Bayi Ambar

Bayi Ambar

Masa Lalu (Hadi)

Aku meremas erat rambut yang semakin memanjang dan tampak kusut. Ku seka kasar wajahku yang sedari tadi sudah ku lipat. Membaca laporan penghasilan harian yang semakin menurun setiap harinya membuatku cukup frustasi. Bagaimana tidak, usaha rumah makan yang selama ini aku geluti tak pernah seperti ini. Pelanggan yang datang seolah tiada henti, kotak penyimpanan uang selalu penuh saat tengah hari. Tapi kini, saat malam sudah datang pun ku lihat kotak uang hanya berisi beberapa lembaran yang tak seberapa. Di tambah kerugian bahan makanan yang tak sempat di masak karena sepinya pengunjung menambah besar nominal kerugian yang aku alami.

"Kalau memang sudah tak bisa di perbaiki, apa tidak sebaiknya kita akhiri saja, Mas?"

Aku menghela nafas panjang saat mendengar ucapan Ratih, istriku. Berulang kali ia membujukku untuk segera menutup rumah makannya dan memulai usaha lagi dari nol. Lebih baik kita mulai dari nol lagi sebagai penjual makanan kecil-kecilan seperti warteg, dari pada harus terus mempertahankan rumah makan yang sepi pengunjung. Apalagi kalau harus membayar karyawan dan juga biaya perawatan.

Ada benarnya juga kalau di pikir-pikir ucapannya. Hanya saja aku belum ikhlas kalau harus kehilangan mata pencaharian yang selama ini sudah berhasil menghidupi keluargaku. Apalagi ada alasan mengapa aku masih berat melepaskan usaha kami satu-satunya ini.

Dulu aku hanyalah anak seorang keluarga miskin. Untuk makan sehari-hari saja kami harus menunggu datangnya rejeki lebih. Ibu bekerja di warung makan sederhana. Kadang saat pulang kerja membawa sisa sayur dan lauk untuk kami makan. Apakah semua makanan yang ibu bawa itu makanan bagus? Tentu saja tidak. Pemilih warung makan sangat pelit. Ia sangat teliti dan hemat atas apa yang ada di etalase makannya. Ibu hanya akan membawa sisa makanan dari makanan pengunjung yang tak habis. Saat ibu mencuci piring-piring bekas mereka makan, Ibu akan mengumpulkan sisa makanan yang sekiranya masih layak untuk di bawa pulang.

Sebenarnya Ibu tak pernah bercerita. Beliau selalu saja bilang kalau itu makanan bagus dan pemberian dari sang pemilik warung makan. Namun tanpa sepengetahuan Ibu, aku pernah melihat ibu memasukkan potongan tempe sisa pengunjung ke dalam plastik saat Ibu mencuci piring kotor di samping warung. Karena letak tempat mencuci piringnya terletak di luar warung, tentu saja siapapun yang lewat bisa melihat apa yang Ibuku lakukan.

Aku menyeka air mata yang tanpa sadar mengalir keluar. Teringat betapa pedihnya masa-masa silam yang aku lalui bersama Ibu. Bapak ku sudah lama meninggal. Bahkan aku sendiri tak begitu mengingat bagaimana wajah Bapak. Kami hidup bertiga bersama adik ku Ratna. Hanya saja Ratna sakit-sakitan. Makanya uang hasil kerja Ibu sering habis untuk membeli obat Ratna. Kadang pula Ratna tak minum obat uang hasil kerja Ibu hanya sedikit dan hanya bisa untuk kami makan sehari-hari.

Ratna tak pernah berobat di Rumah sakit, atau bahkan ke dokter spesialis. Ia hanya mengandalkan obat-obatan generik dari puskesmas. Atau kadang membeli obat warung untuk sekedar meredakan rasa sakit.

Saat usia Ratna menginjak delapan belas tahun, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Hingga akhirnya Ratna pasrah dan menyerah. Begitu juga dengan Ibu. Beliau sudah ikhlas dengan apa yang terjadi pada Ratna. Ratna meninggalkan kami berdua sendiri. Menyusul Bapak ke alam baka.

"Ratna sudah ndak sakit lagi sekarang, Le. Kamu yang ikhlas melepas adikmu." begitu pesan Ibu padaku.

Ratna adik ku satu-satunya. Ia sangat ku sayangi. Kami selalu berbagi dalam segala hal. Bahkan untuk soal makanan, aku rela menahan lapar asal Ratna kenyang dan bisa istirahat dengan nyenyak. Ratna sudah terlalu banyak menderita sedari kecil. Kalau hanya menahan lapar, aku pun masih sanggup.

Aku terisak mengingat kenangan kami saat masih bersama. Setelah kepergian Ratna, aku memutuskan untuk ikut Ibu bekerja. Bedanya aku bekerja di sebuah rumah makan. Hanya sebagai tukang bersih-bersih dan cuci piring bekas para pelanggan.

"Kamu kerja disini toh, Di?" tepukan keras di bahu membuatku menoleh. Saat itu ada Rudi teman semasa sekolah menengah atas dan juga Dessy. Gadis yang sempat ku taksir semasa sekolah dulu. Namun dia menolak ku karena aku orang miskin.

"Dari dulu nggak ada kemajuan sama sekali hidupmu, kawan." Rudi tertawa. Sedangkan ku lihat Dessy melirik ku dengan tatapan yang entahlah, aku sendiri tak paham apa maksudnya. Aku menganggap bahwa senyuman mereka mengandung ejekan.

"Maaf, aku sedang banyak pekerjaan." ucapku sambil berlalu membawa beberapa piring kotor bekas pelanggan.

Prraaanngg ...

Seketika wajahku memucat. Piring-piring yang ku bawa terjatuh dan pecah berantakan. Mana mungkin aku bisa mengganti semua kerusakan ini, sedangkan gajiku tak seberapa.

Aku mendengar riuh suara tawa dari kedua temanku tadi. Hanya saja aku tak menanggapi. Aku terlalu panik dan sibuk dengan pecahan-pecahan piring di hadapanku.

"Kamu nggak apa-apa?" tepukan lembut terasa di bahu.

"Ma, maafkan saya, Bu." ucapku terbata. Bu Sofi pemilik rumah makan tiba-tiba berada tepat di belakangku.

"Kamu kumpulkan semua pecahan-pecahan ini biar tidak mengenai orang lain segera." aku gelagapan. Segera aku berlari mencari sapu dan juga alat kebersihan lainnya untuk mengumpulkan pecahan-pecahan kaca. Beberapa pasang mata tampak melihat ke arahku.

"Ma, maafkan saya, Bu." ku hampiri Bu Sofi setelah membereskan semuanya.

"Jangan khawatir. Aku tak meminta ganti rugi materi untuk semua piring yang kamu pecahkan tadi." ucapnya santai.

"Te, terimakasih banyak, Bu. Ibu sungguh murah hati."

"Tapi aku minta sesuatu dari kamu." ucapnya.

"Carikan ini semua. Segera bawa ke saya." perintahnya sambil memberikan catatan dan juga beberapa lembaran merah kepadaku.

Untuk apa coba Bu Sofi memintaku untuk membeli semua perlengkapan bayi dan anak-anak. Sedangkan Bu Sofi tak memiliki anak. Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam pikiranku. Apalagi aku harus merahasiakan ini semua dari karyawan lainnya.

Aku membantu Bu Sofi mendekor sebuah ruangan untuk di jadikan sebuah kamar. Lebih tepatnya kamar anak-anak. Aneka mainan dan juga pernak pernik di pasang sedemikian rupa hingga terlihat menarik bagi siapa saja anak kecil yang melihatnya.

"Jangan tanya ataupun membahas apapun yang berhubungan dengan kamar ini."

Sepertinya Bu Sofi mengetahui isi kepalaku.

Akhirnya ku urungkan niatku bertanya tentang semua ini.

"Apa kamu nggak bosen hidup miskin terus, Di?" tanya Bu Sofi di sela-sela kesibukan kami berdua mendekor kamar.

Aku menoleh, hanya sebuah senyuman yang ku beri.

"Sebaiknya kamu mulai berjuang, aku yakin kamu pasti bisa jadi orang kaya." ucapnya membuatku menghentikan pekerjaanku.

Terpopuler

Comments

alena

alena

bagus cerita nya

2022-04-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!