Aku meremas erat rambut yang semakin memanjang dan tampak kusut. Ku seka kasar wajahku yang sedari tadi sudah ku lipat. Membaca laporan penghasilan harian yang semakin menurun setiap harinya membuatku cukup frustasi. Bagaimana tidak, usaha rumah makan yang selama ini aku geluti tak pernah seperti ini. Pelanggan yang datang seolah tiada henti, kotak penyimpanan uang selalu penuh saat tengah hari. Tapi kini, saat malam sudah datang pun ku lihat kotak uang hanya berisi beberapa lembaran yang tak seberapa. Di tambah kerugian bahan makanan yang tak sempat di masak karena sepinya pengunjung menambah besar nominal kerugian yang aku alami.
"Kalau memang sudah tak bisa di perbaiki, apa tidak sebaiknya kita akhiri saja, Mas?"
Aku menghela nafas panjang saat mendengar ucapan Ratih, istriku. Berulang kali ia membujukku untuk segera menutup rumah makannya dan memulai usaha lagi dari nol. Lebih baik kita mulai dari nol lagi sebagai penjual makanan kecil-kecilan seperti warteg, dari pada harus terus mempertahankan rumah makan yang sepi pengunjung. Apalagi kalau harus membayar karyawan dan juga biaya perawatan.
Ada benarnya juga kalau di pikir-pikir ucapannya. Hanya saja aku belum ikhlas kalau harus kehilangan mata pencaharian yang selama ini sudah berhasil menghidupi keluargaku. Apalagi ada alasan mengapa aku masih berat melepaskan usaha kami satu-satunya ini.
Dulu aku hanyalah anak seorang keluarga miskin. Untuk makan sehari-hari saja kami harus menunggu datangnya rejeki lebih. Ibu bekerja di warung makan sederhana. Kadang saat pulang kerja membawa sisa sayur dan lauk untuk kami makan. Apakah semua makanan yang ibu bawa itu makanan bagus? Tentu saja tidak. Pemilih warung makan sangat pelit. Ia sangat teliti dan hemat atas apa yang ada di etalase makannya. Ibu hanya akan membawa sisa makanan dari makanan pengunjung yang tak habis. Saat ibu mencuci piring-piring bekas mereka makan, Ibu akan mengumpulkan sisa makanan yang sekiranya masih layak untuk di bawa pulang.
Sebenarnya Ibu tak pernah bercerita. Beliau selalu saja bilang kalau itu makanan bagus dan pemberian dari sang pemilik warung makan. Namun tanpa sepengetahuan Ibu, aku pernah melihat ibu memasukkan potongan tempe sisa pengunjung ke dalam plastik saat Ibu mencuci piring kotor di samping warung. Karena letak tempat mencuci piringnya terletak di luar warung, tentu saja siapapun yang lewat bisa melihat apa yang Ibuku lakukan.
Aku menyeka air mata yang tanpa sadar mengalir keluar. Teringat betapa pedihnya masa-masa silam yang aku lalui bersama Ibu. Bapak ku sudah lama meninggal. Bahkan aku sendiri tak begitu mengingat bagaimana wajah Bapak. Kami hidup bertiga bersama adik ku Ratna. Hanya saja Ratna sakit-sakitan. Makanya uang hasil kerja Ibu sering habis untuk membeli obat Ratna. Kadang pula Ratna tak minum obat uang hasil kerja Ibu hanya sedikit dan hanya bisa untuk kami makan sehari-hari.
Ratna tak pernah berobat di Rumah sakit, atau bahkan ke dokter spesialis. Ia hanya mengandalkan obat-obatan generik dari puskesmas. Atau kadang membeli obat warung untuk sekedar meredakan rasa sakit.
Saat usia Ratna menginjak delapan belas tahun, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Hingga akhirnya Ratna pasrah dan menyerah. Begitu juga dengan Ibu. Beliau sudah ikhlas dengan apa yang terjadi pada Ratna. Ratna meninggalkan kami berdua sendiri. Menyusul Bapak ke alam baka.
"Ratna sudah ndak sakit lagi sekarang, Le. Kamu yang ikhlas melepas adikmu." begitu pesan Ibu padaku.
Ratna adik ku satu-satunya. Ia sangat ku sayangi. Kami selalu berbagi dalam segala hal. Bahkan untuk soal makanan, aku rela menahan lapar asal Ratna kenyang dan bisa istirahat dengan nyenyak. Ratna sudah terlalu banyak menderita sedari kecil. Kalau hanya menahan lapar, aku pun masih sanggup.
Aku terisak mengingat kenangan kami saat masih bersama. Setelah kepergian Ratna, aku memutuskan untuk ikut Ibu bekerja. Bedanya aku bekerja di sebuah rumah makan. Hanya sebagai tukang bersih-bersih dan cuci piring bekas para pelanggan.
"Kamu kerja disini toh, Di?" tepukan keras di bahu membuatku menoleh. Saat itu ada Rudi teman semasa sekolah menengah atas dan juga Dessy. Gadis yang sempat ku taksir semasa sekolah dulu. Namun dia menolak ku karena aku orang miskin.
"Dari dulu nggak ada kemajuan sama sekali hidupmu, kawan." Rudi tertawa. Sedangkan ku lihat Dessy melirik ku dengan tatapan yang entahlah, aku sendiri tak paham apa maksudnya. Aku menganggap bahwa senyuman mereka mengandung ejekan.
"Maaf, aku sedang banyak pekerjaan." ucapku sambil berlalu membawa beberapa piring kotor bekas pelanggan.
Prraaanngg ...
Seketika wajahku memucat. Piring-piring yang ku bawa terjatuh dan pecah berantakan. Mana mungkin aku bisa mengganti semua kerusakan ini, sedangkan gajiku tak seberapa.
Aku mendengar riuh suara tawa dari kedua temanku tadi. Hanya saja aku tak menanggapi. Aku terlalu panik dan sibuk dengan pecahan-pecahan piring di hadapanku.
"Kamu nggak apa-apa?" tepukan lembut terasa di bahu.
"Ma, maafkan saya, Bu." ucapku terbata. Bu Sofi pemilik rumah makan tiba-tiba berada tepat di belakangku.
"Kamu kumpulkan semua pecahan-pecahan ini biar tidak mengenai orang lain segera." aku gelagapan. Segera aku berlari mencari sapu dan juga alat kebersihan lainnya untuk mengumpulkan pecahan-pecahan kaca. Beberapa pasang mata tampak melihat ke arahku.
"Ma, maafkan saya, Bu." ku hampiri Bu Sofi setelah membereskan semuanya.
"Jangan khawatir. Aku tak meminta ganti rugi materi untuk semua piring yang kamu pecahkan tadi." ucapnya santai.
"Te, terimakasih banyak, Bu. Ibu sungguh murah hati."
"Tapi aku minta sesuatu dari kamu." ucapnya.
"Carikan ini semua. Segera bawa ke saya." perintahnya sambil memberikan catatan dan juga beberapa lembaran merah kepadaku.
Untuk apa coba Bu Sofi memintaku untuk membeli semua perlengkapan bayi dan anak-anak. Sedangkan Bu Sofi tak memiliki anak. Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam pikiranku. Apalagi aku harus merahasiakan ini semua dari karyawan lainnya.
Aku membantu Bu Sofi mendekor sebuah ruangan untuk di jadikan sebuah kamar. Lebih tepatnya kamar anak-anak. Aneka mainan dan juga pernak pernik di pasang sedemikian rupa hingga terlihat menarik bagi siapa saja anak kecil yang melihatnya.
"Jangan tanya ataupun membahas apapun yang berhubungan dengan kamar ini."
Sepertinya Bu Sofi mengetahui isi kepalaku.
Akhirnya ku urungkan niatku bertanya tentang semua ini.
"Apa kamu nggak bosen hidup miskin terus, Di?" tanya Bu Sofi di sela-sela kesibukan kami berdua mendekor kamar.
Aku menoleh, hanya sebuah senyuman yang ku beri.
"Sebaiknya kamu mulai berjuang, aku yakin kamu pasti bisa jadi orang kaya." ucapnya membuatku menghentikan pekerjaanku.
Aku bertemu Ratih dua tahun setelah bekerja di rumah makan milik Bu Sofi. Ratih dulunya seorang pelanggan yang sering datang untuk sekedar makan siang bersama teman-teman kerjanya saat ia masih bekerja di sebuah perusahaan di sekitar kawasan kota. Karena sering bertemu, bahkan berpapasan saat Ratih ingin mencuci tangan di wastafel, lambat laun muncul perasaan tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Meskipun awalnya aku merasa malu dan sungkan untuk mengenalnya, namun pada akhirnya Ratih mau menerimaku sebagai seorang kekasih dengan bantuan teman kerjaku.
"Kapan kamu akan melamarku, Mas?" tanya Ratih di ujung senja waktu itu. Ingin sekali ku jawab besok pun akan ku nikahi, namun apa dayaku yang hanya seorang kuli cuci piring di sebuah rumah makan yang gajinya tak pernah bisa cukup sampai akhir bulan kalau tidak banyak dibantu oleh Bu Sofi yang sering memberikan makanan sisa restoran untuk ku bawa pulang.
"Sabar ya, Dik. Mas belum punya uang." ucapku lirih. Malu rasanya diri ini yang berani memacari namun belum berani menafkahi.
"Maafkan, Mas, Dik. Mas belum mampu memenuhi permintaanmu. Tetapi kalau kamu sudah sangat ingin mengakhiri masa lajangmu, Mas ijinkan kamu menikah dengan orang lain." ucapku sendu. Sungguh sesak dan sakit hati ini saat mengatakan hal bodoh macam itu kepada wanita yang ku cintai. Bukannya aku hanya bisa pasrah dan menyerah, namun aku hanya sadar diri saja bahwa aku memang tak mampu memenuhi permintaan gadis yang ku cintai dalam waktu dekat ini. Sedangkan orang tua Ratih sudah sangat ingin melihat putrinya bersanding di pelaminan.
"Mas ngomong apa? Bapak sama Ibu hanya meminta Mas datang kerumah untuk melamarku. Mereka setuju dan mau menerima Mas apa adanya." ucap Ratih membuatku terkejut.
"Mas, Ratih mohon. Tetaplah kita bersama. Bapak dan Ibu sangat menyayangimu. Mas Hadi tahu kan?" aku mengangguk membenarkan ucapan Ratih. Memang benar, selama ini orang tua Ratih memang sangat menyayangiku. Terlebih lagi setelah tahu semua kisah hidupku selama ini. Bukan niatku menjual kisah sedih hidupku demi mendapatkan simpati mereka, hanya saja aku ingin berterus terang kepada mereka siapa aku sebenarnya. Berharap mereka tidak akan kecewa setelah mengetahui seluk beluk kehidupanku yang sarat akan kemiskinan.
"Sah? Saaahhhh ... " kompak terdengar riuh suara para saksi yang hadir dalam pernikahanku dan Ratih. Meskipun hanya digelar seadanya dan hanya dihadiri keluarga dekat saja, namun acaranya cukup meriah dan membuatku terkesan. Keluarga Ratih membiayai hampir seluruhnya biaya pernikahanku. Sedangkan aku hanya mampu menyumbang sedikit tabunganku yang sedari dulu sengaja ku sisihkan untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Dan sedikit tabungan milik Ibu yang sengaja beliau simpan untukku setelah tak lagi membeli obat untuk Ratna, adikku.
"Aaahhh ... rasanya aku sangat merindukan adik kecilku itu." aku tersedu mengingat tawa kecil adik kecilku saat aku pulang bermain dan membawakannya buah jeruk yang ku petik dari kebun buah Pak Kurdi. Bukan dengan mencuri aku mendapatkannya. Namun aku senang membantu Pak Kurdi membersihkan kebunnya dari rumput-rumput liar sehingga selepas itu Pak Kurdi memberikan buah jeruk sebagai upah untukku.
"Kamu kenapa menangis, Mas?" usap Ratih di pundakku. Kami berdua memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah dengan menyewa perbulan. Tentu saja semua itu Ratih yang membayarnya. Kadang aku merasa malu dan tak punya harga diri saat semua istriku yang mengeluarkan uang.
Beberapa bulan setelah kami menikah, Bapak dan Ibu Ratih memberikan modal untuk kami membuka usaha. Rasanya memang tak mungkin aku akan mampu menghidupi Ratih dengan gajiku yang tak seberapa. Dengan pengalamanku bekerja di Rumah Makan Bu Sofi, dan banyak belajar dari teman-temanku, akhirnya aku mempunyai kemampuan dalam hal lain. Meskipun aku hanya bagian cuci piring, aku mampu mengolah makanan dan juga membuat hidangan yang rasanya bisa di akui.
Kami membuka rumah makan sederhana untuk memulai usaha kami. Berbekal kemampuan memasak ku yang bisa di akui rasanya, akhirnya rumah makan kami dengan cepat menyebar kabarnya dan terkenal dengan rasanya yang enak dan harga yang ramah kantong. Puji Syukur selalu kami panjatkan kepada Sang Kuasa karena dalam waktu singkat kami mampu membeli rumah dari hasil berjualan makanan. Rumah yang kecil dan minimalis cocok untuk tinggal dengan keluarga kecil kami. Namun hanya ada satu yang kurang, sampai detik ini aku dan Ratih belum juga diberikan kepercayaan untuk menimang buah hati, buah cinta kami berdua.
"Mungkin belum rejeki kita, Dik. Aku yakin suatu saat kita juga akan menimang anak kita." ucapku setiap kali mendengar Ratih terisak saat merindukan kehadiran buah hati di tengah-tengah kehidupan rumah tangga kami.
Aku selalu menghibur Ratih dan berharap Ratih tidak terus-terusan menyalahkan hidupnya sendiri karena belum hamil juga sampai saat ini.
Lambat laun usaha kami juga semakin maju. Tentunya dengan doa orang tua kami, kami berhasil menyulap warung makan kecil yang sederhana menjadi sebuah rumah makan yang besar dan memiliki karyawan. Bapak dan Ibu Ratih, begitu juga Ibuku yang kini lebih memilih tinggal sendirian merasa bangga dan bahagia melihat keberhasilan kami.
"Ibu bangga padamu, Le. Akhirnya kamu bisa menemukan pendamping yang tepat untuk menemani hidupmu." ucap Ibu suatu sore saat aku mampir berkunjung setelah menutup rumah makan miliku.
"Terimakasih banyak, Bu. Berkat doa Ibu juga kami bisa sampai seperti ini." Aku memeluk erat pemilik surgaku itu. Bagaimanapun, Ibuku tetap menjadi wanita pertama yang sangat ku cintai karena pengorbanannya untuk kami semasa dulu. Kini Ibu sudah tidak perlu bekerja keras lagi. Meskipun Ibu tak pernah mau untuk kami ajak tinggal bersama kami dengan alasan lebih senang dan betah tinggal dirumah sendiri meskipun jelek, namun aku tetap menyempatkan untuk mengunjunginya sesekali.
Beruntung sekali aku memiliki Ratih. Dia juga selalu mengingatkanku untuk mengunjungi Ibu disaat aku lupa. Ratih dan Ibu juga sangat dekat. Bahkan Ibu tak pernah sekalipun mengungkit masalah anak pada kami. Karena Ibu tahu betul bagaimana sakitnya setiap ditanya tentang suatu hal yang di luar batas kemampuan kita. Sama halnya seperti mau, jodoh, rejeki, anak pun juga kuasa sang pencipta. Yang mana kita tidak bisa memaksa begitu saja untuk bisa mendapatkannya kalau bukan karena kehendakNya.
"Istrimu jangan capek-capek, Di. Kasihan." nasehat Ibu. Aku tahu bahwa sebenarnya Ibu sudah sangat ingin menimang cucu. Namun apa daya kami belum bisa mengabulkannya.
"Iya, Bu." aku berpamitan pada Ibu. Kali ini aku tidak bisa menemani Ibu lama, karena Bapak mertuaku tiba-tiba saja sakit dan dilarikan kerumah sakit.
"Oooeeee ... oooeee ..." langkah kakiku terhenti manakala terdengar suara tangisan bayi saat baru saja masuk ke ruang tamu rumah.
"Dik." panggilku lirih pada Ratih istriku.
Takutnya sedang ada tamu atau teman Ratih yang berkunjung untuk sekedar main dan membawa bayi.
"Dik." lagi, ku panggil pelan istriku. Namun tak ada juga jawaban yang ku dapat.
Mataku terbelalak saat melihat seonggok bayi merangkak dengan cepat keluar dari kamar dan melihat ke arahku. Tatapan matanya yang tajam seakan-akan menghunus tepat di kedua kelopak mataku.
Bayi itu dengan cepatnya merangkak dan menghampiriku. Berputar-putar di bawah kakiku dan sepertinya mengendus-endus tubuhku. Kulitnya yang putih tampak pucat. Tidak seperti kulit manusia pada umumnya. Ku coba untuk menyentuhnya, dingin. Saking dinginnya tubuh bayi itu membuatku terperanjat dan spontan kulepaskan kembali tanganku dari tubuh mungilnya. Mengingatkanku pada sesuatu yang pernah ku sentuh jauh sebelumnya.
"Mas." sebuah tepukan membuatku terperanjat dan segera menoleh ke belakang.
"Lihat apa?"
Aku yang di tanya hanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sosok bayi tersebut.
"A... anu. Itu."
Namun kedua netraku tak lagi melihat sosok bayi yang sedari tadi mengitari kedua kakiku.
"Ta... tadi Mas dengar ada anak kecil menangis." ucapku ragu-ragu. Ratih mengernyitkan dahi. Wajahnya tampak bingung, namun kemudian berubah menjadi sendu.
"Dik, kenapa kamu tiba-tiba murung?" tanyaku merasa bersalah.
Ia tak menjawab. Ia malah meraih tas di tangan dan membantuku melepas kemeja yang ku kenakan.
"Maafkan aku, Mas." bisiknya lirih.
"Maaf untuk apa, Dik?"
"Maaf, aku tak bisa memberikanmu keturunan. Sehingga membuatmu berhalusinasi dengan tangisan anak kecil." jawabnya lemah. Setelah ia menyimpan tas dan kemejaku, secepat kilat ia kembali membawakan secangkir kopi untukku dan menaruhnya di atas meja.
"Bu... bukan begitu maksudnya, Dik." ucapku benar-benar merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, Mas. Wajar saja kalau kamu rindu suara tangisan bayi. Apa mungkin kamu akan menikah lagi untuk mendapatkan keturunan?" pertanyaan Ratih sungguh di luar dugaan. Lidahku tak mampu ku gerakkan. Bahkan sepatah katapun tak bisa ku ucapkan untuk membantan ucapan Ratih istriku. Aku hanya mampu terdiam dan mencoba untuk memeluknya.
"Mas tidak bermaksud seperti itu, Dik. Hanya saja tadi, Mas benar-benar mendengar suara tangisan bayi." ucapku sungguh-sungguh mencoba membuat Ratih percaya dengan apa yang ku dengar tadi.
Kini Ratih tampak kebingungan. Bahkan ia terlihat sungguh-sungguh bahwa ia tidak mendengar apa yang ku dengar juga.
"Tidak ada anak kecil disini, Mas." ucap Ratih sambil menggandeng erat tanganku.
"Kamu kenapa, Dik?"
"Mas membuat aku takut." ucapnya membuatku merasakan hal yang sama. Sudah jelas tadi ku lihat ada bayi merangkak keluar dari kamar dan menghampiriku. Lantas tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak saat Ratih datang.
Aku mencoba menepis perasaan takut itu. Ku ajak Ratih untuk melupakan apa yang ku dengar tadi. Bahkan aku tak menceritakan sedikitpun apa yang ku lihat.
"Mungkin tetangga, Dik." hiburku mencoba mencairkan suasana yang entah bagaimana menjelaskannya.
Gubbrraaakkk...
Ku lihat lagi sekelebat bayangan masuk ke dalam kamar. Terlihat sebuah kaki kecil merangkak dengan cepat masuk ke dalam kamar kami.
"Astaghfirullah."
Ratih tak ada di rumah. Sepertinya ia pergi keluar saat aku tak sengaja terlelap karena lelah seharian berada di rumah makan. Ku coba untuk mencari sosok itu kali ini. Semua sudut ruangan kamar ku cari sampai akhirnya sebuah senyuman yang menurutku mampu membuat bulu kudukku berdiri terpampang jelas dari pantulan cermin lemari. Secepat kilat ku toleh ke belakang. Dan benar saja, seorang anak kecil berkulit putih pucat sedang duduk di sudut ruangan dan tersenyum menyeringai ke arahku. Aku mundur perlahan, namun sosok kecil itu malah merangkak mendekatiku. Saat aku berhenti, sosok kecil itu pun juga berhenti mendekatiku.
Wajahnya pucat, matanya memiliki lingkar hitam di bawahnya. Bibirnya yang kebiruan membuatku menerka bahwa dia sedang tak baik-baik saja.
"Hey, nak. Sedang apa kamu disitu?" tanyaku perlahan sambil mendekat ke arahnya. Sosok itu hanya mematung. Tak bergerak sedikitpun. Bahkan matanya tak lepas menatapku. Degub jantung tak beraturan saat posisiku semakin dekat dengannya. Bahkan bayi itu pun tak bergeming dengan kedatanganku. Sebuah senyum menyeringai kembali tersungging dari sudut bibirnya, membuatku urung untuk menyentuhnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!