Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah bukan bagian dari Pallazo
“Aku sudah siap menghadapi mereka…” ucap Rose. Tangan lentik merapikan lipstik merah muda di bibirnya.
Cahaya mentari menyelinap dari celah tirai, mengusir sisa gelap malam. Rose sudah rapi__ dengan gaun putih sederhana, rambut diikat rendah. Ia ingin sarapan di ruang makan besar Pallazo seperti biasanya.
Berbekal apa yang ia alami, ia sudah tahu apa yang terjadi pada istri-istri sebelum mereka. Pallazo tidak sekejam itu, semua rumor seram itu omong kosong, pikirnya. Aku bahkan mendapatkan penawaran yang belum pernah akuk dapatkan sebemlunya. Aku harus memberi mereka Pelajaran, hati Rose terus berceloteh.
Namun begitu ia memutar gagang pintu, sosok tinggi sudah berdiri di ambang lorong. Dimitri. Wanita tua yang tegas, dengan tatapannya dingin, seperti batu yang tidak pernah mengenal rasa.
“Nyonya, Anda tidak diizinkan keluar,” suaranya berat, nyaris seperti ancaman.
“Kenapa? Aku hanya mau sarapan.” Sahut Rose, tetap melanjutkan Langkah.
“Anda sudah membuka amplop. Itu artinya… Anda bukan lagi bagian dari Pallazo.” Kata-kata itu menggantung di udara, dingin seperti pisau. Rose terkekeh kecil, tapi tawa itu pahit.
“Sungguh… peraturan bodoh,” cibirnya.
Tak lama, Elano muncul dari ujung lorong, membawa nampan perak. Roti hangat, sup bening, teh Melati__terlihat sempurna, tapi baunya saja sudah terasa hambar di hidung Rose.
“Tuan Hose akan datang. Lebih baik Nyonya menunggu di kamar,” ucapnya, dengan nada yang khas.
Rose menarik napas dalam, “Kamar ini rasanya seperti penjara.” Sahutnya, melangkah ke balkon, menuruni tangga marmer menuju taman.
Angin pagi menyibakkan ujung gaunnya. Dari sini ia bisa melihat dinding tinggi yang memagari bangunan bagian barat__bangunan terlarang. Biasanya di pagi seperti ini, pria itu akan muncul, meski hanya sekilas tatapan, atau siluet dingin, tapi pagi ini… kosong.
Keheningan itu menekan dadanya. Mata bulat menyapa bunga-bunga yang masih basah oleh embun. Semua tentang pria misterius itu terus menggantung di pikirannya. Langkah-langkah tegas memecah udara. Rose segera menoleh, tuan Hose datang. Wajahnya keras, senyum sopan yang biasanya ia pakai kini lenyap.
“Jadi?” suaranya datar. “Apakah sudah anda jawab pertanyaan di amplop semalam, Nyonya Rose?” tanyanya, sedikit membungkuk.
“Aku… ingin memikirkannya,” Rose menjawab sambil mengangkat bahu.
“Memikirkannya?” Hose mengeraskan nada. “Apa Dimitri tidak memberitahumu, apa yang harus kau lakukan?”
Rose menatapnya, tak bergeming.
“Kau bilang biasanya serratus hari?__ Aku hanya ingin… menengok keluargaku.”
Hose memejamkan mata sejenak, menahan amarah. Lalu tanpa sepatah kata lagi, ia berbalik, meninggalkan Rose.
Langkah Hose bergema keras di lorong utama Pallazzo. Nafasnya berat, bukan karena Lelah__tapi karena amarah yang ia tahan sedari meninggalkan taman. Begitu sampai di ruang kerja Lucas, ia mengetuk dua kali tanpa menunggu jawaban, lalu mendorong pintu.
Cekiitt!!
Lucas berdiri membelakangi meja, kedua tangannya bersandar di sandaran kursi, menatap peta tua di dinding. Ia memang akan melakukan perjalanan bisnis, dalam dua hari.
“Tuan,” suara Hose terdengar tegas tapi penuh tekanan, “kita perlu bicara!”
Lucas melirik singkat. “Tentang?”
“Tentang Nyonya Rose.”
Sekilas, tatapan Lucas mengeras. “Apa yang dia lakukan?”
Hose melangkah maju, nada suaranya naik setengah oktaf. “Dia sudah membuka amplop itu. Tapi… bukannya memberi jawaban seperti yang seharusnya, dia justru mengulur waktu. Seratus hari, seperti kebiasaannya__dan alasan yang dia berikan…” Hose menahan tawa sinis, “…hanya ingin menjenguk keluarganya.”
Lucas diam, memutar otak memikirkannya membuat mood naik secara ajaib.
“Tuan,” Hose melanjutkan, “Bukankah itu tidak mungkin? Dia sudah membuka kunci di balik misteri kebaikan Anda. Jika ini terbongkar, Anda__kita dalam bahaya besar.”
Lucas memutar tubuhnya perlahan, menatap Hose. Sorot matanya dingin, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan itu, entah kemarahan, entah keraguan.
Hose melangkah lebih dekat, suaranya mulai Kembali merendah namun semakin mendesak. “Saya menganggap Rose telah mempermainkan Pallazo. Dia menguji batas, Tuan. Jika kita tidak bertindak sekarang, rahasia itu bisa keluar sebelum waktunya. Dan ketika itu terjadi…” Hose mencondongkan tubuhnya, “…Anda tahu siapa yang akan menjadi target pertama? Warga Motessa tidak akan terima hal ini.”
Lucas tidak segera menjawab. Tangannya menggenggam sandaran kursi begitu erat hingga buku jarinya memutih. Sekilas, ia membayangkan wajah Rose di taman tadi pagi__berbicara pada seekor kupu-kupu, menatap atap tempat biasanya ia berdiri. Ada rasa bersalah yang menggores dadanya… tapi ia menekannya dalam-dalam.
“Keluar, Hose,” ucap Lucas pelan namun tegas. “Aku yang akan memutuskan.”
Hose menahan diri untuk tidak membantah, hanya menunduk, lalu mundur perlahan. Tapi sebelum pintu tertutup, ia sempat menatap Lucas sekali lagi__tatapan yang penuh peringatan.
Begitu sendirian, Lucas berjalan ke jendela, menatap balkon kamar Rose. Gadis itu berjalan menaiki tangga marmer, wajahnya murung, seolah menginginkan sesuatu dan belum mendapatkannya.
Hose masih berdiri didepan pintu kamar bos besar nya. Otaknya di penuhi kabut tebal, karena ulah istri ke-101. Hatinya masih tidak terima, Wanita yang di beli itu terkesan mempermainkan peraturan Pallazo. Baru saja ia akan melanjutkan Langkah, seuara berat itu Kembali memanggilnya.
“Hose. Kembali!”
Nada itu dingin tapi memaksa. Hose berbalik, langkahnya cepat namun penuh tanya. Ia jarang, sangat jarang__melihat Lucas mengambil keputusan yang berlawanan dengan logika Pallazzo.
Pintu kamar kerja itu kembali menutup di belakangnya, meninggalkan mereka berdua. Lucas berdiri di dekat meja, memandangi secarik kertas yang ia remas di tangannya.
“Aku ingin kau mengabulkan permintaan Rose,” ucap Lucas tiba-tiba, suaranya tenang tapi membelah udara seperti pisau. “Biarkan dia pergi mengunjungi keluarganya.”
DEG!!
Hose mematung di tempat, tatapannya tajam, napasnya memburu. “Tuan… Anda yakin?” suaranya merendah, tapi ketegangannya jelas. “Bagaimana jika dia membongkar semua yang terjadi di sini? Satu kata saja keluar dari mulutnya, Tuan, dan seluruh Pallazzo akan… ”
Lucas mengangkat tangan, memotong ucapan itu. “Itu tidak akan terjadi.”
“Tidak akan terjadi?” Hose mengulang dengan nada nyaris tak percaya.
“Dia sudah membuka amplop itu. Dia tahu lebih dari yang seharusnya. Kita tak pernah memberi orang kesempatan kedua, apalagi mengirimnya keluar dengan alasan bebas.”
Lucas menatap Hose dengan sorot mata yang tak bisa dibaca__ada sesuatu di sana, campuran perhitungan dingin dan emosi samar yang enggan diakui.
“Aku bilang, itu tidak akan terjadi,” ucap Lucas pelan namun menusuk. Lalu, ia mencondongkan tubuhnya sedikit. “Kau akan pasang alat perekam di barang-barangnya. Kecil, tak terlihat. Aku ingin mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya di luar sana.”
DEG!!
Jantung Hose Kembali seolah di remas. Keningnya berkerut, kemarahannya nyaris meledak. Ini gila, pikirnya. Bukan hanya karena perintah itu berbahaya, tapi karena ia melihat keraguan dalam tatapan Lucas__sesuatu yang ia benci, dan tidak pernah terjadi sebelumnya.
“Tuan… ini bukan cara Pallazzo bekerja,” katanya dengan suara berat.
Lucas membalas tatapan itu, tenang namun dingin. “Ini bukan tentang Pallazzo, Hose. Ini tentang aku. Lakukan saja!”
Hose Kembali mematung, suasana hening sejenak, hanya suara detak jam tua yang terdengar di ruangan itu. Hose akhirnya mengangguk, meski rahangnya mengeras seperti batu. Ia tahu, mulai dari saat ini, permainan sudah berubah.
**
Di kamar Rose.
Setelah mendapat ijin, Rose mulai Bersiap.
Dimitri menatap pantulan Rose di cermin besar kamar__gaun satin lembut sudah membungkus tubuhnya dengan sempurna. Namun Rose masih belum puas. Tangannya menunjuk ke meja rias.
“Tambahkan topi itu. Yang ada bunga besarnya. Dan jangan lupa bros berlian di pinggirnya.”
Dimitri memandang topi besar dengan warna mencolok itu, lalu menggeleng pelan. “Itu terlalu berlebihan nyonya. Kau akan jadi pusat perhatian.”
Rose menoleh cepat, matanya berkilat penuh tekad. “Aku tidak ingin terlihat menderita di mata keluargaku. Mereka harus tahu aku bahagia. Apa kau mau mereka berpikir aku hidup sengsara di sini, padahal kau merawatku dengan sangat baik?” ketusnya.
Dimitri menghela napas panjang, mencoba menahan diri. “Nyonya Rose, ini bukan tentang bagaimana mereka melihatmu… ni tentang keselamatanmu.”
“Buatkan saja seperti yang aku minta,” titah Rose, nadanya tegas, hampir seperti perintah bangsawan pada pelayan.
Sejenak, hanya suara napas Dimitri yang terdengar. Ia akhirnya meraih topi besar itu dan menempelkannya di kepala Rose, membetulkan posisinya hingga bunga besar itu terletak miring elegan. Jemarinya bergerak cekatan, tapi wajahnya kaku, menahan kekesalan.
Di ruangan lain, puluhan meter jauhnya, Lucas duduk santai di kursi kulit hitamnya. Sebuah senyum tipis terlukis di wajahnya ketika suara percakapan tadi mengalun jernih dari alat perekam mini yang tersembunyi di meja rias Rose.
“Hm…” Lucas tertawa pelan, hampir seperti gumaman. “Jadi itu caramu bersenang-senang, Rose? Menarik… sangat menarik.”
Ia memutar ulang potongan suara itu sekali lagi, lalu menyandarkan tubuh, pikirannya seolah melayang. Tak lama bahkan nafas Rose terdengar jelas, sepertinya Dimitri memasangkan alat itu di bawah dagu? Atau mungkin didad4nya.
*
Bersambung!
Yuk kasih komentar dan like nya, biar aku tahu kalo Novel ini sampai di kamu... :)
Dukungan kamu sangat berarti loh buat aku.