"Papa papa, Shan mau main sepeda'an dulu ya di halaman belakang." Shan meminta ijin.
Apa? Sepeda'an? Di halaman belakang?
"Gak gak gak Shan. Udah mau maghrib nih mending diem aja di kamar." tolakku.
"Tapi pa, udah diajakin sama kak Salsa, kak Jimmy. Tuh liat mereka udah nungguin di bawah." tunjuk Shan sambil mendongak dari balik gorden. Aku pun mengikuti Shan, ikut mendongak juga. Dan benar, Salsa dan Jimmy telah melambai dari bawah sana.
"Gimana pa? Shan dibolehin apa enggak?" tanya Shan sambil memasang wajah memelasnya.
"Kamu tuh ya, papa gak bolehin pun pasti juga tetep maksa. Yaudah sana. Tapi diem aja ya, liat aja dari kejauhan. Terus kalo udah adzan maghrib langsung balik. Inget Shan?"
"Siap!" ucap Shan disertai dengan hormat asal-asalan ala dirinya.
Bocah nakal itu kini pergi. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang telah menghilang. Oiya, memangnya dibawah udah ada yang ngawasin anak-anak ya?
Aku lantas mendongakkan kepalaku lagi untuk menatap ke bawah melalui jendela kamar. Dan disana ternyata kosong. Hanya ada ketiga anak itu tanpa adanya pengawasan dari orang dewasa.
"Haduhhh..." Desahku lalu bergegas menuju ke bawah untuk menyusul anak-anak itu.
Sesampainya di bawah aku langsung menganga melihat Shan sudah naik ke atas sepedanya Jimmy. Iya, sepedanya Jimmy! Kenapa tidak sepedanya Salsa saja yang lebih rendah dan kakinya sampai? Kenapa ha?!
"Shan! Berhenti!" Aku mencoba mencegahnya tapi sepertinya dia tidak mendengarnya karena jarak kita yang lumayan jauh.
Kedua kaki pendek Shan mulai mengayuh dengan Jimmy yang terus mendorongnya dari belakang. Ada Salsa juga yang ikut mendorong.
Aku sangat ngeri melihatnya, terlebih anak itu terlihat sangat susah payah sekali. Tapi dia tetap memaksa mengayuhnya. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi, aku harus lekas menghentikannya. Aku berlari sangat cepat dan berteriak. "Shan! Woy berhenti!"
Berbanding denganku yang berteriak agar anak itu berhenti, Jimmy dan Salsa malah sebaliknya, "Shan iyak! Ayok terus Shan terus! Iya kamu bisa Shan! Teru—"
*Duarrrrr.
Glubuk*.
"HUAAAA PAPAAA!" jerit Shan yang telah tergeletak di bawah pohon. Sepeda yang dia kayuh menabrak pohon yang berada dihadapannya, bocah itu tidak bisa menghindar.
"NAHKAN!" Seketika aku sangat marah.
Aku menarik lengan bocah itu dengan kasar, kemudian menyeretnya untuk masuk ke dalam rumah. Tubuhnya memang belum berdiri, tapi aku tidak peduli, yang ku mau dia harus segera masuk.
Shan memberontak, dia masih melawan ketika ku seret. Hingga aku akhirnya memukuli pantatnya berulang kali. "Masuk Shan! Papa bilang masuk!"
Aku menghiraukan tatapan syok yang terpancar dari kedua wajah Jimmy dan Salsa. Biar mereka juga tau, jika aku sudah marah maka akan seperti ini.
Kedua lutut Shan yang telah terluka kini tergores permukaan tanah dan rumput yang dilewatinya. Salah sendiri kenapa dia memilih posisi seperti itu saat ku seret. Nahkan sekarang pasti rasanya sangat perih.
"Ada apa ini?" tanya mama ketika kita sampai di pintu dapur. Shan langsung merentangkan kedua tangannya, berharap meminta bantuan kepada perempuan tua itu. "Uti... uti..." panggilnya dengan berderai air mata.
"Jangan di tolong!" cegahku dengan tegas. Aku lalu menggendong Shan dengan paksa, membawanya ke lantai atas untuk ke kamar.
Tubuh Shan langsung aku lempar ke dalam bathub. Kunyalakan shower dengan tingkat penyemprotan paling tinggi. Tubuhnya ku semprot dari ujung kepala hingga kaki tanpa melucuti lebih dahulu pakaiannya yang sudah kotor karena tanah itu. Dan di bagian lukanya, aku sangat sengaja sekali mengarahkan shower tepat di bagian itu selama beberapa saat.
Shan menjerit sangat kencang. Tubuhnya yang ingin keluar dari bathub aku tahan kuat-kuat. "Ampun papa ini sakit! Hentikan pa!"
"Ini hukuman buat kamu karena gak pernah nurut sama papa! Sekarang rasain ini Shan!"
"Aaaakkhh! Papa ampun!"
......***......
Suara rintihan kecil yang terdengar dari dalam ruangan kamar mandi membuat Chandra menggeram. Laki-laki itu mengacak-acak rambutnya sendiri, berjalan mondar-mandir ke sana kemari mencoba berpikir secara logis. Dia mengalami pergulatan batin yang sangat hebat sekarang.
Haruskah dia membukakan pintu itu sekarang? Atau nanti?
Apakah hukumannya ini sudah cukup? Atau tunggu sebentar?
"Aaarrghh!" Chandra akhirnya berjalan ke arah pintu kamar mandi lalu membukanya...
Didapatinya tubuh kecil yang tengah meringkuk, masih di dalam bathub yang tersisa genangan airnya sedikit.
Tidak ada suara panggilan yang ditujukan sama sekali, baik itu dari pihak Shan ataupun Chandra. Shan melihat Chandra sekilas, setelah itu mengalihkan sorot matanya ke arah lain, ke entah objek apa.
Chandra sangat tau, putrinya itu pasti tengah kecewa padanya, sekaligus masih ketakutan dan trauma.
Chandra akhirnya memilih untuk berdamai...
"Shan..." panggilnya sembari mendekati bathub.
Tangan Chandra menyentuh wajah Shan perlahan, mengusapnya dan menyingkirkan buliran air yang terasa sangat dingin itu. Shan menggerakkan tangannya yang sangat gemetar karena kedinginan hebat, dia lalu menyentuh tangan sang papa. Tapi apa yang papanya itu dapatkan... Sebuah penolakan.
Shan menepis tangan Chandra agar menjauh darinya.
Perasaan Chandra seketika rasanya runtuh. Sangat sakit sekali jika Shan mengacuhkannya seperti itu.
"Papa minta maaf Shan..." lirih Chandra dengan suara bergetar.
Shan kini mulai menangis. Bibirnya yang telah memucat mengeluarkan isakan yang sangat menyayat hati. Chandra tidak perlu waktu lama lagi, dia langsung memeluk tubuh kecil itu. Membiarkan tubuhnya sendiri yang juga akan ikut basah.
"Papa jahat, papa jahat..." ucap Shan dengan suara yang sangat lemah.
Chandra hanya bisa menggumamkan kata maaf berkali-kali. Rengkuhannya semakin dia eratkan. Chandra sangat menyesal. Dia tidak bisa berhenti mengutuk dirinya sendiri.
~tbc...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Ida Rubaedah
Chandra orang tua gila, masa sama balita memperlakukan seperti itu, apalagi ini anak perempuan
jangan punya anak kalau gk bisa sabar
2022-08-02
1