Eldoria, yang berarti negeri kuno yang penuh berkah. Negeri yang dulunya selalu di sinari cahaya matahari, kini berubah menjadi negeri yang suram.
Ratusan tahun telah berlalu sejak peperangan besar yang menghancurkan hampir seluruh negeri Eldoria, membuat rakyat harus hidup menderita di bawah kemiskinan dan kesengsaraan selama puluhan tahun sampai mereka bisa membangun kembali Negeri Eldoria. Meskipun begitu bayang-bayang peperangan masih melekat pada seluruh rakyat Eldoria.
Suatu hari, dimana matahari bersinar kembali walau hanya untuk beberapa saat, turunlah sebuah ramalan yang membuat rakyat Eldoria kembali memiliki sebuah harapan.
"Akan terlahir 7 orang dengan kekuatan dahsyat yang dapat mengalahkan kegelapan yang baisa di sebut Devil, di antara 7 orang itu salah satu dari mereka adalah pemilik elemen es yang konon katanya ada beberapa orang istimewa yang bisa menguasai hampir semua elemen dari klan Es"
Siapakah ketujuh orang yang akan menyelamatkan negeri Eldoria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AzaleaHazel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Berkat informasi dari Evans dan Gilbert, Liz akhirnya bisa menentukan kemana tujuannya. Kemarin saat pulang dia di marahi habis-habisan oleh Acrus karena tidak pergi latihan menggunakan senjatanya, tapi dia malah menghabiskan waktunya dengan Evans dan Gilbert. Sebelum matahari terbit Acrus sudah membangunnya dan menyuruhnya segera berangkat, Liz tidak bisa menolak, karena itu dia langsung berangkat dengan wajah yang masih mengantuk.
Acrus benar-benar gila, bahkan anak itu belum makan sesuatu sama sekali tapi sudah di suruh keluar dari rumah. Walaupun Liz menuruti ucapan Ayahnya, tapi gadis kecil itu tidak langsung pergi ke tempat yang akan dia tuju. Saat ini dia berada di depan toko Gilbert, meringkuk memeluk dirinya sendiri karena udara pagi terasa sangat dingin, mungkin sudah setengah jam dia di sini tapi tidak ada siapapun di sini, mungkin karena masih sangat pagi.
Gilbert yang baru saja tiba di tokonya mengernyitkan alisnya saat melihat anak kecil duduk di depan tokonya. "Siapa anak itu? Apakah itu Liz?" Batinnya, ia segera mendekat kearah anak itu.
"Liz." Panggil Gilbert. Ia bernafas lega, ternyata anak itu memang benar-benar Liz.
"Paman Gil." Liz agak terkejut melihat kedatangan Gilbert yang tiba-tiba.
"Sedang apa kau di sini?" Tanya Gilbert, dia berjongkok di depan gadis kecil itu.
"Tentang latihan yang ku beritahu kemarin, Ayah menyuruhku berangkat pagi-pagi sekali, jadi aku belum makan apapun, karena itu aku ingin membeli beberapa roti untuk ku bawa nanti." Balas Liz, dia kemarin memang memberitahu tentang latihan barunya dan meminta saran pada Gilbert tempat yang bagus untuk latihannya.
Gilbert tidak habis pikir mendengar penjelasan Liz. "Di sini pasti dingin, ayo masuk." Ucapnya mengalihkan pembicaraan. Dia segera bangkit dari duduknya dan berjalan kearah pintu toko.
"Untungnya aku datang ke toko sekarang, entah bagaimana nasip anak ini jika terus-terusan berada di luar dengan udara sedingin ini." Gilbert bergumam dalam hatinya seraya melirik Liz yang sedang menggosok tangannya sendiri.
"Terimakasih, Paman." Balas Liz, ia berdiri di belakang Gilbert yang sedang membuka pintu toko.
"Tokonya tidak akan buka jika kau datang sepagi ini." Ucap Gilbert, ia masuk ke dalam setelah membuka pintunya dan membiarkannya terbuka agar Liz bisa masuk.
"Ya, kupikir juga begitu." Balas Liz, ia mengikuti Gilbert masuk ke dalam toko. Saat sudah di dalam, kakinya melangkah ke kursi tanpa di suruh sang pemilik toko. Walaupun baru mengenal Gilbert kemarin, tapi Liz bisa percaya pada pria itu, bisa di bilang penilaiannya terhadap seseorang sangat bagus, jadi dia tidak perlu khawatir jika Gilbert orang jahat.
Benar apa yang Evans katakan kemarin, sepertinya hubungan Liz dengan orangtuanya tidak terlalu baik, tapi siapa sangka akan seburuk ini. Gilbert akhirnya hanya bisa menghela nafas, sesekali matanya melirik pada anak kecil itu. Bagaimana bisa ada orangtua yang begitu tega membiarkan anak kecil sepertinya keluar pagi-pagi buta, apalagi belum makan apapun.
Toko ini cukup besar hingga dia memiliki dapur kecil di sini, Gilbert memang jarang membeli makanan, dia lebih sering memasak sendiri karena lebih hemat juga. Kakinya melangkah ke dapur, dia ingat jika memiliki daging hasil buruannya semalam. Tidak banyak bumbu yang ia gunakan, seperti kecap asin dan perbawangan. Matanya tidak bisa lepas dari Liz, anak itu masih menelungkupkan wajahnya di atas meja, terlihat sekali jika dia masih mengantuk.
Beberapa saat kemudian, Gilbert selesai dengan masakannya, setelah menaruhnya di piring dia berjalan kearah Liz yang masih menelungkupkan wajahnya. Mendengar sesuatu di letakkan di depannya membuat Liz mengangkat kepalanya, sebuah daging tumis dengan bumbu sederhana kelihatan sangat menggugah selera, pandangannya beralih pada Gilbert.
Gilbert hanya bisa menghela nafasnya. "Makanlah selagi masih hangat." Ucapnya seraya mendudukkan dirinya di kursi yang bersebrangan dengan anak itu.
"Terimakasih, Paman Gil." Ucap Liz dengan mata berbinar, lalu mulai memasukkan potongan daging tumis itu ke mulutnya.
Gilbert tersenyum tipis melihat mata Liz berbinar merasakan masakannya, anak itu memberikan dua jempol padanya dan mengatakan jika ini adalah daging tumis terbaik.
"Akan ku bungkuskan untukmu, bawalah untuk bekal perjalananmu nanti." Ucap Gilbert lagi, ia menaruh makanan yang sudah di bungkus ke depan Liz.
"Maaf karena aku terlalu merepotkan, Paman." Balas Liz merasa tidak enak, padahal mereka baru bertemu kemarin tapi dia sudah merepotkan Paman barunya.
"Jangan bicara saat makan kau bisa tersedak." Peringat Gilbert, ia sengaja mengabaikan ucapan Liz agar anak itu tidak terus menerus menyalahkan dirinya sendiri.
Gilbert merasa kasihan pada Liz, dan entah kenapa sejak pertama kali bertemu dengan anak itu membuatnya merasa nyaman, padahal dia adalah tipikal orang yang tidak mudah akrab dengan orang baru, contohnya teman yang paling dekat dengannya hanya Evans.
"Eum." Balas Liz dengan anggukan kepala, ia kembali memakan makanannya dengan lahap.
Setelah menghabiskan makanan yang di siapkan Gilbert, Liz pamit untuk segera pergi ke tempat latihannya yang baru. "Jika ingin makan roti, kau bisa mampir setelah latihanmu selesai nanti, Paman akan membelikannya untukmu." Ucap Gilbert, ia sangat senang karena Liz memakan masakannya dengan lahap sampai-sampai tidak bisa mengalihkan perhatian pada anak itu.
"Tentu saja, aku akan datang jika sempat." Balas Liz dengan anggukan kepala. Dia senang-senang saja mampir ke sini, hanya saja biasanya latihannya baru selesai saat hari sudah gelap dan lagi dia juga takut akan merepotkan Gilbert yang sudah dia klaim jadi Paman barunya setelah Evans.
"Ya sudah, cepatlah berangkat sebelum siang." Ujar Gilbert saat melihat Liz sudah menyelesaikan sarapannya. Gilbert menyerahkan tas Liz setelah memasukkan bekal anak itu.
Liz mengangguk, lalu meraih tasnya yang di berikan Gilbert. "Aku pergi dulu, Paman Gil." Pamitnya pada Gilbert.
"Hati-hati." Balas Gilbert membuat Liz mengangguk patuh.
Gilbert mengantarkan Liz sampai ke depan toko, memastikan anak itu pergi dengan tenang. Saat sudah hampir tidak terlihat, Liz berbalik dan melambaikan tangan padanya, Gilbert tersenyum tipis dan membalas lambaian tangan anak itu.
Liz berangkat menuju tempat latihannya, kemarin dia meminta saran pada Gilbert dan Evans untuk memberitahunya tempat yang sepi agar bisa berlatih dengan tenang karena tidak perlu merasa takut akan melukai seorang. Sebenarnya alasan Liz karena dia takut hal seperti waktu itu terulang kembali, sepertinya sabit miliknya memang memiliki kekuatan yang mematikan walau hanya melihatnya saja. Dia tidak mau menyakiti kedua Pamannya seperti yang terjadi pada Acrus dan Acresia waktu itu, karena itu Liz sengaja pergi ke tempat yang sepi.
Mungkin hampir satu jam dia sampai di hutan yang Gilbert maksud, sebenarnya Liz bisa saja berlari dengan tambahan kecepatan elemen anginnya agar sampai lebih cepat, tapi dia tidak melakukan itu karena sengaja ingin menikmati perjalanan pertamanya. Cukup melelahkan memang, tapi Liz merasa senang, dia duduk di bawah pohon dengan punggung yang di sandarkan.
"Eve." Panggil Liz, tidak lama setelah itu kalungnya bersinar dan Eve sudah berada di depannya.
"Apa kau lelah?" Tanya Eve memperlihatkan Liz yang sedang memejamkan matanya dengan punggung yang di sandarkan ke pohon.
"Tidak juga." Balas Liz dengan mata yang masih terpejam.
"Kenapa kau tidak memanggilku? Aku bisa saja membawamu ke sini dengan cepat jika kau mau." Ucap Eve dengan nada tidak suka. Padahal ia ingin berguna untuk Liz, tapi anak itu selalu melakukan apapun sendiri.
Liz membuka matanya lalu duduk bersila menatap Eve. "Tenanglah Eve, aku hanya ingin menikmati perjalanan pertamaku. Bukan karena aku tidak membutuhkanmu, ayolah jangan marah." Ucapnya, ia menatap Eve dengan mata bulatnya yang berbinar.
"Aku tidak marah, anak kecil." Balas Eve. Dia memang tidak marah, lebih ke kesal saja karena Liz tidak terlalu mengandalkannya.
"Anak kecil, huh?" Tanya Liz, ia melipat tangannya dengan wajah cemberut menatap Eve.
"Tentu saja kau anak kecil, karena aku sudah ada bahkan sebelum kau lahir." Balas Eve terdengar seperti mengomel, membuat Liz tidak bisa menahan tawanya.
Liz berhenti tertawa lalu menatap Eve dengan tatapan teduhnya. "Terimakasih, Eve." Ucapnya tiba-tiba.
"Untuk apa?"
"Karena kau sudah hadir dalam hidupku, sepertinya hari-harinya berikutnya akan jauh lebih baik berkatmu." Liz akan selalu merasa bersyukur karena bertemu dengan Eve.
"Kita memang sudah di takdirkan bertemu, jadi jangan mengatakan hal-hal seperti itu lagi di kemudian hari." Balas Eve, dia tidak suka jika Liz selalu mengatakan hal-hal seperti itu karena takut jika anak itu akan terus merasa sedih.
"Aku mengerti."