Chapter 3: Devon

Hari yang dinanti akhirnya datang, tapi Blake tidak memberi tahu siapa pun soal peti emas yang hendak mereka rampok. Karena Blake diam, Devon dan Lucy juga ikut diam. Keduanya menebak bahwa Blake hanya sedang mencari waktu atau menyusun rencana.

Namun ketika sore harinya Blake kembali dan masih tidak bicara apa-apa soal kereta emas mereka, Devon akhirnya tak tahan lagi.

"Kau menjual informasinya ke orang lain?" ia langsung menuduh. Hanya itu satu-satunya alasan yang terpikir olehnya kenapa mereka tidak bergerak.

Blake mengerutkan alis. "Informasi apa?"

"Tentang kereta emas kita," desis Devon dari sela gigi agar tak terdengar orang lain. Meski tidak mungkin, tapi bisa saja ada yang menguping. "Jangan bilang kau lupa."

Blake menatap Devon lama-lama, kemudian mengangguk pelan. "Baiklah, ayo berangkat."

"Sekarang?" Devon mengerutkan kening, tak bisa menebak jalan pikiran Blake. "Kita baru mau memberi tahu yang lain sekarang?"

Blake tertawa. Suaranya samar seperti embusan angin pagi, hampir tak terdengar. Meski begitu, mata hitam Blake sama sekali datar. "Kalau kita jalan cepat, pasti masih sempat bertemu keretanya. Ayo."

Devon mengikuti Blake dalam diam, bertanya-tanya sendiri kenapa ia mau-mau saja tunduk pada bocah yang dua tahun lebih muda darinya. Namun itu pertanyaan kosong. Devon tahu sendiri apa jawabannya. Blake pandai melihat peluang dengan tepat, terlalu pandai hingga rasanya nyaris curang.

Stonard adalah daerah kasar tempat berkumpulnya para begundal dan orang miskin di Redstone. Orang-orang yang tinggal di dalamnya dijuluki anak jadah Redstone karena tak pernah mendapat bantuan apa pun dari pemerintah. Bukan berarti mereka butuh bantuan.

Meski masih belasan tahun, Blake sendiri sama sekali tidak kelihatan seperti bocah. Tubuhnya jangkung, wajahnya suram, dan matanya seperti bangkai mati. Devon tidak berasal dari Redstone, tapi ia tahu itu mata khas Stonard.

Mereka berdua berjalan jauh dalam diam selama setengah jam perjalanan sampai Blake berkata, "Kau bilang orang yang memberimu informasi adalah orang dalam?"

Devon mengangguk. "Salah satu footman di sana. Namanya Sphere."

"Dan dia lelaki muda bertubuh tinggi dan menarik, ramah, tapi lugu dan terlalu banyak omong sampai bodoh sekali membocorkan soal kereta emas," kata Blake sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantel. Mereka keluar dari Rute Induk dan mengambil jalan pintas melewati ladang gandum yang berada di sepanjang sisi Jalan Emas.

"Itu karena dia percaya padaku," sahut Devon kalem. Ia sudah terbiasa pada skeptisme Blake. "Kau masih curiga? Aku berteman dengannya sejak lama, sudah sejak sebelum dia pindah ke sini. Kami bertemu di pacuan kuda dua tahun lalu."

Jalan Emas tidak terbuat dari emas, tapi kini lumayan rata dan tak lagi terlalu berbatu karena sering dirapikan. Mereka keluar dari ladang gandum yang sudah menguning dan menyeberangi Jalan Emas. Di sisi satunya adalah pegunungan batu yang terjal yang dilindungi pepohonan lebat. Blake berjalan yakin ke balik sesemakan dan bersiul pelan.

Devon mendengar suitan lain yang mirip cericip burung. "Lucy?" ia mengenali suara itu.

Gadis yang dipanggilnya segera menjatuhkan diri dan mendarat dengan indah. Tidak ada satu pun daun yang ikut jatuh berkat keluwesannya.

"Belum datang?" tanya Blake.

"Masih agak lama. Kalian datang tepat waktu."

"Kita menyergap mereka cuma bertiga?" Devon tak percaya. Tanpa sadar ia meraba pinggangnya, menyentuh pisau-pisau yang disembunyikan di sana, memastikan keberadaan senjata itu.

Blake tidak menjawab. "Aku sudah mengecek ke manor marquis," katanya. Mata hitamnya tak lepas mengamati ujung jalan. "Tidak ada footman bernama Sphere."

Devon mengerti ke arah mana pembicaraan ini. "Mungkin itu nama julukannya, bukan nama asli." Perasaannya mulai tidak enak. Blake selalu benar. Jika Blake berkata tidak, harusnya ia mengerti bahwa itu memang berarti tidak. Namun ia merasa harus menjaga harga dirinya. Ia yang mendapat informasi itu, ia juga sudah mengecek kebenarannya dengan hati-hati, kereta itu memang akan datang. Tapi apa isinya memang emas? Mendadak Devon sadar ia tidak pernah mendengar Sphere memperkenalkan siapa namanya secara langsung. Ia bertemu lelaki itu dua tahun lalu di pacuan kuda. Orang-orang di sana memanggilnya Sphere dan bicara akrab dengannya.

Jadi, namamu Sphere? Devon ingat ia pernah bertanya dulu untuk memastikan.

Waktu itu Sphere tertawa. Ya, orang-orang memanggilku begitu.

"Aku lihat dia keluar masuk istana marquis dan bicara dengan pelayan di sana dengan akrab." Devon tahu ia tidak salah soal ini.

Blake menghela napas. "Kau tahu bahwa pacuan kuda Run Ranch adalah milik Argent, kan? Tepatnya, Jose Argent."

"Aku tahu." Devon tidak sanggup menatap Blake, jadi ia menoleh pada Lucy untuk mencari dukungan. Namun gadis itu sedang berbaring telungkup di bawah mereka, menempelkan telinga ke permukaan tanah. "Aku bertemu Sphere di sana karena dia sedang bekerja." Devon tidak tahu lagi untuk apa ia bersikap keras kepala.

"Seharian aku berkeliaran di Run Ranch," kata Blake. Mata gelapnya berkilat tajam seperti silet. "Kau tahu apa hal menarik yang kudapat? Pemilik pacuan, Jose Argent, punya julukan menarik di tempat asalnya."

Devon menelan ludah. Kepalanya memanas karena rasa malu. "Sphere?"

"Spare," Blake mengatakannya dengan sangat jelas. "Cadangan. Itu olok-olok untuknya karena dia disiapkan untuk jadi pengganti pamannya."

"Masa ..." Devon tergagu. Selama ini aku salah mengeja?

"Mereka datang," sela Lucy dari bawah.

Blake ikut menunduk, berbaring di sisi Lucy. Devon melakukan hal serupa dalam kesigapan terlatih. Kereta yang dimaksud lewat dengan kecepatan sedang, tidak buru-buru. Tidak sampai lima puluh prajurit yang berjaga di sekeliling kereta. Devon menghitung langkah kaki, menaksir ada dua puluhan orang yang lewat.

Perasaan apa ini? Devon menelan ludah. Seluruh tubuhnya merinding hebat dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah nyawanya diincar. Ia bahkan sampai tak berani bernapas terlalu keras.

Lama setelah kereta tersebut lewat jauh dari mereka, Lucy berbisik rendah, "Dalam kereta itu ada orang, bukan barang. Semuanya manusia terlatih."

Lucy punya mata dan telinga yang sangat peka. Baik Devon maupun Blake tidak ada yang meragukan keterangan tersebut, terlebih setelah merasakan hawa dingin barusan.

"Peti emas?" Blake tertawa dari hidung. "Itu sih peti troya."

Devon mengumpat dalam hati. Ia hampir membuat mereka semua terbunuh.

"Kau tahu kesalahanmu? Kau lengah karena terlalu percaya," Blake berkata dingin, "Dia lebih pintar, dia tidak pernah percaya padamu sejak awal. Dia bahkan tak pernah memberi tahu nama aslinya. Bagaimana denganmu?"

Blake tidak menunggu jawaban. Ia bangkit dan berjalan pergi sambil menepuk-bepuk debu dari pakaiannya.

Lucy juga sudah bangkit. Gadis itu mengulurkan sebelah tangan pada Devon untuk membantunya bangun.

"Pergilah," gumam Devon pelan. "Nanti aku menyusul."

Lucy mengangguk pelan dan berjalan pergi tanpa meninggalkan suara, membuat Devon bersyukur karena diberi waktu untuk sendiri.

Jika semua ini memang jebakan dan Sphere adalah Jose Argent, untuk apa lelaki itu menipunya? Bahkan meskipun Jose tahu bahwa ia adalah anggota Abysmal, untuk apa repot memberi kabar palsu segala? Lelaki itu tuan tanah di sini. Kalau mau membereskannya, tinggal lakukan saja. Apa semua ini hanya kebetulan?

Devon memaki dirinya sendiri yang tidak hati-hati. Sepeti dukat emas membuatnya buta dan lengah, terlebih karena info itu dari orang yang ia kenal. Orang yang kupikir aku kenal, koreksinya pahit. Blake benar, rasa percaya hanya memberi masalah. Ia bangkit berdiri, mencoba menata pikirannya.

Devon sedang membersihkan debu di pakaiannya ketika ia mendengar namanya dipanggil. Awalnya ia pikir itu Lucy, tapi suaranya kedengaran berbeda, kedengaran aneh. Lagi pula Lucy ada agak jauh di depannya, sedang bicara dengan Blake.

Devon berjalan menyusul mereka dengan waspada. Perasaannya jadi tidak enak barusan.

***

¬Troya: pada perang Troya, pasukan Akhaia berhasil menembus Troya dan membantai seisi kota setelah sebelumnya bersembunyi dalam patung kuda Troya raksasa.

Terpopuler

Comments

Ninik rumagit

Ninik rumagit

kira2 misteri apalagi ya...penasaran aq

2020-06-11

0

Sri Handayani

Sri Handayani

baca ulang lagi jak,,,lma tgu in up nya

2020-06-06

1

zhana ummi sholehah

zhana ummi sholehah

aduuh misteri apa lagi nih yg bakal di pecahin jose di Ridstone

2020-05-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!