Aku bertemu Ratih dua tahun setelah bekerja di rumah makan milik Bu Sofi. Ratih dulunya seorang pelanggan yang sering datang untuk sekedar makan siang bersama teman-teman kerjanya saat ia masih bekerja di sebuah perusahaan di sekitar kawasan kota. Karena sering bertemu, bahkan berpapasan saat Ratih ingin mencuci tangan di wastafel, lambat laun muncul perasaan tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Meskipun awalnya aku merasa malu dan sungkan untuk mengenalnya, namun pada akhirnya Ratih mau menerimaku sebagai seorang kekasih dengan bantuan teman kerjaku.
"Kapan kamu akan melamarku, Mas?" tanya Ratih di ujung senja waktu itu. Ingin sekali ku jawab besok pun akan ku nikahi, namun apa dayaku yang hanya seorang kuli cuci piring di sebuah rumah makan yang gajinya tak pernah bisa cukup sampai akhir bulan kalau tidak banyak dibantu oleh Bu Sofi yang sering memberikan makanan sisa restoran untuk ku bawa pulang.
"Sabar ya, Dik. Mas belum punya uang." ucapku lirih. Malu rasanya diri ini yang berani memacari namun belum berani menafkahi.
"Maafkan, Mas, Dik. Mas belum mampu memenuhi permintaanmu. Tetapi kalau kamu sudah sangat ingin mengakhiri masa lajangmu, Mas ijinkan kamu menikah dengan orang lain." ucapku sendu. Sungguh sesak dan sakit hati ini saat mengatakan hal bodoh macam itu kepada wanita yang ku cintai. Bukannya aku hanya bisa pasrah dan menyerah, namun aku hanya sadar diri saja bahwa aku memang tak mampu memenuhi permintaan gadis yang ku cintai dalam waktu dekat ini. Sedangkan orang tua Ratih sudah sangat ingin melihat putrinya bersanding di pelaminan.
"Mas ngomong apa? Bapak sama Ibu hanya meminta Mas datang kerumah untuk melamarku. Mereka setuju dan mau menerima Mas apa adanya." ucap Ratih membuatku terkejut.
"Mas, Ratih mohon. Tetaplah kita bersama. Bapak dan Ibu sangat menyayangimu. Mas Hadi tahu kan?" aku mengangguk membenarkan ucapan Ratih. Memang benar, selama ini orang tua Ratih memang sangat menyayangiku. Terlebih lagi setelah tahu semua kisah hidupku selama ini. Bukan niatku menjual kisah sedih hidupku demi mendapatkan simpati mereka, hanya saja aku ingin berterus terang kepada mereka siapa aku sebenarnya. Berharap mereka tidak akan kecewa setelah mengetahui seluk beluk kehidupanku yang sarat akan kemiskinan.
"Sah? Saaahhhh ... " kompak terdengar riuh suara para saksi yang hadir dalam pernikahanku dan Ratih. Meskipun hanya digelar seadanya dan hanya dihadiri keluarga dekat saja, namun acaranya cukup meriah dan membuatku terkesan. Keluarga Ratih membiayai hampir seluruhnya biaya pernikahanku. Sedangkan aku hanya mampu menyumbang sedikit tabunganku yang sedari dulu sengaja ku sisihkan untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Dan sedikit tabungan milik Ibu yang sengaja beliau simpan untukku setelah tak lagi membeli obat untuk Ratna, adikku.
"Aaahhh ... rasanya aku sangat merindukan adik kecilku itu." aku tersedu mengingat tawa kecil adik kecilku saat aku pulang bermain dan membawakannya buah jeruk yang ku petik dari kebun buah Pak Kurdi. Bukan dengan mencuri aku mendapatkannya. Namun aku senang membantu Pak Kurdi membersihkan kebunnya dari rumput-rumput liar sehingga selepas itu Pak Kurdi memberikan buah jeruk sebagai upah untukku.
"Kamu kenapa menangis, Mas?" usap Ratih di pundakku. Kami berdua memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah dengan menyewa perbulan. Tentu saja semua itu Ratih yang membayarnya. Kadang aku merasa malu dan tak punya harga diri saat semua istriku yang mengeluarkan uang.
Beberapa bulan setelah kami menikah, Bapak dan Ibu Ratih memberikan modal untuk kami membuka usaha. Rasanya memang tak mungkin aku akan mampu menghidupi Ratih dengan gajiku yang tak seberapa. Dengan pengalamanku bekerja di Rumah Makan Bu Sofi, dan banyak belajar dari teman-temanku, akhirnya aku mempunyai kemampuan dalam hal lain. Meskipun aku hanya bagian cuci piring, aku mampu mengolah makanan dan juga membuat hidangan yang rasanya bisa di akui.
Kami membuka rumah makan sederhana untuk memulai usaha kami. Berbekal kemampuan memasak ku yang bisa di akui rasanya, akhirnya rumah makan kami dengan cepat menyebar kabarnya dan terkenal dengan rasanya yang enak dan harga yang ramah kantong. Puji Syukur selalu kami panjatkan kepada Sang Kuasa karena dalam waktu singkat kami mampu membeli rumah dari hasil berjualan makanan. Rumah yang kecil dan minimalis cocok untuk tinggal dengan keluarga kecil kami. Namun hanya ada satu yang kurang, sampai detik ini aku dan Ratih belum juga diberikan kepercayaan untuk menimang buah hati, buah cinta kami berdua.
"Mungkin belum rejeki kita, Dik. Aku yakin suatu saat kita juga akan menimang anak kita." ucapku setiap kali mendengar Ratih terisak saat merindukan kehadiran buah hati di tengah-tengah kehidupan rumah tangga kami.
Aku selalu menghibur Ratih dan berharap Ratih tidak terus-terusan menyalahkan hidupnya sendiri karena belum hamil juga sampai saat ini.
Lambat laun usaha kami juga semakin maju. Tentunya dengan doa orang tua kami, kami berhasil menyulap warung makan kecil yang sederhana menjadi sebuah rumah makan yang besar dan memiliki karyawan. Bapak dan Ibu Ratih, begitu juga Ibuku yang kini lebih memilih tinggal sendirian merasa bangga dan bahagia melihat keberhasilan kami.
"Ibu bangga padamu, Le. Akhirnya kamu bisa menemukan pendamping yang tepat untuk menemani hidupmu." ucap Ibu suatu sore saat aku mampir berkunjung setelah menutup rumah makan miliku.
"Terimakasih banyak, Bu. Berkat doa Ibu juga kami bisa sampai seperti ini." Aku memeluk erat pemilik surgaku itu. Bagaimanapun, Ibuku tetap menjadi wanita pertama yang sangat ku cintai karena pengorbanannya untuk kami semasa dulu. Kini Ibu sudah tidak perlu bekerja keras lagi. Meskipun Ibu tak pernah mau untuk kami ajak tinggal bersama kami dengan alasan lebih senang dan betah tinggal dirumah sendiri meskipun jelek, namun aku tetap menyempatkan untuk mengunjunginya sesekali.
Beruntung sekali aku memiliki Ratih. Dia juga selalu mengingatkanku untuk mengunjungi Ibu disaat aku lupa. Ratih dan Ibu juga sangat dekat. Bahkan Ibu tak pernah sekalipun mengungkit masalah anak pada kami. Karena Ibu tahu betul bagaimana sakitnya setiap ditanya tentang suatu hal yang di luar batas kemampuan kita. Sama halnya seperti mau, jodoh, rejeki, anak pun juga kuasa sang pencipta. Yang mana kita tidak bisa memaksa begitu saja untuk bisa mendapatkannya kalau bukan karena kehendakNya.
"Istrimu jangan capek-capek, Di. Kasihan." nasehat Ibu. Aku tahu bahwa sebenarnya Ibu sudah sangat ingin menimang cucu. Namun apa daya kami belum bisa mengabulkannya.
"Iya, Bu." aku berpamitan pada Ibu. Kali ini aku tidak bisa menemani Ibu lama, karena Bapak mertuaku tiba-tiba saja sakit dan dilarikan kerumah sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
erna wati
lanjutkan thoor💪 ceritanya seru 🥰🥰
2022-07-28
1