh keduanya. Leticia yang cemburu berdehem keras.
Manya tersadar, lalu menundukkan wajah dan melepaskan cengkraman tangan pria itu di bahunya.
"Sa—saya akan—akan melakukan yang terbaik tuan," cicitnya gugup.
Jovan tampak tertegun ada dorongan hebat dari hatinya untuk membuka masker yang menutupi separuh wajah wanita di depannya.
'Itu tidak sopan!' tegurnya keras.
Tiba-tiba Leticia bergelayut di tangannya dan menatap Manya sinis.
"Sayang, kau membuatnya takut," rajuknya lalu menjauhkan tubuh pria itu dan berhasil.
Abraham mendekati Manya yang gugup. Pria itu sangat merasakan kegugupan wanita di depannya.
"Dokter, maaf jika putraku terlalu memaksa, tentu kau ...."
"Uugghh!" Maira tersadar.
"Mami ... mami ... kau tidak apa-apa kan ... hiks ... hiks!"
Leticia langsung berhambur ke ranjang Maira dan menangis tersedu di dada wanita itu.
"Nona, jangan seperti itu!" tegur perawat.
Perawat itu menjauhkan Leticia yang langsung menolak dan memaki perawat.
"Jauhkan tangan kotormu dari tubuhku!"
"Leticia!" tegur Abraham.
"Papi ... aku hanya ...."
"Keluar kau dari sini!" usir Abraham.
"Papi ... aku ...."
"Praja!"
Praja langsung menyeret gadis itu keluar dengan membekap mulut Leticia. Ketika di depan pintu, Praja menghempaskan tubuh gadis itu begitu saja. Pria itu menatap jijik tangan yang membekap mulut sang gadis. Ia mengusap tangannya ke tembok, seakan berusaha menghilangkan najis di telapak tangannya.
"Aku pastikan kau keluar dari kehidupan Jovan, Praja!" ancam Leticia berang dan merasa tersinggung.
"Ck ... jangan repot nona, aku seorang Dinata, walau hanya anak angkat. Tapi, aku adalah bagian penting di keluarga ini!" tekan pria itu sinis.
"Kau itu cuma noda Praja ... noda! Aku pastikan dengan tanganku sendiri yang mencuci dan menghilangkan noda itu!" tekannya.
Praja hanya menatapnya acuh tak acuh. Ia mengusir gadis itu seperti mengusir ayam liar.
"Hush ... hush ... pergi sana!"
Leticia menghentakkan kakinya kesal dan pergi meninggalkan rumah sakit itu. Dalam otaknya ia mulai memikirkan rencana untuk kembali merebut perhatian Maira.
"Cukup dua tahun kalian mengabaikan diriku Keluarga Dinata! Aku adalah keluarga Artha. Kekayaan dan kekuasaanku jauh lebih banyak dan lebih hebat dibandingkan dirimu!" ujarnya dengan tatapan licik.
Dengan langkah bak peragawati, gadis itu melenggak-lenggok meninggalkan rumah sakit.
"Antarkan aku ke rumah!" titahnya ketika naik mobil Abraham.
Supir tentu saja bingung. Tanpa persetujuan tuannya, ia bergeming sesaat, hingga.
"Apa kau tuli! Kupastikan kau akan dipecat oleh majikanmu jika tak menurutiku!" teriaknya mengancam.
Karena takut, pria itu pun segera mengantar nona sombong itu pulang ke rumahnya.
Sedang di ruang perawatan Maira. Wanita itu sempat shock ketika Leticia memeluk dan menangis dengan dramatis di dadanya.
"Jadi apa yang nyonya rasakan sekarang?" tanya Manya dengan suara bergetar.
Sungguh hati, pikiran dan tindakan Manya tak searah. Ada rasa sakit, rindu dan benci membaur menjadi satu. Maira mengerutkan kening ketika melihat kegugupan dokter di depannya.
"Dokter, jangan gugup seperti itu, aku tak akan memakanmu," seloroh Maira.
Manya sedikit terhibur. Wanita itu menekan semua kegugupannya dan berhasil.
"Maaf nyonya, anda adalah ibu dari kepala rumah sakit kami, jadi saya merasa gugup," sahutnya tersenyum walau tak terlihat karena ia memakai masker.
"Jadi apa yang anda rasakan nyonya?"
"Saya merasa pusing dan sedikit gemetar dok," jawab wanita itu.
Lalu terjadilah tanya jawab rinci antara dokter dan pasien. Maira diminta banyak istirahat dan mengeluarkan semua ketakutannya.
"Saya akan merekomendasikan ahli jiwa, agar kejadian ini hilang dari ingatan nyonya," ujar Manya memberi saran.
"Untuk sementara, anda saya sarankan berlibur dan melakukan kegiatan positif agar meringankan beban anda, nyonya," lanjutnya lagi.
"Terima kasih dok. Saya merasa lebih baik, mungkin jika putra saya menikah dan memberi saya cucu jauh lebih baik lagi," cetus wanita itu sambil melirik putranya.
"Mi, aku sudah bilang aku sudah menikah!" sahut Jovan putus asa.
"Lalu mana istrimu itu Jovan!" teriak Maira kesal bukan main pada putranya.
"Jangan karena ingin menolak semua calon ...."
"Maaf nyonya, saya permisi, tapi tolong kendalikan diri anda," potong Manya cepat.
Manya mengajak perawat ikut pergi dari ruangan itu. Sementara Jovan menatap kepergian sang dokter. Ia begitu merasa familier dengan suara dan harum tubuh wanita itu.
"Siapa dia ... apa aku mengenalnya?" tanyanya dalam hati.
Dekat dengan Manya hanya tiga bulan dan berpisah mendadak selama nyaris dua tahun. Tentu banyak yang berubah pada diri wanita itu. Dari sifat dan kepribadian yang lebih sabar dan "ngemong" [1].
"Dok, tadi dokter gugup karena yang anda tangani itu ibu dari kepala rumah sakit ya?" lamunan Manya buyar seketika.
"Ah ... eh ... iya, saya takut terjadi kesalahan," jawabnya gugup.
"Saya juga takut dok, pas tau jika itu adalah ibu dari kepala rumah sakit kita," ujar perawat itu.
"Oh ya, delapan menit lagi jam besuk berakhir, tolong ingatkan seluruh pengunjung untuk meninggalkan. pasien yang dirawat," pinta Manya pada perawat.
"Termasuk nyonya tadi?" Manya menatap perawat itu dan mengangguk.
"Ah ... dok," rengeknya, ia benar-benar takut.
Manya terkekeh, ia melepas maskernya. Lalu mengusap bahu gadis itu.
"Kau harus mengingatkannya, suster. Demi kebaikan pasien," ujarnya dengan senyum manis.
Perawat itu menghela napas panjang. Jam kerja Manya selesai. Ia akan pulang bersama tujuh anaknya. Menatap benda melingkar di lengan kirinya.
"Astaga, aku sudah tak bertemu anak-anak ku selama enam jam?" pekiknya tertahan.
Wanita itu berlari menuju ruangan lain. Di sana ketujuh anaknya sudah tidur bersama empat suster yang merawatnya. Ketika datang ia mengecupi satu persatu mereka.
"Maafin mama ya sayang," ujarnya.
"Apa mereka rewel sus?" tanyanya.
"Sangat cerewet dokter," jawab keempatnya dengan senyum gemas.
Manya terkekeh, ia akan mulai berpikir untuk tidak lagi membawa semua anaknya bekerja. Ia takut jika pria yang selama ini hilang itu kembali dan menemukan dirinya bersama tujuh anak pecahan pria itu.
"Ck ... kenapa semuanya mirip dengan laki-laki itu!" dumalnya kesal dalam hati.
Empat suster mendorong tiga stroller ke dalam mobil. Menjadikannya bangku khusus dan terikat kuat di jok belakang. Satu suster duduk di sebelah Manya yang menyetir sedang yang tiga nampak seperti berhimpitan di tengah.
"Maaf ya, jika mobilnya kecil," ujar Manya menyesal.
"Sudah nyonya ayo jalan, jika terlalu lama, kami akan berubah jadi kerdil!' seloroh salah satu suster.
Manya menjalankan mobilnya pergi meninggalkan rumah sakit. Sedang di ruangan Maira, Abraham akan pamit pulang.
"Sayang, jangan terlalu banyak berpikir," ujar pria itu.
"Aku sudah meminta Praja mengurus jenazah Hugo dan ke kepolisian," lanjutnya.
Abraham mengeluarkan ponsel dan menelpon supir untuk bersiap.
"Saya sedang dalam perjalanan tuan!" sahut supir dari seberang telepon.
"Apa siapa yang menyuruhmu jalan-jalan dengan mobilku!' teriak Abraham marah.
"Nona Leti mengancam saya jika tidak mengantarnya tuan!" sahut sang supir.
Abraham menghela napas panjang. Ia pun menunggu supirnya.
"Telepon aku jika sudah di depan lobby rumah sakit!" titahnya lalu menutup sambungan telepon setelah memastikan supirnya siap.
bersambung.
Halah ... Leti ... Leti ... nyusahin orang aja kamu!
.
next?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments
Neni marheningsih
thor kenapa ga sadar sih wektu si suster nyebut nama si dokter...ih bikin tegang dan gemes pengin mbecek2
2024-10-05
0
Iamtvr
wkwkwk
2024-08-22
0
Mamath Kay
semoga nanya bisa bersatu lagi ya thor
2024-08-13
1