Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, Nadine gelisah tidak bisa tidur, memikirkan kejadian tadi, dia marah dan sedih tapi tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Dia menerka-nerka apakah seniornya yang mengurung dirinya di toilet, tapi kenapa? Nadine bahkan tidak mengenalnya.
"Ceklek." Pintu ruang rawat Nadine terbuka, Nadine menoleh, di lihatnya Zain sudah ada di pintu.
"Bagaimana keadaan mu?..." Ucap Zain yang sudah berada di hadapan Nadine dan membiarkan pintu terbuka dengan lebar.
"Sudah lebih baik." Jawab Nadine dengan mata yang saling memandang. Dengan segera Zain melengos tak mau berlama-lama menatap mata indah yang di tumbuhi bulu bulu lentik itu.
"Kalau begitu ayo kita pulang."
"Bagaimana keadaan Nona Rani?..."
"Semuanya baik baik saja. Bayinya perempuan."
"Alhamdulillah, aku ikut senang..." Ucap Nadine, Zain memberikan kode pada Nadine untuk segera beranjak dari tempat tidurnya.
"Kakak nggak tanya kenapa aku bisa terkurung di dalam toilet?..." Tanya Nadine saat Zain hendak berpaling.
"Buat apa???... Tidak penting..." Jawaban sederhana dari Zain membuat wajah Nadine bersungut-sungut. Dia menyesal memberikan Zain pertanyaan semacam itu.
"Kakak nggak punya perasaan banget sih, aku ini baru kena musibah loh... nggak ada rasa empati sama sekali."
Zain menghampiri sofa kemudian duduk, dia menatap Lekat-lekat wajah Nadine.
"Kalau aku tidak punya perasaan dan rasa empati, aku tidak akan membawamu kemari... Dasar gadis tidak tahu terima kasih."
"Iya, iya maaf... Tapi aku pengen tanya sesuatu!!!..."
"katakan???..."
"Kalau misalnya kakak sengaja di kurung oleh seseorang, apa yang akan kakak lakukan."
"Jika ada yang ada yang melempar ku dengan batu kerikil maka aku akan melemparinya dengan batu bata."
"Balasannya lebih kejam dong kak..."
"Biar ada efek jera. Lagian kenapa kamu tidak menghubungi seseorang saat terkurung di dalam toilet?...." Ujar Zain.
"Aku nggak punya HP kak, pas baru sampai di Jakarta aku di jambret. Makanya pas aku lagi esmosi..."
"Emosi..." Ujar Zain meralat ucapan Nadine.
"Yang penting kakak ngerti maksud ku..."
"Hadeeehhh..." Zain menggelengkan kepala.
"Makanya pas aku emosi nendang kaleng terus kena kepala kakak yang lagi nyetir mobil dan akhirnya kakak nabrak sampe mobilnya penyok, terus kakak minta ganti rugi terus.."
"STOP... Kamu terlalu banyak bicara..." Bukannya menyembuhkan luka hati Nadine, dia malah memperkeruhnya...
"Jahat banget sih, aku kan lagi sakit hati abis di kurung dan di kerjain orang. Sejak tadi aku marah tapi bingung harus ngapain..." Ujar Nadine penuh emosi sambil menepuk nepuk dadanya, wajahnya bersungut-sungut sedangkan bibirnya mengerucut. Bukannya merasa bersalah Zain malah tersenyum.
"Kak Zain itu benar benar nggak ada perasaan ya... Aku lagi kesel, Kenapa senyum senyum kayak gitu."
"Perempuan yang sedang marah itu ibarat Oli Yamaha, bibirnya semakin di depan." Jawab Zain santai.
"Kak Zaaiiiiiinnn...." Nadine berteriak semakin kesal dengan candaan Zain. Sedangkan Zain malah cekikikan.
"Drrrtt drrrttt drrrttt...." Ponsel Zain berdering, di lihatnya Panggilan dari Iqbal. "Jangan berisik" Ucap Zain. Nadine pun mengangguk. Zain segera menggeser layar berwarna hijau ke atas.
"Iya Tuan..."
"Jangan pulang dulu, aku takut jika nanti membutuhkan bantuan mu..." Seperti biasa, Iqbal selalu memutuskan panggilan teleponnya sebelum mendapatkan jawaban dari Zain.
"Aku tidak bisa pulang." Ucap Zain pada Nadine.
"Terus aku gimana?..."
"Terserah, aku lelah ingin tidur." Zain langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa dan menutupi matanya dengan tangannya untuk menghalau sinar lampu.
"Kak nanti subuh pulang ya, aku ada kuliah."
"Hemmm..." Zain hanya berdehem tanpa mengubah posisinya.
"Hemmm apa?..."
"Iya..."
"Kak Zain?..."
"Apa lagi?..."
"Kalau bibiku cari aku gimana?..."
"Jangan khawatir, aku sudah menghubunginya dan memberi tahu keadaan mu."
Nadine memilih menginap di rumah sakit, dia merebahkan diri di atas ranjang rumah sakit. Beberapa saat kemudian Nadine masih belum bisa tidur, dia sangat gelisah. Berkali-kali dia merubah posisi tidurnya, hingga gerakan kecil dari tubuhnya menciptakan bunyi "Kriek Kriek Kriek..." Bunyi yang mengusik ketenangan Zain.
"Kau bisa diam tidak." Ujar Zain ketus karena sejak tadi gerakan Nadine mengganggu tidurnya.
"Maaf kak, tapi aku tidak bisa tidur."
"Masalah mu mengganggu tidur ku, aku tidak peduli kamu bisa tidur atau tidak. Yang jelas jangan berisik." Ucap Zain dengan mata yang masih tertutup.
"Tapi aku gelisah."
"Kenapa?..."
"Aku tidak biasa tinggal satu kamar dengan laki laki." Mendengar jawaban Nadine, Zain langsung membuka mata, menoleh dan menatapnya dengan intens, membuat Nadine salah tingkah dengan tatapan itu. Ada rasa takut, canggung dan gelisah di mata gadis itu.
Zain duduk dan menghela nafas kemudian menghembuskannya kasar. Dia berdiri, melangkah menuju pintu.
"Kak mau kemana?..."
"Mau cari tempat tidur..."
"Maaf."
"Aku yang harusnya minta maaf." Ucap Zain kemudian pergi dan menghilang di balik pintu.
Nadine bisa bernafas lega setelah kepergian Zain, bagaimana mungkin dia bisa tidur satu kamar dengan laki laki yang bukan mahramnya walaupun tak seranjang tetap saja terasa risih dan rasa tak rela.
Entah kenapa langkah kaki Zain malah tergerak menuju musholla kecil yang tersedia di rumah sakit. Zain mengambil wudhu dan melakukan sholat malam, setelah itu dia berdzikir dan berdoa tanpa mengeluarkan suara. Terdengar Isak tangis di tiap doanya seolah begitu banyak beban yang tertumpu padanya.
Setelah selesai melakukan ibadah malam, Zain tertidur di mushola tepat di lantai, yang tak tertutup karpet tempat orang biasa melakukan shalat.
***
Setelah melakukan ibadah shalat subuh Zain dan Nadine berjalan menuju ruang rawat Rani. Zain mengatakan akan membawa pulang bu Narsih dan Nadine ke kediaman Iqbal.
Nadine menunggu di depan ruangan sebab Iqbal melarang siapapun menjenguk putrinya kecuali Keluarga inti.
Beberapa saat kemudian Zain dan Bu Narsih keluar dari ruang rawat Rani. Nadine meraih tangan Bu Narsih kemudian mencium punggung tangannya.
"Kamu siapa Nak?..."
"Saya Nadine, pacarnya kak Zain." Zain terkejut mendengar jawaban Nadine.
"Nak Zain, kalau pacaran Jangan lama lama, nggak baik. Segera lah menikah. Kamu kan sudah cukup umur." Ujar Bu Narsih menatap Zain sambil mengusap lembut lengan Nadine, mengingat kesalahannya dulu karena menunda nunda Pernikahan Rani akhirnya dia hamil di luar nikah, beliau tidak ingin Nadine juga mengalaminya.
Zain hanya bisa memijat tengkuknya saat mendengar nasihat Bu Narsih sebab dia sama sekali tidak memiliki tujuan untuk menikah.
"Doain aja ya Bu, Semoga hubungan kami langgeng sampai ke jenjang pernikahan." Sahut Nadine, membuat Zain salah tingkah. Zain memelototi Nadine, namun Nadine malah mengernyitkan dahinya tak mengerti makna dari tatapan tajam yang Zain berikan padanya. Bukankah Zain yang menyuruhnya untuk mengatakan bahwa dia adalah kekasihnya agar hutangnya berkurang 1 juta.
"Lebih baik Kita segera pulang..." Ucap Zain tiba tiba sebelum Nadine bicara panjang lebar.
Mereka pun mulai melangkah melewati koridor menuju ke parkiran mobil di mana jemputannya sudah menunggu. Zain menarik tangan Nadine agar mendekat ke arahnya.
"Kenapa kamu bilang pada Ibunya Nona Rani jika kamu pacarku?..."
"Lah katanya aku di suruh ngaku ngaku jadi pacar kak Zain supaya hutangku berkurang satu juta."
"Bukan padanya maksudku, tapi pada orang di rumah sakit ini." Ucap Zain lirih hampir tak terdengar.
"Lah bukan salahku, kenapa tadi kak Zain nggak bilang. Pokoknya hutangku berkurang 1 juta."
"Enak saja, hutangmu tetap utuh 10 juta."
"Iih kak Zain jahat, curang ih..." Nadine mencubit lengan Zain karena kesal sudah merasa tertipu.
***
Author
Jangan lupa like and komentar ya Kakak kakak yang cantik....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Rice Btamban
lucunya Nadine bnr dia kata Zain kalau org tanya bilang kekasihnya 😁😁😁
2023-02-06
1
Olivia Jasmine Arsend
kisah Zain Nadine sama kyk kisah Iqbal Rani klo Jeremy dh kyk tom Jerry🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2022-08-02
0
Nana
lucu jg Nadine sm Zain
2022-07-31
0