Bisakah hantu membunuh?
Ada cerita-cerita dan bisikan, ada rumor, tapi hanya sebatas itu. Blake Krücher tidak pernah melihat hantu membunuh. Ia bahkan tidak pernah melihat hantu. Itu kalau bayangan-bayangan dingin yang terlihat di sudut matanya dan menghilang setiap ia menengok tidak dihitung sebagai hantu.
Blake merasakannya lagi, perasaan bahwa ia tidak sendirian. Seseorang di belakangnya, tapi itu bukan manusia. Setiap manusia selalu punya hawa yang khas. Tumbuh besar di Redstone, bergulat dengan tiap manusianya mulai dari yang paling kotor sampai paling bersih, membuat Blake bisa mencium hawa keberadaan manusia dan merasakannya bahkan dari jarak beberapa meter jauhnya.
Yang ini bukan manusia.
Blake menoleh ke belakang dengan tiba-tiba, hanya menemukan jalan becek yang lengang di malam hari, satu gelandangan yang tidur di bawah gerobak, serta perempuan penghibur yang lewat sambil berbisik-bisik dengan rokok lintingan di sela jari. Tidak ada yang aneh.
Konyol, pikir Blake sambil menggeleng, berusaha mengenyahkan perasaan tak nyaman yang melandanya dengan mencemooh diri sendiri. Ia berbelok ke tikungan di sebelah kanan dan mempercepat jalan menuju kedai yang dikenal semua orang—yang tuaknya murahan, tapi tempatnya selalu ramai karena harganya yang murah. Semua orang tahu Todd mengoplos tuak dengan cairan entah apa dan menaikkan dasar gelas untuk membuat minuman kelihatan penuh, tapi tak ada yang terlalu memedulikannya. Di Stonard, kedai minum miliknya yang paling murah dan Todd membayar jasa perlindungan pada Blake tiap minggu—bahkan pada saat kedai sepi dan tak ada laba. Itu sudah cukup.
Kedai yang dimaksud terletak di jantung Stonard, membelakangi kanal dangkal yang berlumpur. Bangunan tersebut terdiri dari dua lantai dengan tambahan satu ruang bawah tanah dan satu loteng yang ditutup dengan atap kubah model Roma. Dua patung Qilin berjaga di kiri dan kanan pintu. Siapa pun yang dulu mendesain tempat ini mungkin merasa dirinya eksentrik, Blake berpendapat orang itu tuna selera. Namun di sinilah tempatnya pulang sekarang. Ini rumahnya yang ia beli dengan sekantung dukat emas pertama yang didapatnya ketika berumur empat belas tahun.
Begitu Blake memasuki pintu ganda, suasana berubah dalam kedai. Orang-orang yang tadinya mabuk menjadi sadar dan yang masih sadar melirik ke arahnya dengan waswas. Sambutan itu sudah biasa bagi Blake. Malahan, ia puas karenanya. Semua orang memang sepatutnya bergetar takut setiap ia lewat. Begitulah seharusnya seorang pemimpin geng Abysmal.
Todd menyapanya dari balik meja bar, menawarkan sesloki tuak. Blake hanya berkata, "Nanti saja," lalu berjalan lurus ke arah tangga logam berpilin yang menuju lantai dua.
Jika lantai satu berbau tuak murah yang menyengat hidung, muntahan, serbuk abu, kayu basah, serta selokan, lantai dua benar-benar seperti surga. Wangi lavender, tinta basah, dan bubuk kopi hasil jarahan menyambut Blake.
Di lantai dua yang menunggunya hanya Lucy. Gadis itu berumur enam belas tahun, dua tahun lebih muda dari Blake. Rambut cokelatnya yang gelap diikat rapat dan rapi tanpa meninggalkan sehelai pun di sisi wajah. Lucy mengenakan pakaian katun dan celana panjang hitam yang ujungnya dimasukkan ke dalam sepatu bot hitam lusuhnya. Gadis itu duduk di sofa panjang di pinggir jendela, sedang menyesap kopi panas di gelas beling.
"Mana Devon?" Blake melepas topi pet yang ia kenakan dan menyisir rambut hitam lembapnya dengan jari.
"Belum kembali sejak tadi." Lucy mengangkat kedua bahunya yang mungil. Matanya mengamati Blake yang sedang menuang segelas air putih. Setelah diam beberapa detik, gadis itu tiba-tiba menceletuk, "Aku masih berpikir kau seharusnya menjual relik itu kemarin, Blake."
Blake mereguk air dalam gelas sampai habis. Ia menoleh, balas menatap Lucy tanpa emosi. "Kau ingat aku pernah minta pendapatmu, Luce? Karena aku tidak ingat."
"Pemilik sebelumnya mati terbunuh."
"Oleh manusia," sahut Blake tangkas. "Dan aku sendiri bukan ingin memiliki relik itu. Aku cuma menyimpannya."
"Sampai kapan?"
Blake suka berdebat dengan Lucy, tapi tidak suka menceritakan apa saja rencananya, jadi ia tidak menjawab. Matanya justru terarah pada jendela di belakang Lucy, menatap bayangan hitam yang melompat dari atap ke atap mendekati rumah kubahnya.
Lucy mengikuti arah pandang Blake dan menyapa bayangan hitam yang mendarat pada birai jendela. Itu Devon. Dia yang paling tua dari mereka bertiga. Umurnya dua puluh tahun. Demi kepraktisan bergerak di malam hari, Devon selalu mengenakan pakaian serba hitam. Kali ini lelaki itu mengenakan celana hitam ketat dengan kaos katun yang dilapis jaket hitam bertudung. Rambut cokelat gelapnya dipotong cepak supaya tidak menghalangi mata.
"Sebenarnya jalan masuk itu namanya pintu, bukan jendela," gurau Lucy ketika Devon melompat masuk ke dalam kamar.
Devon mendarat dengan mulus di lantai kayu tanpa suara. Ia tertawa. "Bagi pencuri, jendela adalah pintu masuk." Sekarang ia berpaling pada Blake dengan cengiran miris. "Marquis yang baru menaikkan pajak untuk tuak dan lager."
"Aku tahu," tukas Blake datar. "Itu bakal jadi masalah yang dipikirkan Todd, bukan kita. Cuma itu yang kau dapat setelah seharian pergi?"
"Sabar dong. Kau habis menelan kereta atau bagaimana? Buru-buru sekali." Devon mengempaskan tubuh rampingnya ke sofa di sisi Lucy. "Bakal ada sepeti dukat emas untuknya datang dari Aston, diantar dengan kereta kuda yang disamarkan jadi kereta barang."
Blake mengerutkan kening. "Dukat emas? Untuk apa? Dari siapa?"
Devon menggeleng. "Yang itu, aku tidak tahu. Tapi aku mendapat infonya dari orang dalam. Orang terpercaya."
Blake tidak meragukannya. Ia tahu bisa mengandalkan Devon. Selama ini informasi yang dikumpulkannya selalu benar. Namun Blake tetap saja merasa ada yang ganjil. Biasanya marquis baru tersebut tidak memberi celah. Apakah ia memandang terlalu tinggi sang marquis?
"Kapan keretanya datang?" tanya Lucy.
Devon menggosok telapak tangan dengan senyum gelisah. "Besok," jawabnya. "Besok sore."
"Itu mendadak sekali," komentar Blake, mengerti kenapa Devon terlihat merasa bersalah. Tambang emas seperti ini seharusnya tidak terlewatkan dari radar Devon.
"Marquis yang ini sangat berhati-hati," Devon beralasan. "Dia selalu bergerak tiba-tiba seolah tidak direncanakan padahal ternyata sudah menyiapkan segala hal. Kau ingat semua orang mengira dia sedang bermalas-malasan lalu tahu-tahu perbatasan dipagari?"
Blake duduk di salah satu kursi kayu di samping nakas. Awalnya semua orang berpikir marquis yang datang tak akan ada bedanya dengan orang sebelumnya, yang akan mengurung diri di kastil sambil minum dan main perempuan lalu hanya setor muka ke publik sekali-sekali. Namun Jose Argent bekerja dengan serius. Mengabaikan protes banyak orang, Jose membetulkan banyak sarana publik dan membangun jalan mulai dari pusat Redstone. Perbatasan dengan negara tetangga diperketat, hal yang menyulitkan banyak penyelundup dan menjadikan Jose dibenci kalangan gelap Redstone. Meski membangun banyak hal, yang dikerjakannya tentu saja tidak gratis. Jose menaikkan pajak dan mengumpulkan pundi-pundi dengan rajin, membuatnya makin dibenci makin banyak orang.
Namun sekolah, waduk, jembatan, jalan, tidak mungkin semua itu bisa dibangun dalam setahun hanya bermodal anggaran dari Aston serta uang pajak. Blake memang sudah menebak ada kucuran dana tambahan, mungkin Jose meminjam dari keluarganya di Argent. Selama setahun ia berusaha melacak dari mana uang Jose. Jika tebakannya benar, dari kereta besok ia bisa mendapatkan lebih banyak jejak—juga emas.
"Lewat jalan mana? Berapa orang yang akan mengawal keretanya?" Mata Blake terangkat ke arah Devon.
"Kurang dari lima puluh." Devon tersenyum. "Mereka melakukannya setiap bulan, mengambil rute yang berbeda-beda, tapi kali ini mereka akan lewat jalan yang aman. Jalan Emas."
Jalan Emas adalah jalan utama yang menghubungkan Redstone dengan Aston. Dinamakan begitu karena dulu keluarga kerajaan pernah menjatuhkan emas atau sesuatu yang lain, Blake tidak ingat dongengnya. Yang sedang dipikirkannya sekarang adalah rute Jalan Emas. Akan ada persimpangan jalan yang menghubungkan dengan pegunungan tandus Stone Mountains. Mereka bisa menyergap dari situ, tapi lawan mereka pasti orang-orang terlatih yang mahir. Ia perlu gambaran yang lebih konkrit lagi.
Bisakah hantu membunuh?
Entah kenapa, pertanyaan Lucy kemarin terngiang kembali ketika mata hitam Blake membentur iris cokelat gelap gadis itu. Blake memejamkan mata agak lama kemudian membukanya kembali dengan sorot keras. Sekarang bukan waktunya memikirkan soal hantu. Sekarang waktunya memikirkan sepeti penuh dukat emas.
"Siapa informanmu kali ini?" Blake bertanya.
Devon mengerutkan kening. Itu bukan pertanyaan yang biasa diajukan padanya. "Kau tidak percaya padaku?"
Blake bisa saja menjelaskan bahwa ia hanya berhati-hati, bahwa perasaannya tidak enak sejak awal dan ada rasa ganjil yang mengganggunya sejak awal ia mendengar berita soal dukat emas ini, ia bisa saja berkata bahwa yang tidak dipercayainya bukan Devon tetapi Jose Argent. Namun Blake hanya mendengus.
"Semua orang berbohong," tukasnya dingin. "Kalau mau percaya, aku akan pergi ke gereja, bukan berkeliaran di Stonard dan membuat Abysmal."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Reksa Nanta
Kubah model Roma, disandingkan dengan patung Qilin. Anti mainstream sekali.
2023-05-11
0
Reksa Nanta
Wow. 14 tahun sudah bisa membeli rumah. 👏👏
2023-05-11
0
Reksa Nanta
Tuaknya mungkin tidak murah. Hanya dimanipulasi agar terkesan "murah".
2023-05-11
0