Aku menalikan dasi yang berada di kerah kemejaku, sembari melihat pantulan bayanganku sendiri di depan cermin. Kini aku telah siap untuk berangkat bekerja.
Tubuh kecil meringkuk diatas ranjang mengalihkan perhatianku. Aku lantas menghampirinya.
"Shan, papa mau kerja dulu. Kamu jangan nakal ya di rumah."
Shan mengabaikanku, dia menutup kedua telinganya menggunakan kedua tangannya sendiri. Huhh benar-benar anak yang nakal.
Terserahlah...
Aku mencium puncak kepalanya sekilas. Merasakan sensasi keringat yang sangat asin bercampur asam. Salah sendiri dia tadi ngambek dan tidak mau dimandikan, biar dia bertahan seperti ini sampai sore nanti.
Shan lagi-lagi tidak bergeming sama sekali. Dia tetap bertahan di posisi yang sama tanpa melihat keberangkatanku.
Hmm sekarang dia mulai pendendam ya, awas saja.
Tapi aku tidak punya waktu untuk meladeninya, kini jam kerjaku telah mepet. Sebentar lagi kantorku akan masuk jika aku tidak mengebut.
...***...
"Ini namanya telur dadar, kalo yang masih ada putihnya namanya telur ceplok sayang." ucap Dewi, menjelaskan kepada Shan dengan tutur kata yang sangat lemah lembut. Khas seorang nenek pada cucunya.
"Terus-terus kalo telur bundar itu yang gimana ti."
'Uti' panggilan dari Shan kepada perempuan paruh baya itu.
"Telur bundar?" Dewi mengernyit sedangkan Shan mengangguk sangat antusias.
"Maksudnya telur yang direbus itu ya?"
"Bukan ti! Telur bundar ya yang bundar kuningnya itu loh kayak yang uti bikin waktu itu. Kuningnya ditengah bundar banget."
"Ohhh... Tapi sayang, itu namanya bukan telur bundar, itu masih telur ceplok namanya nak. Kalo telur bundar, pahamnya uti ya telur rebus itu. Bundar kan bentuknya Shan."
Shan mencermati perkataan sang nenek dengan seksama. Hingga akhirnya kepalanya tertunduk. "Berarti yang salah Shan kalo gitu..."
Dewi membelai dengan lembut kepala cucunya itu. "Tidak salah Shan, hanya saja tidak tepat. Anak seusiamu masih wajar seperti ini."
"Tapi tadi papa marah banget. Shan takut."
Dewi mengulas senyum ketenangan untuk gadis kecil itu.
Shan seolah berpikir, lalu beberapa menit kemudian bersuara, "Kalo gitu nanti biar Shan minta maaf sama papa pas papa video call istirahat makan siang."
"Iya sayang. Udah ya sekarang Shan makan dulu. Keburu telur dadarnya dingin kalo lama-lama. Ayo nak."
Dewi dengan telaten menyuapi gadis kecil itu, namun saat suapan ketiga fokusnya terganti pada gadis kecil lain yang datang dari arah ruang TV.
"Salsa, kalo makan gak boleh sambil jalan-jalan sayang." tegur Dewi.
"Gak jalan-jalan ti, ini aku gak bisa makan ayam gorengnya." ucapnya.
"Mama lagi jemput kak Jimmy, jadinya aku ditinggal gitu aja mana makananku belum selesai." imbuh gadis kecil itu lagi. Gadis kecil yang usianya 3 tahun lebih tua dari Shan itu mulai menaikkan bokongnya di atas kursi yang berada di sebelah Shan.
"Uti sini deh bantuin. Shan mulu yang dibantuin."
Dewi segera berdiri dan menuju kursi lain yang berada di sebelah Salsa. Menyuapi Salsa seperti permintaannya.
"Shan makan sendiri ya nak." ucap Dewi yang telah berada di seberang. Dewi sebenarnya tidak tega membiarkan Shan makan sendiri seperti itu. Bagaimana tidak, Shan saja kesusahan mengangkat sendoknya. Semua sendok menjadi kelihatan sangat berat jika sudah berada ditangan Shan. Ditambah lagi cara Shan mengunyah makanan. Benar-benar sangat lama sekali. Gadis kecil itu mengemutnya satu persatu, dan tidak akan ditelan jika tidak ada yang memperlekasnya.
"Uti uti sepertinya ponsel Shan bunyi. Kayaknya papa telfon deh." ujar Shan.
Dewi yang begitu fokus pada aktifitasnya bersama Salsa sepertinya tidak mendengar apa yang Shan katakan itu. Shan akhirnya turun dari kursinya, kemudian berlari ke arah lantai atas untuk memastikannya sendiri.
"Shan kemana?! Kan makanannya belum selesai?!" tanya Dewi dengan lantang karena Shan telah mencapai di anak tangga yang teratas.
"Bentar ti! Ada telfon!" jawab Shan yang tak kalah lantangnya.
Kini Shan berada di dalam kamarnya, langsung mencari benda pipih itu yang sebenarnya Shan sendiri lupa menaruhnya dimana. Shan terus mencari sembari mendengarkan dengan teliti lokasi nada dering yang terus berbunyi itu. Dan akhirnya ketemu!
Dibawah tumpukan kotak pensil warna Shan...
Dengan cekatan Shan langsung menekan tanda untuk menerima panggilan video itu. Shan tau caranya, dia sudah sangat terbiasa melakukan ini. Sudah terlatih sejak masih bayi.
"Halo papa." sapa Shan dengan sangat ceria.
Wajah Chandra yang terpampang memenuhi layar ponsel tersenyum sekilas. Seolah mengatakan, 'Haha anakku benar-benar sudah melupakan perkara tadi pagi.'
"Iya halo Shan. Gimana udah makan siang apa belum?" tanya Chandra.
"Udah kok, papa sendiri?"
"Ini papa lagi makan Shan." Chandra mengarahkan kameranya pada piring berisi makanan yang berada dihadapannya. Shan bisa melihat sendiri lewat ponselnya itu.
"Itu itu apa pa? Kok gak ada telur?"
"Papa gak makan telur Shan. Bosen."
"Kok bisa bosen sama telur. Padahal kan telur enak."
"Ya ya ya... Terus kegiatanmu tadi apa Shan? Di depan ponsel terus ya? Liat youtube terus sampek mata kamu minus terus pas udah gede baru nyesel. Awas aja."
Shan tidak langsung menjawab, entah perhatiannya tertuju pada apa. Kameranya bergoyang, bukan karena gempa bumi melainkan karena pergerakan Shan yang tidak bisa diam. Chandra rasanya ingin meneriakinya, laki-laki itu sakit kepala melihat layar ponselnya itu.
"Papa papa tadi Shan gambar ini." Sebuah kertas berisikan gambar pemandangan lengkap dengan warna yang mencolok terpampang memenuhi layar ponsel.
Chandra sedikit tertegun. Anaknya ini benar-benar berkembang sangat pesat.
"Gimana pa?"
"Bagus Shan. Papa pengen liat secara langsung. Nanti pas papa pulang kasih liat lagi ya itu gambarnya."
"Iya pa! Nanti Shan kasih liat lagi kalo papa udah nyampek rumah! Cepet pulang pa!"
"Iya sayang..." ucap Chandra. "Oiya udahan dulu ya Shan, papa harus cepet-cepet ngehabisin makanan papa nih, bentar lagi jam masuk soalnya. Papa matiin dulu ya telfonnya."
"Yahh papa... Padahal Shan masih mau telfon."
"Ya maaf Shan."
"Eh oiya oiya! Shan kan mau minta maaf pa!"
"Hah?" Wajah Chandra mengernyit di seberang sana.
"Papa maafin Shan ya tadi pagi salah ngomong. Itu loh pa harusnya Shan ngomong telur ceplok bukan telur bundar. Yang Shan maksudkan telur ceplok, tapi Shan salah malah ngomong telur bundar. Maaf ya pa."
"Iya Shan papa maafin."
"..."
"Shan?"
"Shania?"
"Hei kamu ketiduran ya? Yaampun anak nakal ini. Haha." tawa Chandra tidak bisa dia tahan lagi.
"Yaudah, selamat tidur putri kecil papa yang cantik. Cupph." Chandra menyematkan ciuman singkat pada layar ponselnya, setalah itu mengakhiri panggilan videonya.
~to be continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
🍾⃝ͩ sᷞuͧ ᴄᷠIͣ Hiatus🕊️⃝ᥴͨᏼᷛ
anak kecil mah bgtu dikit" marah tapi marah ny hanya sebentar habis it dia akn lupa kejadian td
2022-08-07
1