Sepulang dari luar kota, Astrid harus tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya. Kini Astrid harus tinggal bersama suaminya di sebuah apartemen mewah yang berada di pusat kota.
Saat tiba di parkiran, Astrid harus membawa kopernya yang berat tanpa di bantu oleh Janus. Pria yang menjadi suaminya itu, mengabaikan Astrid yang kesusahan membawa kopernya. Ia malah terus berjalan menuju lift dengan langkahnya yang cepat.
"Pak tunggu!! jangan cepat-cepat jalannya, aku kan ga tau kamarnya yang mana," teriak Astrid.
Janus tak menghiraukan teriakan Astrid tersebut. Ia malah tersenyum seakan menertawakan Astrid yang tengah kesusahan membawa kopernya yang berat. Membuat Astrid sedikit menderita adalah sebuah balasan dari Janus untuk sikap Astrid sewaktu di hotel.
Pada saat di lift barulah Janus menunggu Astrid, ia membiarkan pintu lift terbuka agar Astrid bisa naik bersama.
"Bapak tahukan kalau di dalam koper itu, isinya hampir semua baju yang ada di lemari kamarku," ucap Astrid ketika memasuki lift.
"Iya tahu ko," ucap Janus dengan ekspresi datar.
"Kalau bapak tahu, seharusnya bapak membantu aku. Setidaknya, sebagai seorang laki-laki harusnya membawakan koper untuk perempuan," ucap Astrid kesal.
Janus masih berekspresi datar, Ia sama sekali tak merasa bersalah atas perbuatannya itu. "Tapi kan aku tidak benar-benar meninggalkanmu. setidaknya aku masih menunggumu di lift, dan kalau aku membawa kopermu, bagaimana dengan koperku... aku juga berat membawa koper."
"Koper kamu kecil dan isinya hanya beberapa baju."
Lalu seorang tetangga apartemen yang berada di lift bersama Janus dan Astrid, tiba-tiba saja menepuk pundak Janus. "Nus kenapa dia panggil bapak? padahal kamu masih muda, apa dia pembantu kamu?"
"Bukan, dia sepupu saya. Dia jadi terbiasa manggil saya bapak, karena saya mengajar di sekolahnya," jawab Janus tersenyum.
Janus menahan tawanya setelah menjawab pertanyaan yang di lontarkan tetangganya itu. Sementara Astrid yang kesal dengan Janus, malah semakin kesal karena ucapan tetangga tersebut.
"Penampilan sebagus gini malah di kira pembantu," gumam Astrid di batinnya.
Lift telah berhenti di lantai apartemen yang akan di tempati Janus dan Astrid. Janus dan Astrid pun segera keluar dari lift menuju apartemennya. Saat berada di apartemen, Astrid meluapkan kekesalanya sewaktu di lift tadi.
"Penampilanku tidak seperti pembantu, kenapa dia mengira aku pembantu," gerutu Astrid.
Janus menertawakan Astrid yang tengah kesal setelah di sebut pembantu oleh tetangga di apartemennya itu. Ia juga merasa sangat puas setelah membalas perbuatan istrinya itu.
"Haha... pembantu, sepertinya kamu lebih cocok jadi pembantuku dibandingkan jadi istriku."
"Berhenti tertawa!! kalau tidak aku lempar kamu sama koper," ucap Astrid yang semakin bertambah kesal dengan Janus yang tak henti menertawakannya.
"Upss... iya maaf istriku," ucap Janus menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Setelah puas menertawakan istrinya, Janus kemudian menunjukan kamar yang akan di tempati istrinya itu. Namun Astrid tampak heran, karena kamar di apartemennya hanya ada satu. Sementara Astrid tak ingin sekamar dengan pria menyebalkan yang kini telah menjadi suaminya itu.
"Kamarnya cuma satu dan tempat tidurnya cuma satu. Kita kan nikah ga beneran," ucap Astrid menatap isi kamar dari balik pintu.
"Apartemenku cuma punya ada satu kamar, jadi kita tidur sekamar. Kalau kamu ga mau, kamu bisa tidur di sofa."
"Aku perempuan kenapa harus tidur di sofa. Bapak ngalah dong, pak janus saja yang tidur di sofa."
"Waktu di hotel aku ngalah ga pake bantal, sekarang masa aku harus ngalah lagi sih."
Tak hentinya Astrid dan Janus berdebat memperebutkan siapa yang pantas tidur di kamar tersebut. Hingga suatu ketika, keduanya memikirkan hal yang sama. Yaitu memasuki kamar tersebut secepatnya, lalu mengunci rapat pintu kamar.
Namun, ketika keduanya memasuki kamar. Tak ada yang lebih cepat memasuki kamar tersebut. Astrid dan Janus malah berhimpitan di pintu kamar.
"Pokoknya aku harus tidur di kamar," ucap Astrid yang berusaha keras keluar dari pintasan pintu.
Begitu pun dengan Janus yang juga tak mau kalah memasuki kamar. "Aku ga mau ngalah lagi, ini apartemenku aku berhak berkuasa disini."
Tubuh Astrid yang lebih kecil dari Janus perlahan mulai bisa keluar. Namun, ketika ia keluar dari pintasan pintu, seketika Janus menarik lengan Astrid.
"Mau kemana? kamu ga bisa masuk kamar sekarang."
"Lepas ga!! aku tau kamu pemilik apartemennya. Tapi ada istilah, milik suami juga milik istri," Astrid berusaha melepaskan tangan Janus.
"Ok gini aja, kita suit yang menang berhak tidur di kamar," ucap Janus melepas lengan Astrid.
"Ok dengan senang hati."
Keduanya segera bersiap dengan tangan kanan yang bersembunyi di balik punggung. Kedua matanya saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang tajam. Lalu kemudian mereka pun siap bertanding.
Suit pertama mereka mengeluarkan batu, lalu yang kedua mereka mengluar kertas. Dan berulang kali keduanya mengeluarkan hal yang sama. Suasana semakin panas saja, karena belum ada yang berhasil memenangkan suit tersebut.
Hingga tiba-tiba saja keduanya mengeluarkan suit yang berbeda. Janus mengeluarkan gunting, sementara Astrid mengeluarkan kertas. Seketika Janus berteriak kegirangan karena ia berhasil memenangkan pertandingan tersebut.
"Yeahhh... malam ini kamu tidur di sofa."
"Pak Janus pasti telat kan mengeluarkan tanganya," ucap Astrid yang seketika panik dengan kekalahannya.
"Ga usah nuduh, mending kamu segera menyingkir dari kamar," ucap Janus tersenyum menyeringai.
Dengan berat hati, Astrid pun melangkahkan kakinya dari kamar tersebut.
"Suamiku yang tampan, apa kamu rela membiarkan istrimu tidur di sofa." keluh Astrid dengan ekspresi sedih yang nampak palsu.
"Sangat rela sekali," ucap Janus sembari menutup pintu kamar.
"Dih, dasar pria jahat," gerutu Astrid.
Janus lalu kembali membuka pintu kamarnya. "Hanya malam ini kamu tidur di sofa. Karena besok aku akan mengganti tempat tidur dengan yang lebih kecil, supaya kamarku bisa muat dengan 2 tempat tidur. Jadi bersabarlah, fighting!!" ucapnya tersenyum, kemudian kembali menutup pintu kamar tersebut.
"Idih, dasar suami jahat. Harusnya malam ini ngalah dong sama istri," ucap Astrid meninggikan suaranya.
Astrid kemudian membaringkan tubuhnya di sofa. Namun ia tak merasakan ngantuk sama sekali, matanya terus terbuka dan terbayang kamarnya yang nyaman.
"Mah Astrid mau pulang," gumam Astrid.
Berulang kali ia berpindah posisi tidur. Namun, matanya sama sekali tak merasakan kantuk. Astrid nampak gelisah karena sudah menjelang tengah malam, ia sama sekali tak tertidur.
Lalu tiba-tiba saja Janus keluar dari kamar sembari membawa bantal dan selimut. "Maaf telat bawa bantal sama selimutnya, pasti ga nyaman ya."
"Jelas ga nyaman lah, besok aku harus sekolah. Dan aku sama sekali ga bisa tidur," ucap Astrid.
"Mau aku nyanyikan lagu, supaya kamu bisa cepat tidur."
"Kalau kamu nyanyi, nanti aku makin ga bisa tidur," ucap Astrid.
"Aku jamin kamu pasti tertidur lelap setelah mendengarkan suaraku yang merdu." Janus beranjak pergi untuk membawa gitar yang berada di kamarnya.
Setelah mengambil gitar Janus lalu kembali ke tempat Astrid berbaring. Janus mulai memainkan gitar yang di bawanya, kemudian ia pun mulai menyanyikan sebuah lagu. Seketika Astrid tak berkedip menatap Janus, ia tak menyangka bahwa suara Janus bisa semerdu penyanyi profesional.
Jantung Astrid berdebar cukup hebat, hingga membuat rona merah muncul di kedua pipinya.
"Cukup mengesankan," gumam Astrid di batinnya.
Janus terus bernyanyi sampai istrinya bisa tertidur lelap. Tanpa peduli bahwa matanya sudah berat karena rasa kantuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
kai
😅😅😅😅😅😅
2022-04-29
0
ayu
jut lanjut
2022-04-29
0
rudy
aku msih blum puas bcanya
2022-04-29
1