Abraham duduk di kursi kerjanya. Pria itu menopang dagu dengan tangannya. Otaknya berpikir keras dengan semua kejadian yang baru saja ia alami.
"Nak, kau di mana?" tanyanya resah.
Praja sangat yakin jika Jovan masih hidup. Kini, pria itu mengerahkan seluruh kepolisian untuk mencari keberadaan putranya dan menyelidiki kejadian yang sebenarnya.
Bunyi ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Pria itu menyuruh masuk.
"Tuan, kamera pengintai di sekitar lokasi tempat terakhir Tuan muda Dinata bertemu dengan Tuan Praja dirusak. Saya kira memang ada keterlibatan orang penting dalam kecelakaan tuan muda!" lapor seorang pria tinggi besar.
Abraham menatap pria itu dengan tatapan tajam. William Dirgantara, dua puluh tujuh tahun adalah pria yang paling teliti dan paling cermat dalam memeriksa segala sesuatu.
"Hanya itu temuanmu?" tanyanya curiga.
"Benar tuan!" sahut pria itu lalu membungkuk hormat.
Prang! Sebuah pot kristal dilempar ke arah pria itu hingga pecah kena kakinya.
"Ini bukan cara kerjamu William!" desis Abraham murka.
William diam, kakinya terasa patah akibat lemparan barusan. Ia sangat yakin jika kakinya terluka dan berdarah. Tujuh tahun bekerja bersama Abraham sebagai kaki tangan pria itu. Ia sangat yakin jika laporannya tadi tak akan memuaskan atasannya itu.
"Maaf tuan," ujarnya pelan.
"Keluar kau sebelum aku membunuhmu!" usir Abraham sekaligus mengancam.
William pergi dengan kaki sedikit pincang. Pria itu menahan sakit luar biasa.
"Apa yang kulakukan ini benar?" gumamnya.
"Kau sudah menyelidikinya?" sebuah suara memecah lamunan pria itu.
"Sedang di dalami tuan Rendi!" jawab William lalu mengangguk kepala hormat.
"Lalu apa yang kau temui, selain kamera pengintai yang rusak?" tanya Rendi.
William menatap pria yang seusia dengannya itu. Bukan kapasitasnya untuk menjelaskan penyelidikannya.
"Maaf tuan, saya tak perlu menjelaskan apa yang saya dapatkan pada anda!" sahutnya, "Permisi!"
Rendi mendengkus kesal. Pria itu mengumpat William yang berlalu di depannya.
"Aku pastikan kau hengkang dari sisi pamanku William!" teriaknya.
William tak peduli. Ia masih berjalan dengan menahan sakit pada kakinya. Ia harus segera ke klinik untuk mengobati kakinya itu.
Drttrtt! ddrrttt! Ponsel pria itu berdering. Ia mengangkatnya, sebuah nomor asing yang ia kenali.
"Halo!"
"Bagaimana rasanya? Apa kakimu sakit?" kekeh seseorang di seberang telepon meledeknya.
Praja berdiri mematung di apartemen milik Jovan. Pemuda yang tumbuh besar bersamanya. Usia mereka pun sama, dua puluh lima tahun. Pria itu memindai seluruh ruangan atasannya itu.
"Aku yakin ada yang tersembunyi di sini," gumamnya.
Ia mulai mencari. Apapun itu untuk mendukung dugaannya jika ada konspirasi besar atas kecelakaan Jovan Abraham Dinata **.
Sedang di tempat lain, sepasang manusia tengah adu mulut. Sang gadis marah pada sang pria.
"Aku mohon, untuk saat ini jangan dulu kau menghubungiku!" teriaknya frustrasi.
"Kenapa, apa alasannya!?" tanya sang pria bingung.
"Jovan menghilang, semua yakin jika dia masih hidup!" teriak sang gadis.
"Apa kau yakin?"
"Ya, selama mayatnya belum ditemukan, maka semuanya masih sama!" lanjut sang gadis kini lebih tenang.
"Kau sudah melakukannya dengan benar kan?" tanya pria itu pada sang gadis dengan tatapan meragukan.
"Kau pikir, jika aku tak melakukan ini dengan benar. Maka kita akan mati bersama!" sahut gadis itu kembali emosi.
"Kau tau, dia dijuluki half monster! Jika dia masih hidup, maka kita akan mati!" teriak pria itu mulai panik.
"Kalau begitu aku tidak mau ikut-ikutan lagi. Kau urus sendiri!"
"Berengsek kau Ndi!" maki gadis itu.
Pria itu memilih pergi ke mobilnya dan pergi meninggalkan gadis itu yang berteriak memanggil pria itu.
"Aku pastikan kau juga ke neraka bersamaku, bangs*t!" makinya lagi.
Sementara di sebuah desa terpencil, di bawah tebing curam. Seorang gadis merawat dan mengobati seorang pasien yang sudah menjadi suaminya dua hari lalu.
Gadis itu mengelap seluruh tubuh suaminya. Tak ada rasa apapun, seorang dokter profesional, bahkan ketika menyentuh benda pusaka milik Jovan, otot itu langsung bekerja.
"Jangan menyentuhnya jika tak bisa menenangkannya!" peringat pria itu mendesis.
Manya malu luar biasa. Ia terkadang lupa, jika Jovan merupakan pria normal. Untung saja mereka sudah menikah.
"Kalau begitu, apa mas sudah bisa bergerak dengan leluasa?" tanyanya.
Jovan menatap gadis itu. Sebenarnya, ia sudah merasa lebih baik bahkan memar-memar di tubuh pria itu mulai memudar begitu juga lecet-lecet yang mulai mengering.
"Tapi, aku maunya kau melakukan itu setiap hari sayang," jawabnya dengan seringai jahil.
Muka Manya memerah kembali. Pria itu menggodanya. Sebenarnya, semua yang mereka lakukan telah halal. Hanya, Manya tidak ingin menyerahkan kesuciannya pada pria yang menatapnya penuh keinginan.
Manya menghentikan kegiatannya membersihkan tubuh Jovan. Kini, pria itu harus melatih ototnya dengan memakai seluruh pakaiannya.
"Apa ditekuk seperti ini sakit?" Jovan menggeleng.
"Punggung?" Jovan menggeleng lagi.
"Mulai besok, mas bisa mandi sendiri kalau begitu," ujar gadis itu.
"Tapi aku mau dimandiin kamu," rengek pria itu manja.
Manya menatapnya malas. Jovan cemberut. Ketampanan pria itu makin terlihat, karena wajahnya sudah mulai membaik.
"Mas nggak pantes cemberut gitu!" tegur Manya ketus.
Jovan terkekeh mendengar hal itu. Pria itu memang harus melatih otot-ototnya, ia harus menggerakkan seluruh sendinya agar tak kaku.
Manya menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Sedang di tempat lain, Maira Hendrawan selalu menangis mengingat putranya yang belum ditemukan.
"Sayang ... kau di mana, nak?"
"Mi, jangan seperti ini sayang. Kau bisa sakit," ujar Abraham sedih.
"Aku harus bagaimana pi? Putraku hilang, hingga sekarang belum ada kabarnya!" sahut wanita itu dengan suara bergetar.
"Apa kau tak bisa mencarinya secara maksimal?" tanyanya dengan suara keras.
"Aku sedang berusaha sayang!" sahut pria itu juga mulai putus asa.
"Percuma semua uang dan kekuasaanmu kalau begitu! Mencari jarum dalam jerami saja kau bisa menemukannya, ini seorang anak yang sudah besar, tapi kau tak mampu menemukannya!" sindir wanita itu sarkas.
Abraham terdiam. Bukan ia tak berusaha menemukan putra semata wayangnya. Tapi, ia merasa semua usahanya patah di tengah jalan.
"Aku sudah berusaha maksimal sayang ... tapi, entah kenapa semuanya seperti patah di tengah jalan!" keluh pria itu panjang lebar.
"Kalau begitu kau harus mencari putramu sendiri!" tekan Maira tegas.
"Kau tau, akan banyak musuh yang mengambil kesempatan ini. Kita beruntung belum melimpahkan seluruh tampuk pimpinan perusahaan pada Jovan putra kita!" terang Maira mencerahkan Abraham.
"Apa aku bisa menemukan putraku sendiri?" tanya pria itu dengan pandangan menerawang.
"Kau pasti bisa sayang. Ingat, kau pernah mengungkap penembak ayah mertuaku!" sahut Maira mengingatkan suaminya.
Abraham menatap sang istri. Pria itu bukan lagi lelaki delapan belas tahun yang lalu. Ia sudah terlalu tua untuk bergerak sendirian.
"Aku akan mencarinya sayang. Selama itu, hindari bertemu dengan Leticia dan Rendi!" pinta pria itu.
"Jangan mengkhawatirkan aku sayang. Aku bukan wanita bodoh yang termakan rayuan dan hasutan apapun, kau tau diriku kan?" Abraham mengangguk.
Maira bukan wanita polos dan hanya tau masalah belanja dan sosialita. Maira seorang wanita cerdas, Abraham yakin dengan pendirian istrinya itu.
"Tapi ini masalah putra kita, aku takut kau terprovokasi," ujar pria itu ragu.
"Tidak sayang. Aku yakin selama kau mencari keberadaan putra kita. Aku tak percaya siapa pun kecuali dirimu sendiri yang mengatakannya!" jawab wanita itu sungguh-sungguh.
Bersambung.
hmmm ...
next?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 221 Episodes
Comments
Mamah Zacky
aq tau rasanya jadi maira...kehilangan anak tak tau anak itu masih hidup apa nggak...g bisa masuk makanan.cuma bisa nangi nangis dan nangis😪
2024-09-03
2
Truely Jm Manoppo
good job mami Maira dan papi Abraham ... harus dicurigai Rendi, Leticia
2024-08-08
1
Daliffa
mampir dkaryamu Thor,keren"&gak mbosenin alury💪💪💪🙏
2023-05-03
1