"Oooeeee ... oooeee ..." langkah kakiku terhenti manakala terdengar suara tangisan bayi saat baru saja masuk ke ruang tamu rumah.
"Dik." panggilku lirih pada Ratih istriku.
Takutnya sedang ada tamu atau teman Ratih yang berkunjung untuk sekedar main dan membawa bayi.
"Dik." lagi, ku panggil pelan istriku. Namun tak ada juga jawaban yang ku dapat.
Mataku terbelalak saat melihat seonggok bayi merangkak dengan cepat keluar dari kamar dan melihat ke arahku. Tatapan matanya yang tajam seakan-akan menghunus tepat di kedua kelopak mataku.
Bayi itu dengan cepatnya merangkak dan menghampiriku. Berputar-putar di bawah kakiku dan sepertinya mengendus-endus tubuhku. Kulitnya yang putih tampak pucat. Tidak seperti kulit manusia pada umumnya. Ku coba untuk menyentuhnya, dingin. Saking dinginnya tubuh bayi itu membuatku terperanjat dan spontan kulepaskan kembali tanganku dari tubuh mungilnya. Mengingatkanku pada sesuatu yang pernah ku sentuh jauh sebelumnya.
"Mas." sebuah tepukan membuatku terperanjat dan segera menoleh ke belakang.
"Lihat apa?"
Aku yang di tanya hanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok bayi tersebut.
"A... anu. Itu."
Namun kedua netraku tak lagi melihat sosok bayi yang sedari tadi mengitari kedua kakiku.
"Ta... tadi Mas dengar ada anak kecil menangis." ucapku ragu-ragu. Ratih mengernyitkan dahi. Wajahnya tampak bingung, namun kemudian berubah menjadi sendu.
"Dik, kenapa kamu tiba-tiba murung?" tanyaku merasa bersalah.
Ia tak menjawab. Ia malah meraih tas di tangan dan membantuku melepas kemeja yang ku kenakan.
"Maafkan aku, Mas." bisiknya lirih.
"Maaf untuk apa, Dik?"
"Maaf, aku tak bisa memberikanmu keturunan. Sehingga membuatmu berhalusinasi dengan tangisan anak kecil." jawabnya lemah. Setelah ia menyimpan tas dan kemejaku, secepat kilat ia kembali membawakan secangkir kopi untukku dan menaruhnya di atas meja.
"Bu... bukan begitu maksudnya, Dik." ucapku benar-benar merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, Mas. Wajar saja kalau kamu rindu suara tangisan bayi. Apa mungkin kamu akan menikah lagi untuk mendapatkan keturunan?" pertanyaan Ratih sungguh di luar dugaan. Lidahku tak mampu ku gerakkan. Bahkan sepatah katapun tak bisa ku ucapkan untuk membantan ucapan Ratih istriku. Aku hanya mampu terdiam dan mencoba untuk memeluknya.
"Mas tidak bermaksud seperti itu, Dik. Hanya saja tadi, Mas benar-benar mendengar suara tangisan bayi." ucapku sungguh-sungguh mencoba membuat Ratih percaya dengan apa yang ku dengar tadi.
Kini Ratih tampak kebingungan. Bahkan ia terlihat sungguh-sungguh bahwa ia tidak mendengar apa yang ku dengar juga.
"Tidak ada anak kecil disini, Mas." ucap Ratih sambil menggandeng erat tanganku.
"Kamu kenapa, Dik?"
"Mas membuat aku takut." ucapnya membuatku merasakan hal yang sama. Sudah jelas tadi ku lihat ada bayi merangkak keluar dari kamar dan menghampiriku. Lantas tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak saat Ratih datang.
Aku mencoba menepis perasaan takut itu. Ku ajak Ratih untuk melupakan apa yang ku dengar tadi. Bahkan aku tak menceritakan sedikitpun apa yang ku lihat.
"Mungkin tetangga, Dik." hiburku mencoba mencairkan suasana yang entah bagaimana menjelaskannya.
Gubbrraaakkk...
Ku lihat lagi sekelebat bayangan masuk ke dalam kamar. Terlihat sebuah kaki kecil merangkak dengan cepat masuk ke dalam kamar kami.
"Astaghfirullah."
Ratih tak ada di rumah. Sepertinya ia pergi keluar saat aku tak sengaja terlelap karena lelah seharian berada di rumah makan. Ku coba untuk mencari sosok itu kali ini. Semua sudut ruangan kamar ku cari sampai akhirnya sebuah senyuman yang menurutku mampu membuat bulu kudukku berdiri terpampang jelas dari pantulan cermin lemari. Secepat kilat ku toleh ke belakang. Dan benar saja, seorang anak kecil berkulit putih pucat sedang duduk di sudut ruangan dan tersenyum menyeringai ke arahku. Aku mundur perlahan, namun sosok kecil itu malah merangkak mendekatiku. Saat aku berhenti, sosok kecil itu pun juga berhenti mendekatiku.
Wajahnya pucat, matanya memiliki lingkar hitam di bawahnya. Bibirnya yang kebiruan membuatku menerka bahwa dia sedang tak baik-baik saja.
"Hey, nak. Sedang apa kamu disitu?" tanyaku perlahan sambil mendekat ke arahnya. Sosok itu hanya mematung. Tak bergerak sedikitpun. Bahkan matanya tak lepas menatapku. Degub jantung tak beraturan saat posisiku semakin dekat dengannya. Bahkan bayi itu pun tak bergeming dengan kedatanganku. Sebuah senyum menyeringai kembali tersungging dari sudut bibirnya, membuatku urung untuk menyentuhnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments