Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. KERIBUTAN DI RUANG GANTI.
Tuan Alex dan Nyonya Angelina saling berpandangan, lalu menatap ke arah Sekretaris Zam dengan wajah penasaran.
“Katakan, siapa perempuan hamil yang kamu maksud?” suara Tuan Alex terdengar tegas dan tajam, membuat suasana ruangan seketika tegang.
Sekertaris Zam menunduk hormat, ragu untuk membuka suara. Belum Sempat menjawab, Luis sudah lebih dulu memotong.
“Bukan siapa-siapa, Dia hanya seorang pelayan yang membutuhkan uang untuk biaya persalinan."
Tuan Alex mengerutkan kening, menatap Luis tajam penuh selidik.
“Pelayan, katamu?” suaranya berat dan mengandung kecurigaan.
"Sejak kapan kamu mengurusi kehamilan, Luis? Katakan yang sebenarnya, atau aku sendiri yang akan mencari tahu kebenarannya.”
“Ayah lupa kalau aku ini seorang dokter? Hal seperti itu sudah biasa terjadi, tidak perlu dipersoalkan lagi. Ibu, Luis pamit dulu. Kalau ada waktu, Luis akan datang menjenguk lagi.”
Luis mencium tangan Nyonya Angelina lalu berbalik pergi, diikuti oleh Sekretaris Zam yang melangkah setia di belakangnya.
“Aku curiga dengan anak itu. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan dari kita,”
“Sesuatu apa maksudmu?” tanya Nyonya Angelina penasaran, menatap suaminya lekat.
“Entahlah…” balas Tuan Alex pelan, pandangannya kosong seolah pikirannya sedang berkelana jauh. Lama ia terdiam, hingga tiba-tiba matanya membulat seolah mengingat sesuatu.
“Jangan-jangan… malam itu Luis melampiaskan hasratnya pada perempuan itu."
Nyonya Angelina menatapnya tajam.
"Apa maksudmu dengan melampiaskan hasrat’?”
Dengan berat hati, Tuan Alex pun menceritakan semuanya — bahwa malam itu ia sengaja mengumpulkan beberapa perempuan cantik di kota untuk memancing Luis. Ia bahkan memerintahkan seseorang untuk mencampurkan obat perangsang ke dalam minumanya. Namun, entah bagaimana, Luis tiba-tiba menghilang dari pantauannya malam itu.
“Kamu gila, ya?!” bentak Nyonya Angelina, matanya melotot marah. Ia tidak habis pikir dengan cara berpikir suaminya.
“Aku terpaksa melakukannya… demi melanjutkan garis keturunan keluarga kita,” jawab Tuan Alex dengan nada menyesal, menundukkan kepala penuh rasa bersalah.
Sementara itu, Luis yang semula berjalan menuju keluar rumah sakit tiba-tiba menghentikan langkahnya. Entah dorongan apa, ia berbalik arah menuju ruangan di samping laboratorium — ruang kerja dr. Andra, sahabat sekaligus rekan sejawatnya. Sekretaris Zam mengikuti dari belakang tanpa banyak bicara.
Tanpa mengetuk, Luis langsung membuka pintu. Pria berkacamata yang tengah menatap layar hasil pemeriksaan darah sontak terkejut.
“Luis? Tumben sekali kamu datang ke sini,” ucap dr. Andra sambil Menurunkan kacamatanya.
Luis berjalan cepat mendekat, wajahnya tegang.
“Andra. Aku ingin tahu satu hal darimu—apa benar hasil pemeriksaan laboratorium waktu itu menyatakan kalau aku tidak bisa memiliki keturunan?”
Dr. Andra menghela napas panjang, lalu menatap Luis dengan ekspresi serius. Ia meraih map berisi hasil pemeriksaan dan membuka lembaran pertama.
“Luis, hasil tes sperma dan analisa hormon yang aku lakukan enam bulan lalu menunjukkan adanya gangguan pada jumlah dan kualitas sperma, atau dalam istilah medis disebut oligoasthenoteratozoospermia. Itu sebabnya aku katakan kemungkinan besar untuk kamu memiliki anak secara alami sangat kecil.”
Luis mengepalkan tangan di sisi tubuhnya.
“Jadi, maksudmu, aku mandul?”
“Bukan begitu. Kamu tahu sendiri dalam dunia medis, tidak ada yang benar-benar pasti. Ada terapi hormon, bahkan prosedur seperti IVF (bayi tabung) yang masih bisa dicoba. Tapi—” ia menatap Luis tajam.
"Kalau sampai ada wanita yang mengaku hamil anakmu, itu perlu dipastikan lewat tes DNA terlebih dulu.”
Luis terdiam. Rahangnya menegang. Kata-kata dr. Andra terus berputar di kepalanya, bercampur dengan bayangan wajah Rindi — perempuan yang tanpa sengaja ia tabrak di koridor rumah sakit.
“Memangnya ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal itu lagi?” tanya dr. Andra penasaran.
Luis menoleh perlahan, sorot matanya tajam.
“Apa aku harus menjawab mu?” jawabnya dingin, lalu berbalik dan melangkah keluar ruangan, meninggalkan dr. Andra yang masih terpaku dengan wajah penuh kebingungan.
Sementara itu, Rindi kembali ke restoran dengan perasaan campur aduk. Sekuat mungkin ia menyembunyikan kegelisahan hatinya dari rekan-rekan kerja.
Saat memasuki ruang ganti, beberapa pelayan tampak sedang berganti pakaian. Rindi tersenyum ramah dan menyapa mereka seperti biasa, lalu melangkah menuju lemari tempat menyimpan tasnya.
Namun, suasana mendadak berubah ketika salah satu pelayan berbisik dengan nada keras, cukup untuk didengar semua orang.
“Eh, kalian sudah dengar belum? Katanya ada pelayan di sini yang hamil tapi gak tahu siapa ayah bayinya! Kalau pak Anton sampai tahu, pasti dia marah besar. Bisa-bisa nama baik restoran tercoreng!”
Beberapa pelayan lain saling pandang, sebagian berbisik, sebagian lagi menatap ke arah Rindi yang saat itu baru saja menutup pintu lokernya. Wajahnya memucat, dadanya berdegup kencang, dan tangan yang memegang serbet bergetar pelan.
“Nora, apa maksudmu? Jangan seenaknya menyebar fitnah!” ucap Dewi dengan nada tajam.
Nora tersenyum sinis sebelum menjawab.
“Fitnah? Aku bisa buktikan kalau ucapanku ini benar.”
Dengan percaya diri tinggi, Nora mendekati Rindi. Belum sempat ia menarik gagang pintu loker, Rindi dengan cepat menghalanginya.
“Apa yang ingin kamu lakukan, Nora?” suara Rindi bergetar menahan emosi.
“Aku ingin membuktikan pada mereka kalau perkataanku bukan omong kosong belaka. Menyingkirlah!” balas Nora dengan nada tinggi sambil menarik tubuh Rindi.
Nora terus memaksa, mencoba membuka pintu loker, tetapi Rindi berdiri kokoh di depannya, tidak membiarkan Nora menyentuh barang-barangnya.
Keributan pun terjadi. Suasana ruang ganti mendadak gaduh — suara bisikan dan tatapan ingin tahu mulai memenuhi ruangan. Beberapa pelayan menghampiri, mencoba menenangkan keduanya hingga pintu ruangan terbuka dan berdiri seorang pria berjas didepan pintu.
“Ada apa ini? Kenapa ribut seperti pasar?!” bentak Pak Anton dengan suara lantang.
Seketika suasana hening. Semua mata tertuju pada sosok asisten manajer restoran yang kini berdiri di depan pintu, menatap tajam ke arah mereka.
“Pak… ini semua gara-gara Nora,” ucap Dewi berusaha menjelaskan.
“Bukan aku, Pak! Saya hanya ingin membuktikan sesuatu,” sanggah Nora cepat sambil melirik sinis ke arah Rindi.
Pak Anton menyipitkan mata.
“Buktikan? Maksudmu apa Nora?”
Nora menarik napas panjang, lalu menunjuk ke arah Rindi.
“Pak, saya dengar katanya ada salah satu pelayan di restoran ini yang hamil, tapi tidak tahu siapa ayah bayinya. Dan saya yakin orang itu adalah dia!”
Ruang ganti mendadak riuh kembali oleh bisik-bisik dan tatapan tajam para pelayan.
Rindi terdiam.
Pak Anton menatapnya lama, mencoba membaca ekspresi di wajahnya.
"Apa yang Nora katakan itu benar?” tanya Pak Anton dengan nada datar namun tegas.
Rindi masih saja diam. Tenggorokannya terasa kering, lidahnya kelu. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Mana ada maling yang mau ngaku,” ejek Nora sinis.
“Begini saja, kita geledah tasnya biar semua tahu kalau ucapanku ini benar!”
Dengan kasar, Nora menarik tubuh Rindi yang berdiri di depan loker, merebut tasnya, lalu mengobrak-abrik isinya. Lipstik, dompet, dan beberapa kertas jatuh berserakan ke lantai.
Hingga Nora tersenyum saat menemukan apa yang di carinya. Sebuah kertas putih bertandatangan dokter.
.