*Alma Fatara (Alma)*
Alma Fatara, Anjengan, Iwak Ngasin, Juling Jitu, dan Gagap Ayu sedang berkumpul di satu titik pantai, tepatnya di bawah sebuah pohon kelapa.
Mereka sedang bermain Kelomang Bangkit Dari Kubur.
Permainan itu mengharuskan setiap pemain memiliki kelomang jagoan. Bidang permainan adalah sebuah lubang dangkal di pasir. Setiap kelomang dimasukkan ke dalam lubang yang akan menjadi kuburan bagi kelomang. Kemudian lubangnya diuruk mengubur semua kelomang yang ada di dalamnya. Tanah pasir urukan itu tidak boleh di tekan atau dipadatkan. Setelahnya, mereka tinggal menunggu kelomang milik siapa yang akan keluar terlebih dulu dari dalam pasir.
“Ayo Cangkang Hitam!” teriak Iwak Ngasin meneriaki kelomangnya.
“Bangkitlah Pendekar Juling!” teriak Juling Jitu sambil berdiri dan bergaya, seolah hendak berubah menjadi Satria Baja Hitam.
“Bokong Sekal! Bokong Sekal! Bokong Sekal!” teriak Anjengan dengan gaya seperti fans wanita fanatik meneriakkan bintang K-Pop idolanya.
Gagap Ayu beda lagi gayanya.
“Bababa… bangkitlah dadada… dari kukuku….”
“Kutaaang!” teriak keempat teman Gagap Ayu bersamaan sambil menunjuk gadis kecil berwajah cantik hitam manis itu.
“Bukan kukuku… tang, tapi kubuuur!” ralat Gagap Ayu dengan wajah merengut sewot.
“Hahaha…!” Tertawalah mereka ramai-ramai.
“Papapa… Pangeran Laut Cacaca… Cantik!” teriak Gagap Ayu menyebut nama kelomang jagoannya.
“Hahaha…!” tawa Alma terbahak seperti tawa bapak-bapak. “Hei, Ayu! Dari mana ceritanya Pangeran Laut itu cantik? Yang normal itu Pangeran Laut Tampan, atau Pangeran Laut Jantan!”
“Terserah aku, Alma. Itu kekeke… kelomangku, terserah aku mau kakaka… kasih nama apa!” otot Gagap Ayu dengan kekhasan gagapnya.
“Oh terserah ya? Kalau begitu, terserah aku juga mau kasih nama apa kelomangku,” kata Alma. Ia lalu meneriaki kelomangnya yang belum keluar, “Bangkitlah, Gagap Ayu Pesek! Ayo Gagap Ayu Pesek!”
“Hei, Alma! Itu nanana… namanya mememe… meledek!” protes Gagap Ayu tidak terima.
“Eeeh! Itu kelomangku, terserah aku mau beri nama apa,” kilah Alma sambil cibirkan bibirnya.
“Tidak boleh begitu, Alma. Kalau mainnya ledek-ledekan, mana bisa ada permainan!” kata Anjengan turut menyalahkan Alma.
“Benar tuh, Alma. Kalau mau berkelahi, ya berkelahi sekalian. Tapi kalau mau main, ya jangan ngajak berkelahi!” kata Juling Jitu, anak lelaki yang memiliki kelebihan dengan sepasang mata yang juling.
Tiba-tiba perdebatan mereka dibuyarkan oleh teriakan Iwak Ngasin.
“Ada yang bangkit dari kubur!”
Sontak mereka berlima fokus melihat ke bawah. Tampak tanah pasir yang mereka timbun mulai bergerak-gerak, menandakan ada kelomang yang bergerak hendak keluar dari kuburannya.
“Papapa… Pangeran Laut Cacaca… Cantik!” teriak Gagap Ayu ketika melihat satu kelomang sudah keluar dari dalam timbunan pasir.
“Slamet Linglung keluar!” teriak Alma pula saat melihat kelomang miliknya ikut keluar menyusul kelomang milik Gagap Ayu. “Ayo, Slamet Linglung! Seruduk Pangeran Cantik itu!”
“Waaah Alma parah. Naman bapaknya dipakai buat nama kelomang!” tukas Juling Jitu.
“Tidak apa-apa, bapakku senang kalau namanya terdapat di mana-mana,” kata Alma.
“Yaaa, kok bebebe… berhenti!” ucap Gagap Ayu kecewa.
Kelomang milik Gagap Ayu berhenti setelah keluar dari dalam pasir. Berbeda dengan kelomang milik Alma, dia terus bergerak dan berjalan meninggalkan kuburannya.
“Hahaha! Pangeran Cantik jadi sawan setelah dikubur!” kata Alma menertawakan kelomang milik Gagap Ayu.
Setelah itu, barulah tiga kelomang lainnya juga keluar, bangkit dari kubur.
“Horeee! Slamet Linglung juara! Hahahak!” sorak Alma lalu tertawa keras.
“Hei hei hei! Diam!” hardik Iwak Ngasin kepada teman-temannya. Ia tidak peduli lagi dengan kelomangnya yang terus berjalan meninggalkan lokasi pertandingan.
“Kenapa? Wah, pasti mau kentut!” tukas Anjengan sambil mundur dua tindak menjauhi Iwak Ngasin.
“Hahahak!” Mereka tertawa lalu segera mundur menjauhi Iwak Ngasin. Mereka sepakat curiga bahwa teman mereka mau prank.
“Bukaaan. Lihat tuh di sana!” ralat anak bertubuh kurus itu.
Alma dan ketiga lainnya jadi mengalihkan pandangan ke arah jauh, ke tempat deretan perahu para nelayan ditambatkan.
Di tempat panambatan perahu-perahu nelayan Desa Iwaklelet, tampak ada dua orang lelaki dewasa di sana. Kedua lelaki berpakaian bagus itu bergerak-gerik sedang memeriksa sebuah perahu, seolah sedang mencari sesuatu di dalam perahu.
Pakaian yang mereka kenakan menunjukkan bahwa mereka bukanlah pemilik perahu dan juga sebagai tanda bahwa mereka bukan warga desa itu.
“Aneh ya, Orang Bersandal saja pakaiannya tidak sebagus itu. Pasti mau maling perahu!” kata Juling Jitu menganalisa.
“Pakaian mereka bagus, mana mungkin mereka maling,” kata Anjengan.
“Bibibi… bisa saja,” kata Gagap Ayu.
“Iya, bisa saja. Bisa saja mereka berpakaian bagus hasil maling agar mereka tidak dicurigai sebagai maling,” kata Juling Jitu.
“Ayo ambil batu semua! Kita lempari maling perahu itu!” kata Alma berkomando.
Meski mereka sering bertengkar atau berdebat, tetapi untuk urusan bergerak bersama, Alma adalah komandannya.
“Maliiing…! Maliiing…! Maling perahu!” teriak Alma sambil berlari menuju air.
“Maliiing…! Maliiing…! Maling perahu!” teriak empat orang teman Alma sambil berlari juga.
Mendengar teriakan itu, dua orang pemuda yang sedang mencari-cari sesuatu di atas sebuah perahu, jadi terkejut. Ketika keduanya melihat ke arah sumber teriakan ramai-ramai itu, sejumlah batu sudah melesat di udara menyerang mereka.
Kedua pemuda tampan itu dengan mudah mengelaki setiap batu yang dilempar kepada mereka.
“Bagaiamana ini, Jura?” tanya pemuda berbaju biru bagus. Di pinggang kirinya menggantung sebuah pedang bersama warangkanya. Ia bernama Sugang Laksama. “Warga mulai berdatangan!”
Memang benar, karena ramainya teriakan Alma dan rekan-rekannya, warga yang mendengar segera bergerak datang ke pantai.
Set! Tak!
Satu batu kerikil melesat cepat dan tepat mengenai kepala pemuda yang bernama Sugang Laksama.
“Akk!” pekik Sugang Laksama. Ia meringis memegangi kepalanya sambil menatap tajam kepada Alma, anak yang telah melemparnya.
Posisi perahu-perahu yang ditambat agak jauh dari pasir pantai. Untuk sampai ke perahu-perahu tersebut, orang dipantai harus turun ke air hingga sedalam paha.
“Ayo, Sugang!” ajak pemuda berbaju hitam yang bernama Jura Paksa.
Jura Paksa lebih dulu berlari ringan dari satu perahu ke perahu lain. Ia mengandalkan ilmu peringan tubuhnya.
Sugang Laksama yang kepalanya berdarah karena lemparan Alma, cepat berkelebat di atas deretan perahu-perahu yang mengapung. Ia mengikuti Jura Paksa. Ujung-ujungnya, kedua pemuda itu berkelebat ke pantai pasir lalu berlari kencang meninggalkan pantai.
Para nelayan Desa Iwaklelet sudah berdatangan dan menemui anak-anak tanggung itu.
“Apa yang kedua orang itu lakukan di perahu?” tanya seorang lelaki dewasa.
“Tidak tahu, seperti mau maling perahu,” jawab Alma.
Para pemilik perahu lalu mendatangi perahu-perahu mereka di air guna memeriksanya.
“Tidak tahunya dua orang itu orang-orang sakti,” kata Juling Jitu.
“Kau tadi membuat kepalanya berdarah, Alma. Hati-hati, aku khawatir mereka akan datang dan menuntut balas kepadamu, Alma,” kata Iwak Ngasin.
“Aaah, tidak akan. Jika mereka datang lagi, ya aku lempar lagi,” kata Alma.
“Tapi dua orang tadi ganteng-ganteng,” ucap Anjengan genit sambil tersenyum-senyum sendiri. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 349 Episodes
Comments
MARQUES
temennya gagap malah di ketawain dsr temen lucknut🤣
2024-11-16
0
Barokah 99ˢ⍣⃟ₛ
wah, alma. klu mau main yg bener, jangan kayak orang ngajk berkelahi. kasihan juling jitu, namanya jd melekat gitu sbb matanya mmg juling
2024-04-02
3
🍒⃞⃟🦅🦁ˢʰᵉʳᴀʀᴠᴀᵖᶦˢᶜᵉˢ🍉🔥
Alma seperti ketua geng deh, berkomando segala🤭🤣
2024-04-02
1