Keajaiban

Ratih terlihat sangat menyayangi bayi itu. Bahkan sejak bangun tidur, hanya bayi itu yang ia timang-timang. Mungkin karena saking bahagianya karena selama ini kami belum juga di berikan momongan.

"Dik, Mas sudah masak. Kamu sarapan dulu sana, Mas mau ke rumah makan." pamitku lada Ratih.

"Sampai kapan Mas mau buka restoran itu, Mas? Kita jual saja restoran itu, toh sekarang sepi." ucap Ratih sambil duduk di sebelahku yang sedang menyesap sisa-sisa teh manis yang masih tersisa.

"Sabar, Dik. Jual tempat tidak semudah jualan sembako. Lagi pula, di jaman susah seperti sekarang ini. Siapa yang mau beli bangunan tua dan sepi pengunjung seperti sekarang ini." aku memberikan penjelasan pada istriku berharap dia mengerti bahwa sebenarnya aku masih berat untuk melepas rumah makan yang kami bangun dengan susah payah. Benar saja, rumah makan milik kami awalnya bangunan tua milik seorang teman ayah Ratih. Karena terbengkalai, akhirnya di beli dan kami renovasi sendiri. Awalnya ramai, namun karena pandemi dan serba susah. Rumah makan kami pun terkena imbasnya. Pengunjung mulai sepi, bahkan kadang sama sekali tak ada yang datang berkunjung untuk beberapa hari. Beberapa karyawan terpaksa harus kami rumahkan. Bahkan hingga saat ini, hanya tersisa aku dan salah seorang kepercayaan ku yang masih bertahan.

Aku melihat Ibra sedang mengelap meja dan kursi. Meskipun dia tahu akan seperti apa hari ini, namun ia tetap saja melakukan pekerjaan itu setiap hari.

"Pagi, Pak." sapanya saat melihatku memasuki rumah makan.

Aku bergegas ke dapur, untuk mengecek sisa bahan makanan yang masih layak pakai. Sayuran yang sudah layu biasanya langsung ku buang. Aku bahkan tak berani menyimpan banyak bahan makanan karena tahu bagaimana nantinya. Biasanya Ibra akan ku minta untuk membawanya pulang untuk keluarganya. Dengan gembira dia akan menerima semua itu. Ibra yang masih harus menyekolahkan adik satu-satunya itu, di tambah dia salah satu tulang punggung keluarga yang harus menghidupi adik dan ibunya karena Bapaknya sudah lama meninggal.

"Loh, ini kamu sudah masak?" aku menghampiri Ibra yang sedang sibuk menyapu lantai depan.

"Sudah, Pak. Tadi pagi-pagi pas baru buka ada dua pelanggan datang untuk makan di rumah makan kita." senyum Ibra mengembang sempurna. Terlihat jelas rasa bahagia itu terpampang di wajahnya. Sudah lama ia tak melayani pelanggan yang datang sepagi ini untuk makan di sini. Aku pun tak kalah bahagia mendengar penuturan karyawan ku itu.

Aku pulang terlambat hari ini. Kabar bahagia ini akan ku sampaikan pada Ratih sesampainya di rumah nanti. Entah keajaiban dari mana, hari ini rumah makan laris manis. Bahkan saking ramainya, aku pun ikut turun tangan melayani pelanggan yang singgah untuk makan. Biasa aku hanya akan memasak karena memang aku membuka rumah makan ini untuk mengasah kemampuan masak yang ku peroleh saat bekerja di restoran Bu Sofi dahulu.

"Oh iya, apa kabar Bu Sofi ya?" tiba-tiba saja aku teringat dengan mantan atasanku yang sebenarnya ku anggap aneh itu. Aku juga masih ingat saat membantunya membuat sebuah kamar anak sedangkan beliau tak memiliki anak di usianya yang sudah mulai memasuki usia tak produktif lagi.

"Mungkin beliau mengadopsi seorang anak." pikirku waktu itu. Namun yang aneh, mengapa aku tak memperbolehkan aku bercerita pada siapapun, bahkan kepada sesama karyawan yang bekerja bersama di restoran Bu Sofi waktu itu.

Aku berniat mampir di restoran milik Bu Sofi kapan-kapan sambil mengajak Ratih dan juga anak yang saat ini berada di rumah kami. Toh dulunya aku juga bertemu Ratih disana. Sekalian nostalgia, siapa tahu Bu Sofi masih mengingatku.

Terpopuler

Comments

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

bagus ceritanya...up lg dunk 😃

2022-11-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!