Inilah yang Ana khawatirkan sebelumnya akan terjadi. Dan benar saja, semua bayangan buruk itu benar-benar terjadi sekarang. Bahkan Ana sudah tak ada lagi harga dirinya dimata sang Ibu mertua. Dianggap miskin dan kampungan. Rasanya benar-benar hina. Apa semua orang kaya memang begitu? Memperlakukan orang miskin dengan cara merendahkannya? Kekayaan tak akan selamanya digenggam. Namun perbuatan baik akan selalu terbawa sampai dalam keadaan mati sekalipun.
Bara dan Ana sudah berada di dalam kamar sekarang. Dengan ukuran yang lebih besar dari kamar kosan mereka. Sangat mewah dan luas tentunya. Bahkan untuk ukuran kamar mandi saja juga besar.
Ceklek
Bara mengunci pintu kamarnya. Sementar Ana sudah duduk di atas ranjang yang besar dengan sprei motif captain amerika. Seperti anak kecil saja ya dia. Kamarnya masih nuansa anak-anak lelaki pada umumnya.
“Sayang, kamu jangan pikirkan ucapan Mamaku tadi ya. Aku gak mau kamu jadi kepikiran.”
“Enggak, Bar. Mamamu benar, aku memang gak pantas jadi Istrimu.” Ana berkata lirih. Berusaha menahan tangis, tapi tetap saja tak bisa. Air mata yang dibendung kini luruh begitu saja.
“Sayang, maafin aku. Gara-gara nikah sama aku, kamu jadi begini. Maafin aku cintaku.” Ucap Bara berusaha menenangkan sambil membawa Ana ke dalam dekapannya.
Tetap saja, naluri wanita saat hatinya rapuh akan sulit untuk dibujuk. Meski dengan kata-kata maupun perbuatan yang manis sekalipun.
“Ka-kamu gak salah kok, sayang. A... Aku yang salah. Aku memang gak pantas untukmu. Aku hanya orang biasa, Bar. A.. Aku tak sekaya dirimu. Aku ikhlas, kalau memang harus melepasmu pergi. Hiks... Hiks... Hiks.” Ucap Ana tersedu-sedu.
“Kamu ngomong apa sih, Kak? Aku sayang sama Kakak. Aku cinta sama kamu. Istriku itu hanya kamu, cintaku. Aku gak mau sama yang lain.” Bara kekeh dengan pendiriannya untuk mempertahankan pernikahan ini.
Saat mereka tengah dalam kebimbangan untuk mempertahankan hubungan yang tak direstui oleh sang Ibu mertua Ana. Tiba-tiba ada suara ketukan pintu kamar.
Tok tok tok
“Bara, cepat keluar nak. Ini ada Farah calon Istrimu, Mama tunggu lima menit buat siap-siap keluar.” Ucap Ny. Kertajaya dengan nada berteriak. Mungkin dia sengaja begitu agar Ana mendengarnya dan segera pergi dari sana.
Ana yang mendengar Ibu mertuanya memanggil Bara begitu sontak langsung melepas pelukan Bara dan menghapus air matanya. Ia merapikan penampilannya yang agak kusut.
“Pergilah, Bar.” Ana berusaha terlihat baik-baik saja dan menerima dengan lapang dada.
“Kalau aku pergi, kamu juga harus ikut. Aku gak mau keluar kamar sementara kamu sendirian disini.” Ana mengangguk.
Mereka berdua keluar dari kamarnya Bara dengan wajah kusut. Apakah seperti ini pernikahan yang diidam-idamkan setiap wanita? Ana masih tak menyangka bahwa bayangan buruk yang selalu menghantui pikirannya benar-benar terjadi didepan matanya.
Saat mereka sudah berada di bawah, Ana di perlihatkan dengan calon wanita yang Ibu mertuanya pilihkan untuk Bara. Gadis cantik dengan rambut terurai berwarna hitam bergelombang. Memakai dress selutut berwarna hitam. Ana hanya tertunduk malu.
“Bara, ini Farah. Kamu masih ingat kan? Dulu kalian pernah menjalin hubungan bukannya? Bulan depan pernikahan kalian akan segera dilangsungkan. Dan minggu depan akan dilaksanakan pertunangan tukar cincin.” Ny. Kertajaya berkata tanpa rasa iba sedikit pun pada Ana.
Memang dasar tak punya hati wanita itu. Dasar nenek lampir. Seenaknya saja merencanakan pernikahan untuk Bara.
“Apa? Nikah dengannya, Ma? Gak. Aku gak mau!” Bara menolak dengan tegas.
“Apa-apaan kamu, Bar? Dia kekasihmu dulu kan? Semua sudah Mama siapkan pernikahan untukmu. Kamu gak bisa mengelak lagi. Karena Mama sudah membayar semuanya!”
“Mama gak bisa begitu, seenaknya sendiri membuat keputusan tanpa bertanya lebih dulu padaku. Aku sudah putus dengannya, Ma. Aku juga sudah menikah dengan, Ana!” Tegas Bara sambil melirik ke arah Ana yang diam saja sedari tadi.
“Bara, kamu sudah menikah sama dia? Hah? Haha. Kamu yakin? Wanita udik kayak gini? Dia bukan type kamu, Bar. Aku tahu type kamu tuh kayak apa.” Ucap Farah bangga.
Dasar plakor! Enak saja kamu ngatain Ana udik. Kamu tuh yang udik! Baju kurang bahan dipakai segala.
“Diam kamu! Ana itu Istriku. Sampai kapan pun aku gak akan mau menikah denganmu! Camkan itu!” Untuk pertama kali, Bara berkata dengan nada tinggi yang menggelegar.
Membuat Farah seketika terkejut kaget. Termasuk dengan Mamanya juga. Sementara Ana, tetap diam seperti tak dianggap ada.
“Cukup, Bara! Mama sudah habis kesabaran karenamu. Hei, kamu! Wanita kampungan! Ayo sana pergi, jangan ganggu putra saya lagi. Kamu butuh uang berapa? Saya akan transfer untuk biayamu pulang ke rumah mu. Ayo sebutkan nomor rekeningnya.” Ucap Mamanya Bara merendahkan Ana.
Kali ini kesabaran Ana pun sudah habis. Mungkin memang sudah seharusnya dia tak memaksa Bara untuk ke rumah orang tuanya, kalau tau begini jadinya.
“Tidak perlu mengusir saya pun saya akan pergi dari sini, Nyonya. Maaf sudah mengganggu kalian. Saya tak butuh uang darimu, Nyonya. Terima kasih. Saya permisi.” Ucap Ana berlalu lalang meninggalkan mereka bertiga di ruangan itu.
Sementara Bara yang ingin menyusul Ana tak bisa, karena ditahan oleh Mamanya dan Farah.
Jahat sekali mereka.
Ana pergi meninggalkan kediaman rumah Bara dengan perasaan hancur. Hati yang telah jatuh pada orang yang tak seharusnya ia jatuhkan. Orang yang berbeda kasta dengannya. Tentu saja akan berakhir menyakitkan. Seperti sekarang ini yang sedang ia alami. Ana menyusuri jalanan dengan berjalan kaki sambil sesekali memberhentikan angkutan umum. Namun tak ada yang mau berhenti. Sampai ketika, ada sebuah mobil yang berhenti disampingnya. Ia pun menoleh ke arah mobil itu.
“Kak Ana ya?” Ana tertegun kaget melihat Arka. Temannya Bara. Buru-buru Ana menghapus air matanya.
“Iya, kamu Arka ya?”
“Iya kak. Kakak kok bisa ada disini?”
“I.. Iya, aku sedang cari angkutan umum. Tapi dari tadi gak ada yang mau berhenti.”
“Ya sudah, bareng sama aku saja Kak. Yuk naik!” Ajaknya. Sikapnya tak berbeda jauh dari Bara. Sama-sama baik dan perhatian.
“Terima kasih, Arka.” Ucap Ana tersenyum.
“Sama-sama, Kak.” Ana duduk di kursi depan bersebelahan dengan Arka.
Sesekali Arka melihat Ana yang tengah melamun dengan wajah yang sayu seperti habis menangis.
“Kakak kenapa? Bara kemana? Tumben dia gak sama Kakak. Kalau ada apa-apa cerita saja sama aku.” Arka berkata sambil mengendarai mobilnya.
“Bara ada dirumah nya, Ar. Aku gak kenapa-kenapa kok. He he he.” Ana berusaha menyembunyikan semuanya dari Arka.
“Kakak yakin gak ada apa-apa? Cerita saja sama aku Kak. Bara itu sahabat dekatku. Kakak gak perlu sungkan kalau perlu apa-apa. Siapa tahu Kakak butuh bantuan?”
“Terima kasih, Ar. Aku gak apa-apa kok. Eh nanti turunin aku di kosan yang di seberang kampus kita ya?” Ana mengalihkan topik.
“Kakak pindah ke kosan itu? Kapan?” Ternyata dia belum tahu. Apa Bara sengaja tak memberitahunya?
“Hm baru dua mingguan ini, Ar."
“Oh. Hm aku boleh tanya soal Bara gak kak? Maaf sebelumnya lancang, he he.”
“Boleh, gak apa-apa kok Ar.”
“Hm aku mau tanya tentang ucapan Bara yang waktu itu di kantin Kak. Apa benar, kalau kalian berdua sudah menikah?”
“I.. Iya, Ar. Aku sudah menikah dengan Bara.” Ana menjawab lirih.
“Jadi, itu beneran kak?” Tanya Arka seolah tak percaya.
“Iya, Arka.”
“Kok bisa sih kak? Kalian saja baru bertemu kan ya?”
“Panjang ceritanya, Ar.”
“Terus kalian sudah berhubungan badan kah? Maaf, kak. Aku gak bermaksud gimana. Tapi khawatir kalau suatu waktu Kakak hamil terus Bara di jemput paksa orang tuanya.” Tapi kenyataannya memang begitu sekarang, Ar.
“Hm. Bara memang sudah di ambil oleh orang tuanya kembali, Ar.” Ucap Ana lirih sambil sesekali membuang muka menatap ke arah jendela.
“Aku sudah tebak itu Kak. Keluarga mereka benar-benar detail kalau soal menjodohkan anaknya. Apalagi Bara anak satu-satunya penerus keluarga Kertajaya.”
“Hm, aku paham dan sadar itu kok Ar. Memang sudah seharusnya aku gak perlu menikah dengannya waktu itu.”
“Kakak karena hal apa bisa sampai menikah secara tiba-tiba begitu? Orang tuanya Bara gak tahu soal pernikahan kalian kan?”
“Karena salah paham, Ar. Ibu kos yang di kosan ku dulu menganggap aku dan Bara telah berzina. Padahal sebenarnya tidak. Bara hanya menumpang ke kamar mandiku sebentar. Tapi justru mereka malah salah paham, dan akhirnya menikahkan aku dengan Bara. Iya, orang tuanya gak tahu. Orang tuaku pun gak tahu kalau aku sudah menikah.”
“Ya ampun, Kak. Maaf, aku gak tahu kalau masalahnya serumit itu.”
“Gak apa-apa kok, Ar. Memang begitu faktanya.”
“Kalau kakak butuh sesuatu, Kakak telepon aku aja. Ini nomor telepon ku Kak.” Arka menyerahkan gadgetnya padaku. Bermaksud untuk memberikan nomornya agar aku save dalam ponselku.
Apa ini gak berlebihan ya? Arka terlalu baik.
~~
Singkat cerita, Ana sudah sampai di depan kosan. Arka tidak turun, dan langsung pamit pergi. Ana hanya melambaikan tangan mengucapkan terima kasih atas tumpangannya.
Buru Ana membuka pintu kamar kos ini. Untunglah Bara tadi menyimpan kuncinya di dalam tas ku. Bara, Ana rindu padanya. Rasanya Ana belum siap untuk kehilangan dia.
"Apa memang begini nasib orang miskin sepertiku?" Gumam Ana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
KLO GK SALAH, SIARYA ABANGNYA ARKA NNTI YG INGIN JDI PEBINOR..
2024-02-23
0
Marthi S
sedih Banget
2022-03-12
1
U'voo Hartana
bara, lemah. harus punya sikap tegas.
2022-03-10
0