Hujan tiba-tiba turun deras disertai glundang-glundung geluduk.
Asep akhirnya malam ini langsung tidur di rumah Bibik Marni, meskipun tadinya ia rencananya akan pulang ke rumah lebih dulu untuk mengambil pakaian ganti.
"Pakai kamar depan saja, yang biasa dipakai Wak Imah kalau menginap."
Kata Bibi Marni.
"Ah nggak berani Bi, kan Wak Imah bersihan sekali orangnya, nanti aku bisa kena getok gayung kalo sampe ketahuan pake kamarnya."
Ujar Asep.
"Kalau begitu pake kamar Kakek atau juga kamar Bapakmu saja, cuma belum dibersihkan."
Kata Bibi Marni.
"Kamar SaNi saja Bi, besok aku baru pindah ke bekas kamar Bapak."
Asep memilih.
"Tapi jangan ada yang geser, itu semua yang ada di meja jangan geser satu senti saja, SaNi nanti ngamuk."
Kata Bibi Marni.
"Iya Bi, tenang, santai."
Ujar Asep.
Bibi Marni kemudian menuju kamarnya untuk mengambilkan kunci pintu kamar SaNi, biasanya yang diperbolehkan oleh saNi menginap di kamarnya hanya sepupunya saja, anak Wak Imah, si Aisyah Sekar Wangi, yang calon Diva itu.
Atau juga saudara tunggal uyut mereka yang dari Bandung, yang kadang main, si Fitra Ramdani yang cita-citanya mau jadi Pengusaha Bakery.
Nah sekarang, setelah begitu banyak syarat masuk kamar SaNi, tiba-tiba si Asep akhirnya mendapat ACC dari sang Bibi ikut menikmati kamar yang selalu terjaga kerapihannya.
Ya, kamar yang bahkan jauh lebih rapi dari Asep.
"Jangan merokok Sep."
Kata Bibi Marni lagi.
"Iya... Iya... Bi, masa Asep ngerokok di kamar SaNi, bisa-bisa aku disantet langsung dari tempat SaNi sekarang."
Kata Asep ngeri-ngeri sedap.
Asep akhirnya masuk kamar yang rapi, bersih dan wangi.
Ooh jadi begini rasanya kamar bersih dan rapi. Batin Asep.
Tapi, Asep terbiasa tidur di kamar yang berantakan, rasanya lebih alami.
Sementara melihat tempat tidur sepupunya yang spreinya saja hampir tak ada lipatan begitu jadi membuat Asep takut nanti begitu tidur kasurnya yang langsung menolak keberadaan Asep.
Akhirnya, setelah melalui pertentangan batin yang cukup sengit, Asep memutuskan untuk mengambil bantal saja dan tidur di lantai.
Tak apa, toh ada karpet yang bisa menghalangi tubuhnya bersentuhan langsung dengan lantai tegel yang dingin.
Asep menata bantal, lalu akhirnya rebahan di atas karpet.
Matanya menatap langit-langit kamar yang ditempeli stiker berbentuk bintang-bintang dan juga bulan.
Stiker yang jika lampu dimatikan akan menyala itu dipandangi Asep yang tiba-tiba terbayang wajah Melati.
Melati, gadis cantik menawan hati.
Kecantikannya tak kalah dari si bunga desa Anggita.
Jika melihat bagaimana sikap Melati padanya, tentu saja Asep merasa lumayan optimis bisa memacari gadis itu.
Tapi...
Ah, Asep jadi ingat kata-kata Emakya dan juga kata-kata Bibi.
Asep harus kerja, mana ada gadis yang mau dengan laki-laki malas dan pengangguran macam si Asep.
Apalagi bau apeknya sudah sampai meresap ke dalam tulang.
Asep mulai putar otak.
Otak yang selama ini jarang diputar itu akhirnya difungsikan sebagaimana mestinya.
Apa memang benar kata Bibi harusnya dia meneruskan usaha Bapak saja ya?
Asep mulai memikirkan usaha Bapaknya yang dulu sempat maju.
Usaha membuat etalase, rak dan juga beberapa jenis lemari untuk warung, toko, dan lain-lainnya.
Asep cengar-cengir pada stiker bintang yang ditempel SaNi di atas langit-langit kamar.
Ya, sepupunya semua sudah mulai sukses. Aisyah meski masih kecil sudah dilirik produser buat rekaman, SaNi yang baru dua tahun bekerja jadi teller salah satu Bank BUMN sekarang bahkan sudah beli rumah sendiri.
Asep jadi mulai merasa benar-benar tertinggal dalam semua hal.
Apalagi jika mengingat temannya dulu jaman SD, si Abdul, dia juga sukses jadi staf di kantor Kabupaten.
Aduh, Asep jadi senut-senut kepalanya.
Entah sudah berapa kali reuni Asep tak berani hadir.
Ia merasa minder sendiri membayangkan berkumpul dengan teman-temannya dulu, yang mayoritas sudah jadi orang, sedangkan ia justeru lumutan dan di ureng-urengi.
Kalau ingat itu, Asep rasanya jadi makin ngenes dan iba dengan dirinya sendiri.
Tak terbayang jika ia masih dalam keadaan seperti ini, lalu ia bertemu dengan ciwi-ciwi yang dulu menolaknya.
Juwita yang katanya sudah menikah dengan Guru Bahasa Inggris, atau Anita yang sekarang punya warung sate di dekat showroom Wak Imah.
Atau Ambavani, yang kabarnya juga menikah dengan pengusaha batik, dan Annisa Alma, yang dulu menolak Asep dengan surat bahasa Inggris yang Asep salah mengartikan walhasil jadinya malu.
Asep kemudian bangun dan duduk, ia tiba-tiba mengepalkan tangannya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Semangat!!"
Kata Asep pada dirinya sendiri.
Setelah mengatakan semangat, Asep kembali rebahan, tak sadar ada dua Cicak yang sedang ngobrol cara menangkap nyamuk jadi melihat menatap Asep dengan sinis.
"Apa sih itu manusia, gangguin kursus saja."
Begitulah kira-kira suara hati Cicak.
Asep kemudian memejamkan matanya, bibirnya mengulas senyuman.
"Tunggu Babang ngapel Melati, sabarlah."
Gumam Asep cengar-cengir tak jelas.
Di luar sana hujan masih mengguyur deras.
Emak di rumah baru mendapat telfon dari bibi Marni yang mengabarkan Asep menginap dan akan mulai tinggal di sana besok hari.
Bibi Marni juga cerita kemungkinan Asep akan mau buka usaha Bapaknya lagi, dan itu tentu saja adalah kabar baik bagi Emak.
Dan karena Asep dipastikan tak akan pulang, Emak akhirnya pergi ke belakang untuk ambil payung karena harus mengunci pagar rumah sendiri.
Hujan sudah mulai reda, tapi toh Emak tetap harus keluar menggunakan payung.
Emak berjalan cepat ke arah pagar rumah yang catnya mulai mengelupas dan berkarat di mana-mana.
Pagar besi jaman dulu, menandakan sisa-sisa kejayaan keluarga Asep saat Bapak masih hidup.
Emak tengah menggembok pintu pagar, manakala Bu Putri Marfuah dan Bu Resti berjalan beriringan dengan payung warna biru putih dengan logo sebuah Bank BUMN.
"Lho Bu Zakiah, tumben gembok pagar sendiri, Bang Asep ke mana?"
Tanya Bu Putri.
Kedua Ibu itu tampak kompak membawa kresek ayam bakar yang memang cukup sering mereka beli dari warung Bu Retno Guntara yang kabarnya cabang dari Bekasi.
Emak sendiri belum pernah mencoba, karena demi menghemat, Emak tentu tak bisa sering-sering makan enak.
Paling banter Emak nyeplok telor, kalau masak ayam juga harus dibuat sayur dicampur tahu atau tempe, karena kalau digoreng biasa langsung habis sekali makan, maka itu akan menambah beban pengeluaran Emak.
Kalau Bu Putri dan Bu Resti kan enak, anak-anaknya sudah pada sukses, tiap hari belanja di tukang sayur saja selalu udang, ayam, daging, sementara Emak...
Hupe, hupe, hupe...
Ya begitulah, nasib Emak-emak yang anaknya model macam Asep, masih harus terus berusaha hemat.
"Bang Asep pergi ya Bu Zakiah?"
Tanya Bu Resti menambahkan pertanyaan Bu Putri yang belum terjawab.
"Iya Ibu-ibu, Asep mulai hari ini di rumah Bibinya."
Jawab Emak akhirnya.
"Ooo di rumah Bibinya."
Bu Putri dan Bu Resti bersamaan sambil manggut-manggut.
**------------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Azaidane Azaidane
author lg nyensus ini....
2022-10-03
1
J S N Lasara
athor lanjut
2022-09-10
0
Lila Anggraini
wew asep...coba cekricek dulu tuh gadis msh bernyawa ato hny arwah 😁😁
2022-09-02
0