Karena ijin tidak masuk bekerja hari ini jadi aku hanya berada di rumah terus. Tidak ada yang kegiatan yang kulakukan, hanya rebahan di atas ranjang sambil bermain game di ponsel. Shan juga sudah besar, tidak perlu memomongnya. Hanya awasi tingkahnya saja dari kejauhan.
Shan sekarang sedang menyibukkan diri menggambar. Dia bahkan tidak berpindah sedikitpun dari meja lipatnya. Lihat, dia sendiri saja lupa jika baru saja dari dokter. Sepertinya sakitnya mendadak hilang karena telah dibelikan crayon baru.
Oiya mama!
Tiba-tiba aku teringat sesuatu setelah membahas crayon. Aku lalu bergegas untuk menemui mama.
"Maa." panggilku dan ternyata mama tengah berada di dapur. Dia sepertinya tengah memasak untuk makan siang.
Aku menghampirinya menuju dapur. Mendudukkan pantatku di salah satu kursi meja makan sembari melihat aktifitas perempuan paruh baya itu.
"Ada apa Chan?"
Bagaimana ya mengawalinya? Hm aku benar-benar sangat canggung.
"Itu—itu tadi anu..." Aku mendadak tergagap-gagap.
"Anu apa Chan?"
"Crayonnya Shan." kataku dengan suara yang lirih. Aku bahkan tidak berani menatap kedua mata mamaku.
Aku kemudian mengeluarkan pecahan uang lima puluh ribuan sebanyak dua lembar dari dompetku. Seketika mama menyentakku.
"Ih kamu apaan sih Chan. Gak usah-gak usah." tolak mama.
"Tapi ma..."
"Udahlah kamu simpan saja uangnya. Kamu harus hemat, bentar lagi ngekolahin Shan loh."
"Mama tenang aja, udah aku atur kok. Emang gaji aku dikit, tapi aku udah nyisihin sendiri uang buat sekolahnya Shan. Jadi *p*lease, terima aja ini ma..."
Aku sudah merengek-rengek tapi mama tetap menolak. Dia benar-benar keras kepala.
"Chandra..." panggilan mama seketika membuat detak jantungku meningkat. Padahal cara dia memanggilku amatlah halus, tapi panggilan yang halus inilah yang membuat perasaanku berubah cemas.
"Simpan saja nak." ucap mama sembari menggenggamkan uang itu pada genggamanku.
Jika sudah begini aku tidak tau harus melakukan apalagi. Mama selalu saja seperti ini. Maksudku itu segala keperluannya Shan biar aku saja yang mencukupi, mama tidak usah ikut-ikutan. Mana tadi harganya crayon ya lumayan. Pemasukan mama juga jumlahnya tidak banyak, perempuan itu hanya punya penghasilan dari jasa carter mobil yang disetirin papa. Kasihan papa, kalau papa tau pasti sedih... Emmm tapi tidak.
Papa selalu seperti mama.
Lihat orang yang sedang kita bicarakan telah datang.
"Papa pulang." ucap seseorang dari arah pintu. Seseorang yang berjalannya sambil memegangi punggungnya.
Aku langsung menghampirinya. Membantunya dengan cara menuntunnya ke arah kursi meja makan.
"Kumat lagi sakit punggungnya pa?" tanya mama.
"Iya nih, nanti biar diurut sama tetangga sebelah."
"Gak baik diurut terus pa. Mending ke dokter aja yuk, periksa." ajakku yang sudah sangat jelas-jelas tidak disetujui. Bahkan mama pun juga tidak setuju, kelihatan dari cara dia memandangku.
Hmm dua orang ini selalu menyepekan sakit punggungnya. Dengan entengnya mereka mengatakan ini karena faktor usia. Ahh ya sudahlah...
"Kakung!" pekik Shan.
"Shania cucuku!" pekik papa tak kalah dari Shan. Papa merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, dan Shan, lihat anak itu sangat bersemangat berlari dari arah lantai dua.
Hihhh, aku sangat ingin meneriakinya. Bagaimana dia bisa berlari seperti itu saat turun tangga? Bagaimana jika nanti terjatuh ha?
Tubuh Shan telah mendarat di pelukan kakungnya.
"Kung abis nganterin orang lagi ya?" tanya Shan dan papa langsung mengiyaninya.
Aku pikir selanjutnya lagi Shan akan bertanya banyak hal, tapi ternyata tidak. Bocah itu malah menarik tangan papa untuk segera mengikutinya.
"Kung ayo kita mewarnai. Aku punya pewarna baru, namanya crayon. Baru dibeliin sama uti."
"Hei Shan kakung itu lagi capek tauk." ucapku.
"Haha tidak apa-apa. Kung-kung tidak capek. Ayo Shan, tunjukan pada kung."
Shan langsung menggelandang kakeknya.
"Hei Shan! Pelan-pelan dong!" Aku akhirnya meneriakinya.
Pergerakan papa yang telah seusia itu dan pergerakan sangat pecicilan Shan tidaklah sebanding. Papa bisa jatuh jika terus ditarik seperti itu.
Tapi Shan tidak peduli sama sekali. Ditambah lagi dengan tawa yang keluar dari kakungnya. Hmm Shan menjadi sangat termanjakan, seolah yang dilakukannya ini tidaklah salah.
Aku hanya bisa menepuk jidatku sendiri.
...***...
Aku berjalan mengendap-endap, meminimalisir suara langkah yang kutimbulkan karena mendapati papaku tengah tertidur di atas karpet. Samping meja lipat Shan. Dan Shan, dia tidak peduli sama sekali dengan kung-kungnya itu, dia tetap terus saja menggambar. Aduh Shannnnn...
"Papa mau kemana?"
Sttttt!!!
Aku langsung meletakkan telunjukku di depan bibir, menyuruh Shan agar tidak berbicara dengan suara yang keras.
"Papa mau kemana?" Shan mengulangi pertanyaannya lagi tapi kali ini dengan cara berbisik. Bagus, aku menjadi tidak jadi memarahinya.
"Jemput kak Salsa sama kak Jimmy." jawabku dengan berbisik pula.
Kedua mata Shan seketika berbinar. Dia pasti ingin ikut kan? PASTI!
Oke, oke aku akan mengijinkannya.
Aku segera mengganti pakaiannya. Tak lupa memakaikannya jaket juga karena badannya belum fit sepenuhnya. Sebelum berangkat aku menyempatkan untuk menyelimuti papa sebentar. Kasihan orang tua itu. Pasti sangat kelelahan.
"Tidur yang nyenyak kung." Shan menyematkan kecupan pada pipi orang tua itu.
Kita berdua lalu keluar kamar dengan perlahan, dan menutup pintu dengan sangat hati-hati juga.
Menuju sekolahnya dua keponakanku itu sebenarnya tidak jauh. Hanya saja jalanan disini seringkali macet. Apalagi pada saat jam tengah hari seperti ini, ahh mobilku tidak bisa bergerak sedikitpun.
"Aduh mana udah jam 12 tet lagi." Aku menggerutu. Bagaimana tidak, Yola nanti pasti akan marah karena anak-anaknya terlambat kujemput.
Nahkan lihat, perempuan itu sekarang meneleponku.
"Halo tante Yola." Aku meminta Shan yang mengangkatnya.
"Iya ini bentar masih kejebak macet tan..."
"Iya tan."
"He'eh tan."
Aku memang tidak tau yang mereka bicarakan dari balik panggilan suara itu. Tapi yang pasti, sepertinya Yola tengah mengomel.
Aku langsung merampas ponselku dari tangan Shan.
"Iye iye bawel. Kalo gak sabar ya mending lo jemput sendiri Yol!"
Tut...
Mobil didepan sana akhirnya dapat jalan, aku lekas melajukan mobilku juga dengan kecepatan yang lumayan.
"Kok papa marah-marah?" tanya Shan.
"Diem kamu, jangan bikin papa marah ke kamu juga ya."
Shan sudah tidak berani bersuara lagi. Bahkan untuk melihat ke arah tatapanku pun dia tidak berani. Dia selalu melempem jika aku sudah mengancam akan memarahinya.
Good girl.
"PAPA!"
Ciiiittttttttt....
"Kamu ini apa-apaan sih Shan? Ngagetin papa tau gak?" Aku langsung memarahinya. Bagaimana tidak, yang dilakukannya ini sangatlah berbahaya. Bagaimana jika kita kecelakaan???
"Shan cuma mau ngasih tau ada balon elsa pa..." ucapnya yang telah mewek-mewek.
Air mata perlahan mengalir membuatku sedikit panik. Bagaimana tidak panik, jika dia menangis maka aku akan sangat terganggu. Apalagi ini di dalam mobil, akan sangat berisik. Aku sangat benci jika dia menangis dengan keadaan tengah berkendara seperti ini.
Tapi apalah daya tangisannya telah pecah sekarang.
"Hei hei diammm."
"Hiks... hiks.. papa jahat, papa marah-marah. Shan jadi takut... Huaaaa."
"Oke oke papa minta maaf, udahan sekarang nangisnya Shan. Papa jadi tidak fokus menyetir Shan."
Sebelah tanganku menyentuh keningnya sekilas. Nahkan suhu tubuhnya kembali naik karena menangis.
"Shan diem dong. Badan kamu panas nih, kamu mau dibawa ke dokter lagi ha?"
"Diem Shan. Cukup nangisnya!"
Tapi Shan tidak bisa berhenti menangis. Malah kini dia memperkeras suara tangisannya.
Jika badannya tidak sedang hangat aku pasti sudah menghajarnya habis-habisan.
Ciiiiitttttt....
Aku kembali mengerem mendadak. Tapi kali ini dengan sengaja. Aku lalu putar balik.
"Janji ya kalo dibeliin balon elsa berhenti nangis?" ucapku pada Shan. Dan bocah cengeng ini langsung menghapus air matanya.
Memang dasar kampret!
~tbc....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Adriana Gitsa
Lo yang kampret papa Shan 🙄
2022-08-05
2