NovelToon NovelToon
Sampai Cinta Menjawab

Sampai Cinta Menjawab

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Penyesalan Suami / Percintaan Konglomerat / Nikah Kontrak
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.

Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.

Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.

Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29: Pagi yang berbeda

Mentari pagi mulai menyingsing, perlahan naik ke permukaan dan menerangi seluruh alam semesta. Sinar keemasan itu seolah menghadirkan harapan baru bagi siapa pun yang menyambutnya. Namun, di balik semua itu, seorang gadis masih asyik bergelung dalam selimut tebal, menikmati kehangatan kamar yang gelap dengan pendingin ruangan yang terus bekerja tanpa henti—menjadikan ruangan itu sangat nyaman untuk beristirahat.

Bunyi alarm yang terus-menerus berdering tak mampu membuatnya bergeming. Wanita itu tetap bersembunyi di balik selimut, mengabaikan dunia di sekitarnya. Hingga akhirnya, suara ketukan pelan di pintu memaksa dirinya untuk membuka mata. Dengan suara serak dan penampilan yang masih acak-acakan, ia bersuara dari balik selimut.

“Iya... pintunya tidak dikunci,” ujar Nayara sembari perlahan bangun dan mengucek matanya.

Tak berselang lama, pintu kamar dibuka. Seorang wanita paruh baya yang sudah tak asing lagi bagi Nayara muncul dengan segelas susu hangat di tangannya. Yeni—ketua pelayan di rumah itu—melangkah masuk dengan tenang dan penuh kehati-hatian, membawa tugas kecilnya untuk nona muda keluarga Harrison.

“Sudah siang, Nona. Tuan Anthony mengajak Nona untuk sarapan bersama,” ujarnya lembut sembari berjalan menuju tirai tinggi dan membukanya. Ia kemudian membuka pintu balkon, membiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk, menari-nari di dinding kamar yang semula remang.

Nayara spontan memejamkan mata ketika semburat cahaya keemasan itu menabrak retina sensitifnya. Namun, tak ada kemarahan dalam raut wajahnya. Sejak kepergian Maria, Yeni-lah satu-satunya sosok yang paling memperhatikannya. Meskipun hanya seorang pelayan, Yeni telah bekerja di kediaman keluarga Harrison bahkan sejak Nayara belum dilahirkan.

“Terima kasih, Bibi,” ucap Nayara tulus sembari menerima dan meminum susu hangat yang diberikan.

“Mau Bibi siapkan air hangat?” tanya Yeni dengan nada sopan yang membuat Nayara mengangguk pelan.

“Tolong, ya. Terima kasih,” ucapnya seraya meletakkan gelas kosong di sisi tempat tidurnya. Yeni kemudian melangkah menuju kamar mandi, bersiap menyiapkan air hangat seperti yang diminta.

Nayara meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Layar yang menyala menampilkan notifikasi tak terhingga—menandakan bahwa dirinya telah lama tak membuka ponsel. Ia menarik napas pelan, lalu membuka kunci layar dan membuka aplikasi berlogo gagang telepon berwarna hijau.

Begitu aplikasi terbuka, layar menampilkan deretan nomor dengan notifikasi pesan yang menumpuk. Sebagian besar dari mereka adalah nomor tak dikenal, namun ada satu yang langsung menarik perhatiannya—sebuah grup kecil yang hanya berisi dirinya dan dua sahabatnya, Vina serta Razka.

Nayara mengetuk nama grup tersebut. Begitu terbuka, matanya langsung disambut dengan deretan pesan yang seolah-olah menggambarkan dua sahabatnya sedang ‘bergosip’ tentang dirinya sendiri, seakan tengah berbicara di belakang, padahal ia bisa membaca semuanya.

>Sudah aku bilang, ada yang aneh...

>Pasti dia sedang sibuk dengan calon suaminya... yang kaya itu...

Senyuman tipis menghiasi wajah Nayara. Ia menggeleng pelan, geli melihat gaya dua sahabatnya yang dramatis dan lebay seperti biasa. Terlebih saat melihat betapa seringnya namanya disebut dan ditandai di antara obrolan mereka. Rasanya seperti berada di tengah-tengah panggung gosip yang dibuat khusus untuknya.

Namun saat ia masih menikmati bacaan ringan dari sahabatnya itu, sebuah pesan baru tiba-tiba masuk. Bukan dari grup, bukan dari kontak yang dikenalnya—melainkan dari nomor asing. Alis Nayara langsung bertaut. Ia menatap layar ponsel dengan ragu.

"Siapa ini?" pikirnya singkat.

Namun karena merasa tak penting dan mungkin hanya pesan iseng, ia memilih untuk mengabaikannya. Tapi belum sempat ia kembali pada obrolan grup tadi, nomor asing itu justru melakukan panggilan. Nayara mengerutkan kening, kini semakin bingung. Ia diam, membiarkan ponselnya berdering tanpa niat untuk mengangkatnya.

Beberapa saat kemudian, sebuah voice note dikirim oleh nomor tersebut. Rasa penasaran akhirnya mengalahkan rasa ragu. Ia mengetuk pesan suara itu dan memutarnya. Suara yang terdengar di balik rekaman itu membuat jantungnya berdebar sejenak.

Zevian.

Napas Nayara terhela panjang. Untuk sesaat, lamunannya kembali tertuju pada mimpi yang sempat ia alami pagi tadi. Segalanya terasa begitu nyata—termasuk kehadiran pria itu.

Layar ponselnya kembali menyala, menampilkan notifikasi panggilan dari nomor yang sama. Namun kini Nayara tak lagi ragu. Ia tahu siapa yang sedang berusaha menghubunginya. Tanpa pikir panjang, ia menggeser layar dan mengangkat panggilan tersebut.

“Susah sekali,” ujar Zevian dari seberang telepon, terdengar seperti menghela napas lelah karena harus menghubungi Nayara berkali-kali.

“Aku pikir itu nomor penipu,” sahut Nayara santai, sudut bibirnya tanpa sadar tertarik membentuk senyum samar.

“Mana ada penipu yang memanggilmu dengan sopan,” balas Zevian sambil mendengus pelan, nada suaranya terdengar seperti sedang menahan tawa.

“Jangan salah, Tuan. Zaman sekarang banyak penipu berkedok sopan santun. Seperti kata anda, orang baik belum tentu benar-benar baik, dan orang jahat belum tentu jahat,” ucap Nayara sembari memiringkan kepala, menirukan nada menggurui. Ucapan itu sukses membuat Zevian tertawa kecil di seberang sana.

“Hari ini, mari keluar. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan… sekalian mengurus itu,” ujar Zevian dengan nada serius di ujung kalimat.

“Mengurus apa?” tanya Nayara bingung, dahi berkerut pelan.

“2400 jam itu. Kalau kamu lupa, syukurlah,” jawab Zevian enteng, namun cukup untuk membuat Nayara tertegun. Ia benar-benar lupa akan perjanjian yang ia ajukan sendiri sebagai syarat untuk hubungan mereka.

“Tidak mungkin lupa,” bohong Nayara, meskipun nada suaranya terdengar canggung. Ia tidak ingin mengakui bahwa semua itu benar-benar terlewat dari ingatannya.

“Aku akan jemput ke sana. Mau apa?” tanya Zevian, kali ini suaranya terdengar seperti pria yang hendak bertandang ke rumah kekasihnya untuk pertama kali.

“Tidak ada,” jawab Nayara singkat sambil menatap dinding kamarnya. Pandangannya jatuh pada jam dinding besar bergaya Romawi yang tergantung di sana. Tak lama, Yeni keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil di tangannya. Wajahnya tetap ramah dan sopan seperti biasa.

“Nona, semuanya sudah siap. Sebaiknya Anda segera mandi karena Tuan sudah menunggu,” ujarnya lembut.

“Iya. Kalau bisa, suruh Papa makan duluan. Nay mungkin akan lama,” balas Nayara sembari berdiri dari tempat tidurnya. Yeni mengangguk pelan.

“Nanti Bibi sampaikan,” ucap Yeni sembari meraih gelas kosong bekas susu Nayara yang berada di sisi ranjang.

“Belum mandi?” suara Zevian kembali terdengar dari ponsel yang masih berada di tangan Nayara.

“Iya, aku baru bangun,” jawab Nayara jujur. Entah sejak kapan, ia merasa percakapannya dengan Zevian sudah tidak secanggung dulu.

“Mandilah. Aku akan datang agak siang karena harus menemani Mommy dulu. Akan aku kabari jika aku sudah dekat,” ujar Zevian dengan nada santai dan lembut.

“Hem...” gumam Nayara sebagai jawaban, sebelum akhirnya menekan ikon merah dan memutus sambungan telepon.

Ia meletakkan ponsel di atas meja kecil di dekat cermin, lalu melangkah menuju kamar mandi. Saat melewati cermin besar yang menempel di dinding kamarnya, matanya menangkap pantulan dirinya sendiri. Pandangannya tertuju pada kalung yang menggantung di lehernya—kalung pemberian Zevian kemarin.

Tangan Nayara terangkat, menyentuh liontin kecil itu dengan lembut. Matanya melembut, dan sebuah gumaman lirih keluar dari bibirnya, nyaris tak terdengar.

“Aku akan berusaha percaya. Jangan kecewakan aku,” ujar Nayara tanpa sadar, suaranya lirih seolah keluar dari ruang kosong dalam hatinya yang belum sembuh sepenuhnya.

Setelah percakapan itu berakhir, Nayara menghela napas pelan, lalu melangkah ke kamar mandi. Ia memulai ritual paginya yang sederhana tapi penting—membersihkan wajah, menyikat gigi, lalu membasuh tubuhnya di bawah pancuran air hangat yang mengalir tenang. Suara gemericik air berpadu dengan embusan uap yang memenuhi ruangan, menciptakan ketenangan sesaat di tengah pikiran yang masih berkabut.

Sekitar sepuluh menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuh dan rambutnya. Wajahnya tampak lebih segar, rona kemerahan alami muncul di pipinya yang lembut, membuatnya terlihat seperti bunga yang baru mekar setelah hujan semalam. Ia berjalan pelan menuju lemari besar bergaya Eropa klasik yang berdiri megah di sudut kamar.

Tangannya membuka pintu lemari dan mengambil beberapa pakaian yang masih tersisa di sana. Ia memang sengaja tidak membawa semua pakaiannya ke apartemen karena terkadang Anthony—ayahnya—memaksanya untuk pulang ke rumah. Walau dalam kenyataannya, sudah lebih dari tujuh bulan terakhir Nayara terus menghindar dia hanya pulang terakhir kali saat di paksa untuk di jodohkan beberapa hari lalu, namun karena dia kabur semuanya gagal. Ia terlalu kecewa, terlalu marah. Kepergian sang ibu yang tak bisa ia terima membuatnya menumpahkan semua luka itu pada sang ayah, yang ia yakini sebagai penyebab dari retaknya keluarganya.

Ia duduk di depan cermin, lalu mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer. Suara alat itu mengisi keheningan kamar, namun matanya tetap fokus menatap bayangannya sendiri. Setelah rambutnya benar-benar kering, ia mulai memoles wajahnya dengan riasan tipis. Hanya bedak ringan, lip balm berwarna natural, dan maskara tipis untuk menyegarkan penampilannya. Nayara memang tidak menyukai riasan yang terlalu tebal seperti kebanyakan perempuan lainnya. Baginya, kesederhanaan justru menghadirkan kenyamanan.

Rambutnya ia kepang rapi ke samping, lalu menambahkan pita kecil berwarna navy di ujungnya. Gaya khas Nayara—sederhana, manis, dan tetap anggun. Ia memilih atasan berbahan katun putih bersih yang dipadukan dengan rok selutut berwarna abu-abu keperakan. Tampilan yang sederhana, tapi aura elegannya tetap memancar, seolah mengatakan bahwa ia tak perlu berusaha keras untuk terlihat memikat.

Setelah menyemprotkan sedikit parfum beraroma bunga segar ke pergelangan tangannya, ia meraih ponselnya dari meja dan bersiap untuk turun ke lantai bawah.

Langkah kakinya ringan namun ragu saat menuruni tangga. Namun sesampainya di tengah tangga, langkah itu mendadak terhenti. Matanya terbelalak kecil, tidak menyangka melihat sosok yang tak ia harapkan.

Anthony, ayahnya, masih duduk di meja makan. Pria itu terlihat sibuk menatap layar ponselnya, sementara di hadapannya terdapat sepiring makanan yang masih utuh—tidak disentuh sedikit pun.

Nayara terdiam sejenak, tubuhnya menegang. Seolah waktu membeku di antara mereka, menyisakan jeda hening yang panjang dan penuh beban tak terucap.

"Dia tidak makan duluan?" tanya Nayara pelan sembari menatap dari kejauhan. Matanya mengamati sosok Anthony yang masih duduk di ujung meja makan, tenggelam dalam layar ponselnya.

Nayara kemudian melangkah pelan, langkah-langkah kecilnya menyisakan gema halus di lantai marmer yang mengkilap. Saat sampai di dekat meja, pandangan Anthony langsung tertuju padanya. Pria paruh baya itu menatap putrinya tanpa berkata-kata, diam beberapa saat seolah tengah memproses sesuatu dalam pikirannya—mungkin penampilan Nayara, atau mungkin sekadar mengenang masa-masa di mana ia masih bisa merangkulnya tanpa jarak seperti sekarang.

"Makan cepat," ucap Anthony singkat, datar, namun tak terdengar ketus.

Nayara tidak banyak bicara. Ia hanya mengangguk kecil, lalu menarik kursi di sisi yang agak berjauhan dari sang ayah. Meskipun ada jarak fisik, Anthony tidak mempermasalahkannya. Ia hanya kembali menunduk ke arah makanannya, sementara Nayara mulai menyentuh sendok dan garpunya dengan gerakan pelan.

Suasana makan siang itu berlangsung dalam diam. Hening. Tidak ada obrolan, tidak ada tegur sapa, hanya suara alat makan beradu dengan piring yang terdengar sesekali. Keheningan itu seperti tembok tinggi yang belum bisa mereka runtuhkan, padahal keduanya tahu, di balik diam itu tersimpan banyak hal yang tak sempat diungkapkan.

1
Ramapratama
mulut nya 😌
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!