PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Mereka berdua berjalan mendekati Arika yang masih di atas kudanya.
"Apa kau berani pulang sendiri?"
tanya Ranu kepada Arika yang disambut gelengan kepala gadis itu.
Ranu memijit keningnya sambil berpikir," Baiklah, kau pulang dulu bersama Mahesa. Aku masih ada keperluan penting di tempat ini. Nanti setelah urusanku di sini selesai, aku akan menyusul Mahesa ke rumahmu."
Wajah Mahesa langsung berseri-seri. Setidaknya dia masih diberi kesempatan oleh Ranu untuk berduaan dengan Arika.
Meskipun kecewa karena Ranu tidak ikut ke rumahnya, tapi Arika tidak menunjukkannya kepada pemuda itu. Dia lalu melompat turun dari kudanya dan mengambil sebuah ranting lalu berjongkok di samping Ranu
Sambil membuat gambar di tanah dengan ranting yang dipegangnya, Arika memberikan arahan kepada Ranu jalan menuju rumahnya. Ranu sesekali bertanya jika ada yang tidak dipahaminya.
"Baiklah, aku sudah paham. Kalian berangkatlah dulu. Sebisa mungkin hindari pertarungan. Luka dalammu belum pulih benar," Ranu memandang Mahesa yang berada di depannya.
Mahesa mengangguk. Dia berdiri dan berjalan menuju kudanya, Ayo, Arika. Kita berangkat sekarang!"
"Ingat, Hesa. Senjatamu sudah tidak berfungsi lagi sekarang. Jadi kalau kau mau aneh-aneh, itu tidak akan berguna," bisik Ranu pelan kemudian tertawa lepas.
Mahesa mendengus kesal, dia segera melompat ke atas kudanya sebelum membalas ucapan Ranu. "Aku akan meminta obatnya kepada ayahnya Atika agar cula badakku ini bisa berfungsi lagi."
"Hahaha ... itu kalau kau tidak malu memintanya," balas Ranu sambil menepuk bokong kuda Mahesa.
Sontak Kuda itupun melaju cepat karena terkejut.
"Kadal gunung...!" teriak Mahesa.
Arika tersenyum lebar melihat begitu dekatnya kedua pemuda itu. Dia segera memacu kudanya dengan cepat menyusul laju kuda Mahesa.
Setelah bayangan keduanya menghilang ditelan hutan belantara, Ranu mengambil napas panjang sebelum berjalan menuju gerbang mewah yang masih berdiri di tempatnya.
Ranu memantapkan tekadnya untuk memasuki gerbang tersebut. Tujuannya selain ingin melihat langsung apa yang ada di baliknya, dia juga ingin mencari petunjuk di mana pusaka ketiga yang masih misterius posisinya.
Ranu berhenti tepat di depan pintu gerbang yang sangat besar itu. Dia kembali mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan sebanyak tiga kali sebelum memasukinya.
Setelah melewati pintu gerbang itu, Mata Ranu membelalak lebar karena tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Ranu membalikkan badannya untuk kembali ke alam manusia. Tapi apa yang dilihatnya membuatnya lemas seketika. Pintu gerbang tempatnya masuk tadi sudah tidak ada alias menghilang.
Pemuda itu lemas dengan lutut bergetar. Di sekelilingnya hanya terlihat kabut awan yang berterbangan. Sedangkan dia sendiri menapak di sebuah daratan yang juga seperti mengambang di angkasa.
"Apa seperti ini alam para dewa? Cuma hamparan tanah yang mengambang dan tidak ada indah-indahnya sama sekali," keluh Ranu. Dia bingung harus berbuat apa. Di kejauhan, dilihatnya sebuah daratan yang berdiri sebuah bangunan besar di atasnya, juga sedang mengambang di angkasa.
"Bagaimana caranya aku ke sana?" tanyanya dalam hati.
Ranu mengucek matanya berkali-kali. Dia berharap, setelah ini akan terbentang sebuah daratan yang luas ataupun sebuah jembatan yang menghubungkan tempatnya berdiri, dengan jembatan yang ada di kejauhan tersebut.
Namun setelah matanya terbuka lebar, harapannya itu musnah sudah. Tidak terlihat apapun di depannya, selain awan yang menggantung dan juga sebuah daratan yang jauh di sana.
Ranu duduk berselonjor kaki dan menggaruk kepalanya. Pandangan matanya tertuju kepada bangunan besar dan mewah, yang berdiri di atas sebuah daratan yang sangat jauh darinya. Andai dia bisa terbang, mungkin dia tidak akan kebingungan seperti ini, pikirnya.
Cukup lama dalam kebingungannya, Ranu melihat ada sekitar 10 manusia bersayap yang terbang di atasnya. Dia kembali mengucek matanya, karena mengira itu hanya halusinasi semata.
"Ternyata benar itu manusia bersayap," gumamnya dalam hati. Kini dia percaya bahwa manusia yang dilihatnya beberapa hari kemarin sebelum menuju perguruan Jiwa Darah adalah benar adanya. Dan bukan halusinasinya semata.
Salah satu manusia bersayap yang melihat Ranu melambaikan tangan, segera memisahkan diri dari rombongannya.
Dengan anggun bagai burung elang yang menukik hendak menangkap mangsa, manusia bersayap itu meluncur deras ke arah Ranu, dan mendarat dengan ringan di depan pemuda itu. Setelah mendarat, sayap yang berada di punggungnya seolah masuk ke dalam tubuhnya.
Ranu dibuat terkesima dengan apa yang dilihatnya. Di jadi kepincut ingin punya sayap seperti lelaki tampan yang ada di depannya.
"Kau siapa anak muda? Dan kenapa kau ada di sini?
"Mohon maaf, Tuan. Aku sedang berada di mana saat ini"? tanya Ranu balik
"Kau ini ... ditanya malah balik bertanya!" intonasi nada lelaki tampan bersayap itu sedikit naik.
"Namaku Ranu, Tuan. Aku tadi melihat sebuah gerbang yang besar dan memasukinya. Tahu-tahu aku sudah berada di tempat ini."
"Jadi kau lewat pintu gerbang?"
Ranu mengangguk, "Aku sekarang berada di mana, Tuan?"
"Kau berada di alam para Dewa, Anak Muda," jawab lelaki bersayap itu.
"Ternyata jauh berbeda dengan yang aku bayangkan," ucap Ranu lirih.
"Apa maksudmu, Anak Muda?"
"Aku kira kalau alam para Dewa itu begitu indah, ternyata seperti ini saja, jelek sekali."
"Hahaha ... kau salah kira anak muda, ini hanya pinggiran saja. Sama seperti di bumi yang penuh dengan hutan belantara kalau di pinggiran. Ayo ikuti aku!"
Lelaki itu mengeluarkan sayap dari punggungnya, dan melesat terbang meninggalkan Ranu yang masih terbengong melihat keanehan di depannya.
Sesaat kemudian lelaki bersayap itu kembali dan sedikit membentak Ranu, "Kenapa kau tidak mengikutiku!?"
"Bagaimana aku mengikutimu? Aku kan tidak bisa terbang."
"Ah, iya ...," Lelaki itu tersenyum malu.
Ranu pun ikut tersenyum seraya membatin, "Di alam para Dewa ternyata ada yang bodoh juga."
"Naiklah ke punggungku dan berpegangan yang erat. Kalau kau jatuh aku tidak mau menolongmu!"
Dengan sigap Ranu meloncat dan melingkarkan tangannya ke leher lelaki bersayap tersebut.
"Bersiaplah!"
Seusai berkata, lelaki itu melesat ke atas dan terbang dengan anggun, tanpa takut untuk terjatuh ke bawah. Ranu tidak berani membuka matanya. Dia merasa ngeri melihat ke bawah yang tidak ada daratan apapun.
Tidak seberapa lama, lelaki itu mendarat di depan sebuah bangunan yang sangat besar dan mewah.
Ranu yang masih tetap berpegangan dengan erat dibuat kaget karena mendapat bentakan dari lelaki bersayap itu.
"Cepat turun! Kita sudah sampai!"Ranu membuka matanya dan segera melompat turun ketika tahu sudah berada di daratan.
Di depannya, sudah berdiri sebuah bangunan megah yang bahkan lebih megah dari pada yang ada di kerajaan Raja Condrokolo atau kerajaan milik ibu angkatnya, Dewi Anjani.
"Ikuti aku!"
Lelaki itu berjalan memasuki bangunan tersebut diikuti Ranu di belakangnya.
Di dalam bangunan tersebut, Ranu tidak henti terkesima melihat keindahan yang terlihat di matanya. Warna keemasan terlihat begitu mencolok seolah bangunan itu terbuat dari emas murni.
Setelah sampai di depan sebuah ruangan, lelaki itu berhenti dan berbalik memandang Ranu.
"Tunggulah di sini sebentar! Aku akan masuk dulu ke dalam."Ranu mengangguk pelan.