Agatha Aries Sandy dikejutkan oleh sebuah buku harian milik Larast, penggemar rahasianya yang tragis meninggal di depannya hingga membawanya kembali ke masa lalu sebagai Kapten Klub Judo di masa SMA.
Dengan kenangan yang kembali, Agatha harus menghadapi kembali kesalahan masa lalunya dan mencari kesempatan kedua untuk mengubah takdir yang telah ditentukan.
Akankah dia mampu mengubah jalan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya?
cover by perinfoannn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Blooming
Larast membuka mata, jantungnya berdebar. Bukan karena kayuhan sepeda yang berhenti mendadak, tapi karena pemandangan asing di sekelilingnya. “HEH!” serunya sambil memukul bahu Agatha. “Katanya mau antar ke resto, kok malah ke sini?”
Agatha hanya menyeringai. “Surprise! Udah, turun!”
Larast meloncat dari sepeda, niatnya kabur, tapi Agatha sigap menarik seragamnya dari belakang. Tanpa sengaja, tarikannya mengenai tali bra Larast. "Kyaaaa!!" pekik Larast kaget.
“Salah sendiri pakai tas di depan!” balas Agatha, salah tingkah. “Lagian, kenapa sih selalu panik?”
Larast membalas dengan pukulan bertubi-tubi di bahu Agatha. “A-aduh! Sakit, Larast!”
Pintu rumah terbuka, menampilkan sosok wanita yang tersenyum hangat. “Ada siapa, Agatha?”
Agatha mendorong Larast mendekat. “Ini anak pungut, Bu. Katanya kelaparan.”
Larast menyengir, menyembunyikan rasa gugupnya. “Sa-saya Larast, Tante,”ucapnya sopan.
“Larast? Teman Agatha di sekolah, kan?” Ibu Agatha membuka pintu lebar-lebar.
“A-AGATHA?” Larast bingung.
“Di sekolah aku Aries, Bu,” sahut Agatha sambil menggaruk kepala.
“Oh iya, Ibu lupa. Kenapa bawa anak gadis orang ke sini, Aries?” Ibu Agatha mencubit lengan anaknya.
“A-aduh! Kebiasaan deh!” gerutu Agatha.
“Ibu ada makanan? Dia sudah dua hari nggak makan.” Agatha menunjuk Larast.
“Ka-kamu…” Larast menggantung kalimatnya, merasa tidak enak.
“Udah, ayo masuk. Ibu masak banyak hari ini,” ajak Ibu Agatha.
Di ruang makan, Agatha menarik Larast untuk duduk. “Jangan kabur!” ancamnya.
Larast mendengus dan menginjak sepatu Agatha. “Sakit tahu!”
“Larast, jangan sungkan. Aries sering bawa teman ke sini,” kata Ibu Agatha sambil menyiapkan makanan.
“Duduk!” Agatha mendorong Larast ke kursi.
“Ries, aku mau kerja,” bisik Larast sambil menarik telinga Agatha.
“Iya, aku ingat. Makan dulu, nanti aku antar,” balas Agatha.
Ibu Agatha menyodorkan sepiring nasi dan lauk pada Larast. “Makan yang banyak, ya.”
“I-iya, Tante, terima kasih,” jawab Larast malu-malu.
Agatha duduk di sebelah Larast, memilihkan lauk untuknya. “Makan! Jangan cuma nasi, memang kamu dukun.”
Larast mendengus kesal, kemudian mengambil satu sendok nasi penuh dengan lauk.
Selesai makan, Larast bergegas mencuci piring. “Biar aku saja, Tante,” ujarnya.
"Tidak usah, sayang. Kamu kan tamu," tolak Ibu Agatha lembut.
"Nggak apa-apa, Tante. Aku sudah biasa," balas Larast.
"Ya sudah, kalau begitu. Tante senang ada yang menemani di rumah," kata Ibu Agatha sambil tersenyum.
"Tante maaf ya, jadi merepotkan," ucap Larast.
"Tidak kok. Tante malah senang. Kamu tahu kan, anak Tante cuma satu. Itu aja nyebelin," jawab Ibu Agatha.
"Makasih ya, Tante," balas Larast.
"Iya, besok main lagi ya. Kamu suka apa? Besok Tante masakin," tawar Ibu Agatha.
"Aku nggak tahu besok bisa ke sini atau nggak," jawab Larast, merasa canggung.
"Oh, kamu katanya mau ke restoran. Ada acara ya?" tanya Ibu Agatha.
"Nggak, aku kerja kok, Tante," jawab Larast jujur.
"Kerja?" Ibu Agatha terkejut.
"Iya, jadi tukang cuci piring di sana," imbuh Larast.
Ibu Agatha menggenggam tangan Larast. "Nggak masalah, yang penting pekerjaannya baik. Tante senang lihat kamu, sudah cantik, pekerja keras lagi."
"Dan suka marah-marah," sambung Agatha yang tiba-tiba datang.
“Dan baik,” timpal Ibu Agatha sambil memukul bahu Agatha. “Kamu ini!”
“A-aduh! Sama aja, suka marah-marah. Cocok!” gerutu Agatha.
Agatha memberikan hoodie miliknya pada Larast. “Pakai ini, jangan sampai kedinginan. Kamu itu sudah kurus, kecil, pulang malam cuma pakai seragam sekolah. Nanti terbang ditiup angin.”
“Iya, Larast. Pakai jaket, nanti sakit. Sebentar lagi kan ujian sekolah,” tambah Ibu Agatha.
Larast tersenyum dan memeluk hoodie itu. “Makasih.”
“Ayo cepetan!” ajak Agatha sambil berjalan keluar.
Larast dan Ibu Agatha berpelukan sebelum berpisah. “Besok datang lagi ya,” bisik Ibu Agatha.
Larast hanya mengangguk, meskipun dia tahu tidak bisa berjanji.
Di depan rumah, Agatha memasukkan sepedanya ke garasi. “Kita naik bus aja ya, Rast. Aku capek.”
“Aku pergi sendiri aja,” tolak Larast sambil berbalik.
Agatha mengejar Larast. “Sudah dibilangin jangan lari!”
“Udah kamu di rumah aja. Aku bisa berangkat sendiri. Kamu kenapa sih? Sok perhatian gitu, aneh!” gerutu Larast.
Agatha menggaruk lehernya, bingung dengan perasaannya sendiri. “Kayaknya aku sayang deh sama kamu?” ucapnya spontan.
“Hah?” Larast terkejut, mulutnya terbuka lebar.
“Sayang?” Dengan mata membulat, Larast tampak tercekat mendengar jawaban itu.
“Eh… maksud aku, sayang sebagai… teman,” ralat Agatha cepat, salah tingkah.
“Teman?” Larast masih bingung, tapi sedikit lega.
“Iya! Teman… yang berharga,” tambah Agatha, berusaha meyakinkan. “Kayak… anak kucing. Iya, kamu kayak anak kucing bagiku, Rast.” Agatha tampak bingung dengan ucapannya.
“Ah, gila loe, nyebelin!” Larast mempercepat langkahnya, menyembunyikan senyumnya.
Agatha mengikuti dari belakang, tersenyum melihat wajah cemberut Larast yang sesekali menoleh.
Di halte, keduanya duduk bersebelahan, Meskipun canggung sesekali mencuri pandang, lalu membuang muka.
“Ekhem,” Agatha berdehem memecah keheningan.
Bus datang, mereka masuk dan duduk bersebelahan. Larast di samping jendela, matanya menatap keluar, mencari sesuatu. Padahal, ia hanya menutupi perasaan gugupnya.
Tiba di restoran, Larast turun. “Udah ya, aku kerja dulu,” ucapnya lembut.
“Eit, tunggu!” Agatha menarik tangan Larast.
“Apalagi? Ntar aku dimarahi,” ujar Larast khawatir.
Agatha mengeluarkan karet rambut dari saku kaosnya, lalu mendorong wajah Larast menghadap depan. Dengan lihai, ia menguncir rambut Larast dengan rapi.
Bulu kuduk Larast meremang saat jari Agatha menyentuh kulitnya. Jantungnya berdegup kencang.
“Nah, biar nggak kotor. Udah sana!” Agatha mendorong punggung Larast pelan. Jantungnya sendiri berdebar kencang setelah melakukan hal itu.
“Haistt… dasar!” Larast menoleh dan mengepalkan tangannya, tapi senyum tipis tersungging di bibirnya.
Ia melangkah masuk ke restoran, diamati Agatha sampai pintu tertutup.
“Udah ah, pulang! Capek ngurusin anak orang!” Agatha berjalan kembali ke halte.
Sebuah pesan masuk di ponselnya. Teman-teman dari klub Judo mengajaknya main PS.
“Seru juga! Udah lama nggak main PS!” Tanpa pikir panjang, Agatha membalas “ya”.
Bus datang dan membawanya ke rumah Leo, salah satu temannya.
Tiba disana, tawa canda memenuhi ruangan. Agatha menatap wajah teman-temannya satu persatu. Ada perasaan lega, karena salah satu diantara temannya di masa depan juga telah tiada akibat kecelakaan. Agatha menepuk salah satu pundak sahabatnya, “Kangen Bro, hati-hati kalau naik motor, ya.” Pesan Agatha.
“Motor aja kaga punya gue, Ries!” jawab temannya.
“Ya ntar kalau punya motor, hati-hati. Jangan ikut balapan liar.”
“Ries, ries loe aneh. Nasehatinnya pas gue punya motor jangan sekarang!”
Agatha tertawa lebar mendengar jawaban temannya.
Masa muda yang indah bersama teman-teman kini terulang, dibalut perasaan baru yang aneh. Agatha mulai menyusun rencana, bukan hanya untuk bersenang-senang, tapi juga untuk mengubah masa lalu dan menyelamatkan ibunya.
Bersambung.
Jangan lupa untuk like, vote, subscribe dan komentarnya.
eh itu jmnya nyla lgi sprt waktu dia mau pergi ke masa lalu ya .
ada apa iti?