NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Bos Cassanova

Jerat Cinta Bos Cassanova

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Kehidupan di Kantor / CEO / Percintaan Konglomerat / Menyembunyikan Identitas / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gara-gara sirup Leci palsu

Malam turun dengan perlahan. Ia berdiri di depan lemarinya yang setengah berantakan, dengan beberapa gaun yang sudah ia tarik keluar dan lempar ke kasur.

“Astaga, kenapa semua baju terlihat salah malam ini?!” keluhnya dengan wajah panik.

Di meja rias, foundation terbuka, eyeliner miring, dan jepit rambut berserakan. Audy baru saja selesai mengeringkan rambutnya ketika ponselnya bergetar. Ia melirik layar—nama “Aldrich” terpampang besar. Tak ada embel-embel “Pak” seperti kebanyakan karyawan menyimpan kontak atasan.

Jantungnya langsung melompat.

“Jangan bilang…” gumamnya sambil menatap ponsel seolah itu bom waktu.

Ia mengangkat dengan suara yang dibuat tenang. “Halo, Pak?”

Suara berat dan santai Aldrich terdengar di seberang, “Aku sudah di jalan menuju rumahmu.”

Audy sontak membeku. “A—apa?! Kenapa, Pak?!”

“Kau tidak lupa, kan, kita ada malam dengan klien jam delapan? Ini sudah lewat jam tujuh. Aku pikir akan lebih efisien jika kita berangkat bersama.”

Audy langsung berjalan mondar-mandir seperti ayam kehilangan arah. “Tidak! Maksud saya… tidak perlu repot, Pak! Saya bisa langsung ke lokasi sendiri!”

Aldrich terdengar menahan tawa di ujung telepon. “Kau yakin? Aku sudah hampir sampai sekitaran rumahmu.”

“Pak, serius! Jalanan macet, nanti malah buang waktu. Lebih baik saya langsung ke restoran. Lagipula saya belum… belum siap sepenuhnya,” katanya gugup sambil melirik wajahnya di cermin yang setengah selesai dirias.

“Belum siap?” suara Aldrich menurun sedikit, menggoda. “Audy, kau dandan untuk makan malam bisnis, bukan audisi Miss Universe.”

“Tetap saja! Ini penting! Klien kita itu wanita elegan, saya harus tampil… profesional.”

“Hm. Baiklah,” sahut Aldrich akhirnya, dengan nada seperti menikmati setiap detik kepanikan gadis itu. “Aku biarkan kau menenangkan dirimu dulu. Tapi jika kau belum muncul jam delapan lewat sepuluh, aku yang akan menjemput paksa.”

Audy nyaris menjerit. “Tidak! Saya janji datang tepat waktu!”

“Kita lihat nanti.” Suara Aldrich terdengar geli sebelum sambungan telepon terputus.

Audy menatap ponselnya lama-lama. “Bos monster menyebalkan itu benar-benar menikmati penderitaanku!”

Ia menarik napas panjang, lalu mempercepat semua gerakannya: merias wajah, memilih dress biru tua sederhana yang tidak terlalu mencolok tapi tetap sopan, lalu mengambil tas kecil. Begitu keluar gerbang, ia masih memeriksa jam—7.42.

Oke, masih aman… asal tidak macet.

Namun takdir berkata lain. Lima belas menit kemudian, Audy masih terjebak di lampu merah panjang, dan jam di dashboard taksi online-nya menunjukkan 8.03.

“Ya Tuhan, jangan sekarang!” desisnya, memukul-mukul udara panik.

Jika saja ia tak menolak, Daddynya tadi mengajak untuk pergi bersama, karena ia juga ada undangan makan malam bisnis, tapi, ya... namanya Audy. Sejenak ia menyesal tidak ikut dengan Daddynya, meski beda arah—setidaknya mungkin ia tak akan terjebak macet karena tak akan menggunakan jalur yang saat ini ia lalui.

Telepon berdering lagi. Nama di layar: Aldrich.

Audy menelan ludah sebelum mengangkat.

“Saya… sedang di jalan, Pak.”

“Di jalan sebelah mana?”

“Sebelah… yang macet.”

“Jadi aku harus berasumsi kau di mana saja?”

“Pak, jangan menjemput saya! Saya mohon!” katanya cepat, hampir seperti doa.

Aldrich hanya tertawa pelan di seberang. “Baiklah. Aku tunggu di restoran. Tapi jika sampai kau datang dengan rambut masih setengah kering, aku akan menganggap kau belum paham arti profesional.”

> “Siap, Tuan!” jawab Audy cepat, padahal keringat dingin sudah membasahi punggung tangannya.

.....

Sekitar dua puluh menit kemudian, Audy akhirnya tiba di restoran elegan di pusat kota. Lampu gantung kristal, pelayan berjas hitam, dan musik piano pelan menyambutnya. Ia menatap dirinya di kaca pintu sebelum masuk—lumayan, tidak terlalu buruk.

Begitu matanya menangkap Aldrich yang duduk di meja pojok, mengenakan setelan gelap dan wajah seriusnya yang menawan seperti biasa, Audy menarik napas panjang. Oke, profesional, Audy. Ingat, ini bisnis. Bukan kencan. Bukan.

Ia melangkah mendekat, “maaf saya agak terlambat, Pak.”

Aldrich menatapnya, pandangannya turun naik dengan tenang. “Hm… aku tidak keberatan menunggu, jika hasil akhirnya seperti ini.”

“Pak…” Audy melirik kesal, tapi pipinya memanas.

Sebelum sempat membalas, seorang wanita paruh baya dengan perhiasan mencolok datang mendekat—klien malam itu.

“Pak Aldrich! Akhirnya bertemu lagi. Dan ini… asisten Anda?” katanya dengan senyum lebar yang meneliti Audy dari kepala hingga kaki.

“Benar, ini Audy,” jawab Aldrich tenang. “Dia cukup kompeten, meski terkadang… suka panik tanpa alasan.”

“Pak!” bisik Audy cepat sambil menyikut pelan bawah meja.

Wanita itu tertawa, “Lucu sekali. Saya suka asisten yang jujur dan spontan seperti ini.”

Sepanjang makan malam, Audy berusaha menjaga ekspresi profesional, meski setiap kali Aldrich bicara dengan nada tenang, matanya sesekali melirik ke arah Audy seolah ingin menggoda. Ia sengaja memesan wine dengan alasan “formalitas klien,” padahal ia tahu Audy—si gadis baik-baik itu tak kuat alkohol.

Ketika klien izin ke kamar kecil, Audy langsung mendesis pelan, “Pak, kenapa memesan wine segala?”

“Agar kau belajar menyesuaikan diri dalam situasi bisnis sebenarnya,” jawabnya datar, tapi ujung bibirnya jelas menahan senyum.

“Atau Bapak hanya ingin melihat saya mabuk dan bicara ngawur?”

“Itu bonus.”

Audy menatapnya tajam, tapi pria itu hanya mengangkat alis dengan gaya sok tak bersalah.

_____

Malam itu jalanan ibukota mulai lengang. Lampu-lampu kota berpendar lembut di kaca mobil, memantul di mata Audy yang mulai sayu. Angin malam menyusup dari ventilasi mobil, membawa aroma parfum mahal yang samar dan ketegangan yang tak bisa dijelaskan.

Audy bersandar di kursi penumpang, separuh tubuhnya miring, kepala hampir menyentuh jendela. Pipinya memerah, matanya setengah terpejam. Ia mendesah pelan, “Saya… tidak mabuk, Pak…”

Aldrich, yang sedang menyetir, melirik sekilas. Sudut bibirnya terangkat. “Tentu saja tidak. Itulah sebabnya kau hampir meminum air putihku dengan penuh keyakinan bahwa itu sirup leci.”

Audy menyipit, tapi hanya berhasil tampak makin mengantuk. “Itu karena gelasnya sama…” gumamnya, suaranya lembut dan sengau.

“Dan kau memanggil pelayan dengan sebutan ‘Leci’ setelah itu,” lanjut Aldrich datar, menahan tawa.

“Tidak mungkin saya—” Audy berhenti di tengah kalimatnya karena mulai tertawa sendiri. “Leci…” ulangnya, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. “Ya Tuhan, malunya…”

Aldrich melirik lagi, kali ini lebih lama. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergerak pelan—campuran geli, iba, dan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar godaan.

Audy benar-benar tampak polos. Dress biru tua yang tadi tampak profesional kini sedikit kusut di bagian pinggang, rambutnya terurai tak teratur. Dalam cahaya lampu jalan yang masuk lewat kaca depan, wajahnya tampak begitu lembut.

Aldrich menghela napas perlahan, memalingkan pandangan kembali ke depan. Tapi semakin lama ia menyetir, semakin susah untuk tidak melirik. Audy bergeser, kini setengah rebahan, kepala miring ke arah jendela, dan tangan kirinya menahan dagu seperti anak kecil yang kelelahan.

“Audy,” panggilnya pelan.

“Hm?” hanya gumaman yang terdengar.

“Kau yakin tidak apa-apa?”

“Saya baik-baik saja, Pak… asal jangan menyetir zig-zag begini…”

Aldrich tersenyum tipis. “Aku tidak zig-zag. Itu trotoar.”

“O-oh…” Audy terdiam, mencoba duduk tegak, tapi tubuhnya oleng lagi. Ia memejamkan mata sambil bersandar di kursi. “Mobil Bapak wangi sekali… seperti aroma… oh, apa tadi… pinus? atau parfum mahal?”

“Itu aroma profesionalisme,” sahut Aldrich cepat.

Audy tertawa kecil, “Bapak memang absurd…”

Beberapa menit berikutnya hening. Hanya suara mesin dan napas pelan Audy yang mulai teratur. Tapi bagi Aldrich, keheningan itu justru menyesakkan. Tatapannya berkali-kali berpindah ke arah penumpang di sebelahnya.

Ada sesuatu di sana yang membuatnya kehilangan fokus—bukan sekadar karena penampilan Audy, tapi karena ketidaksadarannya. Ia terlihat begitu menggoda dimata Aldrich—sang Casanova.

Aldrich segera menepikan mobil ke jalan sepi, di bawah pohon besar yang diterangi satu lampu jalan kuning pucat. Ia mematikan mesin, lalu menoleh.

“Kau ingin udara?” tanyanya pelan.

Audy mengangguk, membuka pintu sedikit dan membiarkan udara malam masuk. Ia menutup mata, menghirup dalam-dalam.

“Lebih baik?”

Audy menggeliat, “enghhh...”

“Shitt... begini saja sudah membuatku pening,” gumam Aldrich.

Perlahan Aldrich mendekat pada Audy, ia menatap wajah cantik itu dengan jarak nyaris tak ada.

Audy membuka mata, tapi ia sama sekali tak terkejut dengan adanya wajah Aldrich di hadapannya—dengan jarak sedekat itu.

Entah siapa yang memulai duluan, kini bibir keduanya saling menempel—saling memagut satu sama lain dengan tempo teratur.

Aldrich melepas pagutan itu saat nafas Audy mulai terengah, ia tahu gadis itu belum menguasai, “gadis polos ini...”

Bukannya mereda, Audy malah semakin panas. Kini gadis itu meraba lengan Aldrich, berusaha menariknya sekuat tenaga yang ia miliki.

Aldrich mati-matian menahan hingga beberapa kali merubah posisi duduknya karena sesuatu dibawah sana membuatnya sesak.

“Lagi...” ucap Audy dengan suara yang luar biasa membuat Aldrich tak kuasa.

Mereka kembali saling memagut, kali ini dengan ritme yang lebih intens—lebih dalam, tangan Aldrich tak tinggal diam.

“Mau ke apartemenku?” tanya Aldrich di sela-sela kegiatan panas itu.

“Disini saja...”

Aldrich memundurkan kursi kemudi, dan dalam hitungan detik tubuh Audy sudah ada di pangkuannya.

Senyum sexy Audy terpatri, ”seperti anak kecil.”

Yang di senyumi tak mampu lagi menjawab, Aldrich kembali mencumbu asistennya itu, ia sangat menikmati momen intim itu.

Tak ada penolakan sama sekali dari gadis cerewet itu, ia beberapa kali mendesah halus saat Aldrich bermain di area lehernya.

Tali gaun Audy yang tersampir di bahu perlahan turun, menampilkan keindahan yang membuat Aldrich enggan berkedip saat menatapnya.

“Boleh?”

Audy mengangguk, entah sadar atau tidak, ia juga menikmati permainan bos yang katanya menyebalkan itu.

“Emmhh...”

1
Itse
penasaran dgn lanjutannya, cerita yg menarik
Ekyy Bocil
alur cerita nya menarik
Stacy Agalia: terimakasih 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!