Di saat warga sudah kembali ke rumahnya masing-masing dan rekan-rekannya sudah bubar pulang, Alma memilih bermain sendiri di atas perahu-perahu yang berderet dalam tambatan, tepatnya Alma sedang mencari sesuatu.
Alma curiga bahwa kedua pemuda sakti yang mereka pergoki tidak bermaksud mencuri perahu di siang bolong, tetapi sedang mencari sesuatu di antara perahu-perahu tersebut.
Alma dengan teliti memeriksa setiap perahu, bahkan papan-papan lantai perahu ia buka satu demi satu untuk melihat dasar perahu, guna mencari sesuatu yang ia juga tidak tahu itu apa. Ia sampai memasukkan kepalanya ke dalam lubang perahu dan bokongnya ia tungging-tunggingkan.
“Apaan ya yang dicari dua orang itu?” tanya Alma mulai frustasi karena tidak menemukan sesuatu yang istimewa. “Kalau cari kepiting, kok di perahu?”
Alma lalu berdiri sambil berkacak pinggang seperti tuan perahu. Wajah putih dan cantiknya mengerenyit berkeringat. Ia menatap sejenak ke pantai.
“Masih ada lima perahu belum diperiksa,” ucapnya kepada dirinya sendiri.
Ia lalu pergi pindah ke perahu yang lain. Ia kembali mencari, lalu membungkuk untuk bisa melihat lubang-lubang tersembunyi di dalam perahu.
“Eh, apaan itu biru-biru?” ucap Alma penasaran.
Alma melihat sebuah benda berbentuk biru terang dan bagus, berada terjepit di tulang perahu. Keberadaan benda yang berbentuk kotak tersebut nyaris tidak terlihat karena terlindungi oleh tulang perahu. Kotak berbahan seberat besi itu tidak lebih besar dari genggaman tangan Alma.
“Wah, jangan-jangan benda ini yang dicari, tapi ini apaan?” pikir Alma setelah mengambil kotak tersebut.
Ia lalu duduk lesehan di lantai perahu sambil mengamati kotak biru di tangannya. Saat dibolak-balik, ternyata di salah satu sisinya ada satu titik biru pula, sehingga nyaris tidak terlihat. Titik itu seperti kunci rahasia bagi si kotak berat, tetapi perlu sebuah lidi untuk menusuknya.
Setelah mencari-cari di sekitarnya, akhirnya Alma menemukan serat kayu yang bisa dipakai untuk menusuk titik kecil tersebut.
Tek!
Saat titik itu ditusuk, terdengar suara benda yang seolah lepas dari tempelan. Ternyata kotak biru kecil itu terbelah oleh sebuah garis yang adalah ruang pembelah.
Alma lalu mencoba memisahkan kotak itu menjadi dua. Ternyata terpisah menjadi dua. Kini masing-masing tangan Alma memegang bagian dari kotak itu.
Alma melihat sisi belahan pada kotak. Ternyata pada belahan itu ada ukiran logam yang bagus.
“Ada gambar cangkang kura-kuranya,” ucap Alma sambil benar-benar memerhatikan sisi dalam benda itu yang berwarna perak.
Alma lalu kembali memasang kedua sisi dalam kotak logam itu. Ia tempel lalu tekan.
Cklik!
Benda itu kembali merapat dan mengunci.
“Barang bagus. Pasti benda ini sangat penting, sampai-sampai dicari,” pikir Alma dalam hati.
Alma lalu menyimpan kotak biru itu di balik sabuk pakaiannya. Meski menimbulkan tonjolan, tetapi tidak begitu menarik perhatian.
“Ada kapal bajak laut!” teriak Slamet Lara dari pantai. Ia berteriak ke arah permukiman rumah warga yang agak jauh dari pantai.
Alma melihat ayahnya berlari naik ke tanah tinggi untuk memberi tahu warga bahwa ada kapal bajak laut yang datang. Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke arah lautan lepas.
Memang benar. Di tengah laut terlihat sebuah perahu besar datang menuju ke arah Pantai Parasemiris, tampaknya benar-benar berlayar menuju arah Desa Iwaklelet. Di atas tiang besar perahu itu bekibar bendera berwarna merah dengan gambar kepiting.
Alma segera melompat dari perahu turun ke air yang dalamnya hingga sepaha. Alma berjalan naik ke pasir, setelah itu ia berlari mengejar ayahnya.
“Ada bajak laut datang! Ada bajak laut datang!” teriak Slamet Lara.
Teriakan Slamet Lara itu mengejutkan warga yang umumnya sedang beristirahat. Mereka tidak bermain gim online, tetapi sedang berbincang serius. Terkadang mereka bersikap layaknya wakil rakyat yang lebih serius dari wakil rakyat di negeri masa depan yang suka tidur dan bertikai.
Mereka segera melihat ke arah laut dan kemudian membenarkan woro-woro Slamet Lara.
“Cepat lapor Kepala Desa dan Pendekar Desa!” seru seorang warga.
Namun, tidak ada yang pergi untuk melapor ke rumah Kepala Desa.
“Aaah, kalian ini! Melapor ke Kepala Desa saja harus pakai dicontohkan!” teriak warga tersebut kesal. “Perhatikan cara aku melapor ke Kepala Desa!”
Warga tersebut lalu berlari pergi menuju rumah Kepala Desa Iwaklelet yang terletak agak jauh dari pantai.
Tong tong tong otong…!
Seorang warga kemudian memukuli kentongan memberi tahu semua warga Desa Iwaklelet bahwa “ada sesuatu loh”.
Maka tidak butuh waktu lelet, warga dari semua genre segera berkumpul membawa tanda tanya di atas kepalanya. Tidak perlu ada penjawaban yang panjang lebar karena lautan segera menjawabnya dengan sebuah visual.
“Bajak laut!” teriak sejumlah warga telat.
“Cepat selamatkan perahu! Cepat selamatkan perahu!” teriak seorang warga mengingatkan.
“Cepat selamatkan perahu!” teriak warga yang lain mendadak panik lalu cepat berlari terbirit-birit menuju tempat para perahu ditambatkan.
Tindakan itu cepat diikuti oleh warga-warga yang merasa memiliki perahu.
“Siapkan senjata! Siapkan senjata!” teriak warga yang lain pula.
Seperti para peserta 17 Agustusan, para warga seketika berlomba-lomba berlari ke rumah masing-masing saat mendengar komando itu.
Warga Desa Iwaklelet berubah panik, kacau, dan bingung harus berbuat apa. Bahkan warga yang termasuk golongan Orang Bersandal” sudah mendesain tempat persembunyian diri dan keluarga mereka di dalam rumah.
“Ayah, kenapa kacau seperti ini?” tanya Alma kepada ayahnya yang pergi ke perahunya yang juga ditambatkan.
“Itu bajak laut, Alma,” jawab Slamet Lara sambil menunjuk ke arah kapal besar yang semakin dekat ke pantai.
“Lalu kenapa kalau bajak laut?” tanya Anjengan juga, kakak Alma yang turut bingung melihat kepanikan yang terjadi.
“Bajak laut itu jahat,” jawab Slamet Lara sambil melubangi sisi bawah perahunya dengan tikaman ujung goloknya yang lancip.
“Ayah, kenapa dilubangi perahu kita?!” tanya Alma dengan setengah berteriak, ia terkejut tapi tidak habis pikir.
“Jika tidak ditenggelamkan, bajak laut itu akan merusaknya lebih parah. Setelah bajak laut pergi, nanti kita perbaiki lagi,” jelas Slamet Lara.
“Oooh!” desah Alma manggut-manggut.
Tidak hanya Slamet Lara yang melubangi perahunya kemudian menenggelamkannya, semua pemilik perahu melakukan hal yang sama.
Sementara itu, sudah banyak warga yang berkumpul dengan tangan masing-masing menenteng senjata. Ada yang bawa golok, senjata sehari-hari mereka sebagai seorang nelayan. Ada yang bawa pisau dapur, gergaji, kapak, pahat, tongkat, pentungan, tambang, jala ikan, sapu lidi, hingga kail. Bahkan ada yang bawa pedang, senjata yang dimiliki tetapi tidak pernah dipakai, karena pemiliknya pada dasarnya bukan seorang pendekar atau prajurit.
Selain laki-laki, ada juga sejumlah ibu-ibu yang merasa memiliki jiwa srikandi laut. Mereka bergabung dengan kaum lelaki berkumpul bersama di belakang Kepala Desa Iwaklelet.
Kepala Desa Iwaklelet adalah seorang lelaki tinggi kurus, tetapi ia kuat bertahan jika ada angin kencang. Ia mengenakan baju merah gelap dengan celana hitam dan sarung kuning diikatkan di pinggang. Di balik lilitan sarung itulah terselip sebuah golok panjang yang masih bersarung juga. Kepala desa itu bernama Jaring Wulung, seorang pelaut handal yang sudah kenyang menelan garamnya laut. Namun, kini ia sudah berhenti melaut, meski tidak ada tunjangan pensiuanan untuk seorang pelaut veteran.
Di samping kanannya berdiri seorang lelaki tinggi besar yang bertelanjang dada, memperlihatkan badan kekarnya yang terbentuk atletis karena sering menarik dan mendorong perahu. Lelaki berusia lebih muda dari Jaring Wulung itu memelihara kumis tebal seperti poni. Ia berdalih bahwa sebagai seorang Pendekar Desa, wajib memelihara kumis tebal sebagai tanda orang yang ditakuti. Tangan kirinya memegang sebuah golok bergagang kepala ikan, bukti ciri khas sebagai seorang pendekar pesisir. Ia bernama Debur Angkara, satu-satunya tokoh keamanan yang diakui kependekarannya, maksudnya dia lebih hebat daripada semua warga di Desa Iwaklelet itu.
Setelah perahu-perahu nelayan sudah ditenggelamkan semua, mereka kemudian berkumpul dalam satu lokasi. Mereka berpegang kuat pada pepatah yang mengatakan “bersatu kita teguh, bercerai kita nikah lagi”. Mereka semua memandang ke arah laut, ke arah kapal besar yang semakin mendekat.
Sementara Alma dan teman-temannya hanya mengerenyit melihat tingkah dan sikap orang-orang dewasa itu. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 349 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ●ιиɑ͜͡✦Amita Sahara ⍣⃝కꫝ
wehh keren ini pendekat desa iwakleket
2024-02-11
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ●ιиɑ͜͡✦Amita Sahara ⍣⃝కꫝ
😂😂🤣😂🤣terimakasih om sudah menghibur kami
2024-02-11
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ●ιиɑ͜͡✦Amita Sahara ⍣⃝కꫝ
capek ketawa mulu, tapi lucu dan seru
2024-02-11
0