Nara berjalan mondar mandir di dalam kamarnya, memikirkan keadaan Nadine pikirannya bertanya tanya apakah Nadine sudah terbebas dari toilet. Sejak tadi dia gelisah memikirkan keadaan Nadine, dia takut akan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Hati nuraninya sedang mengusik ketenangannya.
Nara memutuskan keluar dari rumah, pergi ke counter HP terdekat untuk membeli SIM card. Tepat ba'da magrib, Ia menghubungi nomor telepon security yang berjaga di pos depan kampus.
"Pak tolong periksa toilet di gedung yang sudah lama tidak di huni, sebab tadi saya mendengar seseorang berteriak minta tolong." Nara segera menutup panggilan teleponnya setelah berbicara dengan menutup hidung dan mengubah suaranya seperti suara laki-laki lalu mengeluarkan SIM card tersebut dari Hpnya dan membuangnya.
Security bergegas pergi menuju toilet di gedung yang sudah lama tidak di huni tersebut.
Dia menggunakan senter sebagai penerangan sebab tidak ada lampu di gedung itu.
"Apa ada orang?..." Ujar security setelah sampai di depan pintu toilet.
"Pak tolong saya..." Ujar Nadine lirih di dalam toilet yang gelap. Security terkejut mendengar suara seorang wanita. Nadine hanya bisa melihat bulan terbit dari kaca jendela yang begitu tinggi yang sejak tadi coba ia gapai.
Security segera membuka pintu dan menyorot Nadine dengan cahaya dari senter. Nadine terlihat lemas duduk di lantai yang kotor, dia bangkit dan berjalan dengan kaki gontai, lututnya terasa lemas seperti tak ada tenaga.
"Kamu tidak apa-apa?..."
"Seperti yang bapak lihat..." Ucap Nadine lirih, tangannya berpegangan pada bibir pintu."Terima kasih pak..." lanjut Nadine.
"Iya, sama-sama..."
Langkah Nadine terhuyung hampir jatuh tapi security tersebut menahan tubuh Nadine. Nadine menyingkirkan tangan security yang memegangi tangannya.
"Maaf ya bapak refleks..."
"Iya, nggak apa-apa. Terimakasih pak, saya masih bisa jalan sendiri." Jawab Nadine.
Dengan langkah gontai dia berjalan menuju pos security, dia meminta tolong pada security untuk memesankan taksi online. Nadine duduk di pinggir jalan karena kakinya sudah tidak kuat untuk berdiri. Belum selesai Security memesan taksi online, tiba tiba Nadine di kejutkan dengan mobil yang berhenti tepat di depannya.
"Kamu kenapa, jam segini belum pulang?..." Ucap Zain setelah membuka kaca jendela mobil untuk melihat Nadine yang terlihat menyedihkan.
"Terkurung di dalam toilet." Bukan Nadine yang menjawab melainkan Security.
"Ayo masuk." Ajak Zain yang duduk di kursi penumpang, dia membuka pintu dan menggeser tempat duduknya. Nadine beranjak kemudian masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Beruntung Zain bekerja lembur sebab Iqbal mengalihkan semua pekerjaannya pada Zain, hingga akhirnya Zain pulang lebih malam dan bisa bertemu dengan Nadine.
Gadis itu menyandarkan kepalanya pada jendela mobil, dia bungkam diam seribu bahasa tidak seceria dan secerewet biasanya.
Zain melirik Nadine, memperhatikan gerakan tangan yang memeluk erat pinggangnya dengan mata yang terlihat sembab dan tubuh yang lemas.
"Kamu sakit?..." Zain bertanya.
"Lapar..." Jawab Nadine singkat, kemudian menegakkan kepalanya.
"Pak cari tempat makan terdekat." Ucap Zain pada supir yang sedang mengemudi.
"Iya Tuan." Jawabnya singkat.
"Bugh..." Zain menahan nafas, terkejut saat tiba-tiba kepala Nadine terjatuh di pangkuan Zain.
"Hey Nadine, bangun. Jangan pura-pura pingsan." Ujar Zain dengan menghentakkan kakinya agar Nadine terbangun, dia begitu risih dengan sikap Nadine. Namun usaha Zain sia sia sebab Nadine tetap tak bergeming. Dia mengangkat kepala Nadine dari pangkuannya dan menyandarkan kepalanya Nadine pada bahunya.
"Begini lebih baik, dari pada harus tidur di pangkuanku." Zain bergumam.
"Tuan, apa kita masih mau mencari tempat makan."
"Tidak, langsung saja ke rumah sakit." Zain memegangi kepala Nadine saat hampir terjatuh.
Mobil terus melaju menyusuri jalanan beraspal sampai akhirnya mobil memasuki halaman rumah sakit. Setelah membayar ongkos taksi online, Zain mengangkat tubuh Nadine dan membawanya memasuki rumah sakit.
"Gadis ini selalu merepotkan ku." Gumam Zain.
***
Zain terkejut ketika mengetahui jika Riska sang mantan kekasih yang masih ia cintai lah yang menangani Nadine.
"Zain dia siapa?..." kalimat pertama yang di lontarkan Riska dengan wajah tak suka.
"Dia kekasihku?..."
"Zain kamu bohong..."
"Bisakah anda bersikap profesional DOKTER?..." Ujar Zain tegas dengan tatapan mata tajamnya yang dingin. Riska hanya mengangguk dan mulai memeriksa kondisi kesehatan Nadine.
"Dia mengalami dehidrasi dan kelelahan, sepertinya dia juga belum makan. Setelah dia sadar segera berikan makanan dan minuman yang manis untuknya."
"Zain." Riska ingin bertanya banyak hal pada Zain.
"Jangan bicara apapun padaku jika bukan menyangkut masalah kesehatan kekasih ku." Ujar Zain tanpa mengalihkan pandangannya dari Nadine.
"Zain, kamu...."
"Menyingkir lah..."
Dengan hati terluka dan rasa kecewanya Riska pergi meninggalkan Zain dan Nadine berdua di dalam ruang rawat.
Zain menghubungi seseorang dan memintanya untuk membelikan makanan, air mineral dan minuman yang manis. Dia juga menghubungi Iqbal, menanyakan keadaan Rani.
Beberapa saat kemudian Nadine mulai membuka mata, kepalanya terasa pusing.
"Sudah bangun?..."
"Kak, aku ada di mana?..."
"Di rumah sakit. Kamu makan lah itu." Zain menunjuk makanan dan minuman yang ada di atas meja tepat di samping ranjang Nadine."Aku harus segera pergi."
"Kakak mau kemana?..."
"Menemui tuan Iqbal. Nona Rani akan melahirkan."
"Hah, bukannya masih lama ya kak..."
"Nona Rani terjatuh dan harus melakukan operasi."
"Astaghfirullah hal adzim..."
"Aku harus pergi."
"Aku harus gimana?..."
"Lihat saja nanti, sekarang makan lalu Istirahatlah, nanti aku kesini lagi..."
Nadine mengangguk, Zain mulai beranjak dari sofa dan melangkah menuju pintu.
"Kak..." Zain yang sudah memegang handle pintu menghentikan langkahnya.
"Ada apa?..."
"Terimakasih..."
"Hemmmm..."
"Kak..."
"Ada apa lagi?..."
"Kenapa kakak baik padaku?..." Nadine bertanya.
"Selain karena aku masih punya hati nurani... Kamu juga harus hidup dan sehat... Jika kamu tutup usia, lalu siapa yang akan membayar hutang mu padaku."
"Iih ngeselin...Kirain naksir aku..."
"Amit amit...." Ujar Zain kemudian hilang di balik pintu. Nadine melempar bayangan Zain dengan bantal. Tiba-tiba Zain kembali masuk...
"Kalau ada yang bertanya siapa kamu, katakan kalau kamu adalah kekasih ku..."
"Iiih amit amit...." Nadine mengembalikan ucapan Zain padanya.
"Kalau kamu mau, maka hutangmu ku potong satu juta."
"Serius" Zain mengangguk." Ok deh aku mau."
Setelah kepergian Zain, Nadine mulai makan dengan lahap sejak tadi dia sangat lapar.
***
Zain melihat Iqbal yang terlihat gusar, dia mondar-mandir. Berjalan kesana kemari sambil memijat keningnya. Dia sangat gelisah dan khawatir, berulang kali dia menghela nafas berat untuk mengurangi sedikit kecemasannya.
Zain datang dengan langkah tergesa menghampiri Iqbal.
"Tuan bagaimana?..."
"Entah lah...." Iqbal menjambak rambutnya karena stress. Dia kemudian duduk di kursi tunggu dengan wajah menunduk dan masih menjambak rambutnya sendiri, Zain ikut duduk dan memegang bahu Iqbal seolah sedang memberikan kekuatan pada Iqbal.
"Anda harus tenang dan kuat. Jika anda rapuh
lalu siapa yang akan menjaga Nona Rani." Zain menasehati. Kehadiran Zain sedikit mengurangi rasa khawatirnya.
"Terimakasih karena selalu ada untukku."
Beberapa saat kemudian...
"Hooeeeekk, hooeeeekk hooeeeekk hooeeeekk...." Iqbal mendongak, terasa ada angin segar di tengah gundah yang ia rasakan saat mendengar suara tangis bayi...
"Zain.... Anakku..." Iqbal terlihat sangat bahagia, hatinya terasa lega. Dia seperti menemukan oase di tengah gurun pasir saat mendengar tangisan bayi.
***
Author....
Maaf ya ceritanya kembali pas Rani lahiran...
Jangan lupa klik like dulu dan komentar, kalau mau vote juga nggak apa-apa sih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Rice Btamban
lanjutkan
2023-02-06
1
Wijaya Wijaya
suara bayi nya Hoek 2 kayak ibu lagi ngidam ✌️
2022-08-12
1
Nana
modus banget Zain. awas aja ntar. bucin
2022-07-31
0