Menjadi istri kedua hanya untuk melahirkan seorang penerus tidak pernah ada dalam daftar hidup Sheana, tapi karena utang budi orang tuanya, ia terpaksa menerima kontrak pernikahan itu.
Hidup di balik layar, dengan kebebasan yang terbatas. Hingga sosok baru hadir dalam ruang sunyinya. Menciptakan skandal demi menuai kepuasan diri.
Bagaimana kehidupan Sheana berjalan setelah ini? Akankah ia bahagia dengan kubangan terlarang yang ia ciptakan? Atau justru semakin merana, karena seperti apa kata pepatah, sebaik apapun menyimpan bangkai, maka akan tercium juga.
"Tidak ada keraguan yang membuatku ingin terus jatuh padamu, sebab jiwa dan ragaku terpenjara di tempat ini. Jika bukan kamu, lantas siapa yang bisa mengisi sunyi dan senyapnya duniaku? Di sisimu, bersama hangat dan harumnya aroma tubuh, kita jatuh bersama dalam jurang yang tak tahu seberapa jauh kedalamannya." —Sheana Ludwiq
Jangan lupa follow akun ngothor yak ...
Ig @nitamelia05
FB @Nita Amelia
Tiktok @Ratu Anu👑
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ntaamelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Perdebatan Sheana dan Aretha
"Nyonya, kita mau pergi ke mana?" tanya Luan sambil melirik Sheana dari balik spion.
Saat itu Sheana sedang berusaha menghubungi Aretha dan Darius untuk menanyakan alamat panti jompo, supaya dia tidak perlu datang ke rumah. Namun, panggilannya tak ada yang terjawab. Sheana pun berdecak keras, kesal sekali dengan kedua orang itu.
"Ada apa dengan mereka? Bukankah aku melakukan ini semua juga karena mengikuti kemauan mereka, tapi kenapa malah aku dan ibu diperlakukan semena-mena?!" cerocos Sheana tanpa mendengarkan pertanyaan Luan.
"Andai aku tahu begini, lebih baik aku tidak perlu berkorban! Karena semuanya sama saja!" cetusnya lagi menguapkan kekesalan. Dia memang senang jika ibunya mendapat perawatan, tapi bukan berarti dia tidak diberitahu informasi tersebut. Kalau ada apa-apa, dan dia tidak tahu? Siapa yang menyesal?
"Hah ... Kakak dan Ayah benar-benar menguji kesabaranku!"
Sheana membuang napas kasar, lalu mengangkat kepalanya. Tak sengaja tatapannya bertemu dengan netra milik Luan. Sehingga dia tersadar, jika sedari tadi pemuda itu mendengar umpatannya.
"Maaf ...," kata Sheana dengan matanya yang terlihat sendu.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Anda pasti sedang kesal ya? Mau ke mana kita?" balas Luan berusaha biasa saja, supaya Sheana tidak merasa sungkan.
"Ke rumahku saja. Karena aku belum tahu alamat panti jompo ibu," jawab Sheana, kemudian menyebutkan alamat rumahnya. Semenjak menikah, baru kali ini lagi dia akan menginjakkan kaki di rumah itu.
Dan Luan hanya mengikuti apa kata majikannya. Setelah mendengar apa kata Batari, Luan seperti memiliki ide lain untuk sedikit menggoyahkan keluarga Tares, dan semua itu melalui Sheana.
*
*
*
Sesampainya di rumah Sheana, Luan turun terlebih dahulu dan membukakan pintu untuk wanita itu. Wajah Sheana terlihat tak ramah, bahkan dia menyelonong masuk, tanpa memedulikan tata krama.
"Di mana ibu?" tanya Sheana begitu sampai di meja makan, terlihat Aretha, suami serta anaknya sedang sarapan. Karena toko mereka masih dalam proses, secara otomatis mereka hanya mengandalkan penghasilan dari bisnis online yang sudah berjalan.
"Kamu ini tidak punya sopan santun ya? Datang-datang bukannya ketuk pintu dulu, malah langsung nyolot begitu!" cetus Aretha dengan mata yang melotot tak terima.
"Aku tanya di mana ibu?" Sheana sama sekali tak mengindahkan ucapan kakaknya. Karena yang dia butuhkan hanya informasi tentang Fadya.
Aretha mendengus kasar, kemudian bangkit dari duduknya. Dia menarik lengan Sheana untuk menjauh, karena dia tidak mau perdebatan ini disaksikan oleh anaknya yang baru berumur tiga tahun, Danni namanya.
"Lepas, Kak! Aku datang bukan untuk ini, aku hanya ingin tahu di mana ibu dirawat. Itu sudah cukup," cetus Sheana sambil menepis tangan Aretha dengan kasar. Sontak langkah mereka pun berhenti, Aretha kembali menatap adiknya dengan nyalang, karena sikap kurang ajar Sheana benar-benar membuatnya meradang.
"Peduli apa kamu? Bahkan semenjak kamu menikah, kamu tidak datang lagi untuk menemui ibu, tapi sekarang kenapa kamu sok-sokan sekali ingin tahu ibu di mana?" balas Aretha, berpikir Sheana tidak perlu ikut campur dengan pengobatan Fadya. Toh yang mengurus juga dia dan sang ayah. Sementara Sheana telah hidup bergelimang harta, pasti menyenangkan kan?
Sheana menggeleng tak habis pikir. Padahal semua yang dia lakukan demi keluarga, tapi kenapa sekarang Aretha memandangnya sebelah mata? Seakan-akan dia yang selalu salah.
"Picik sekali kamu, Kak. Aku tidak datang juga karena apa? Karena aku mengikuti perintah suamiku—sosok yang katamu menjamin kehidupanku akan bahagia! Tapi nyatanya? Kamu lihat kan? Belum apa-apa aku sudah terkurung. Bahkan untuk sekedar bertemu ibu, aku harus membantahnya. Kamu pikir ini menyenangkan?" cerocos Sheana, menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, supaya dia tidak disudutkan.
Sementara Aretha bergeming, dia menelan kembali kalimatnya. Karena kebingungan harus menjawab seperti apa. Ya, sejatinya dia memang tidak tahu kan bagaimana kehidupan sang adik yang telah masuk ke keluarga Tares. Apakah benar-benar bahagia atau tidak.
"Sekali lagi aku tanya di mana ibu dirawat? Aku tidak peduli alasan kalian menaruh ibu di panti jompo, padahal suamiku sudah memberi pilihan yang sangat baik. Aku hanya ingin bertemu beliau!" Lanjut Sheana dengan intonasi suara yang lebih pelan.
Tangan Aretha yang semula terkepal langsung melemah seketika. Dia menatap Sheana yang sedari tadi menggebu-gebu. "Panti Jompo Kasih Mulia, cari saja suster Anna." Jawabnya kemudian membuang muka.
Sheana langsung mengangguk setelah mendapat informasi tersebut. Kemudian tanpa berterima kasih, dia melenggang begitu saja meninggalkan sang kakak. Namun, sebelum kakinya melewati pintu, Aretha berteriak dari belakang sana.
"Ayah sudah kembali bekerja, aku dan Dirga juga akan memulai bisnis. Jadi kami merasa ibu akan lebih terawat jika dirawat di sana," ujar Aretha memberikan alasan yang sebenarnya Sheana tak ingin dengar.
Untuk itu Sheana hanya menghentikan langkah, kemudian melanjutkannya lagi tanpa berkata apa-apa.
"Antar aku ke panti jompo Kasih Mulia!" titah Sheana pada Luan yang sedari tadi menunggu di teras. Pemuda itu langsung mengangguk, dan kembali membukakan pintu untuk majikannya.
Luan membawa kendaraan roda empat itu sesuai perintah. Sepanjang jalan otak Luan terasa cukup berisik, mencerna perdebatan antara Sheana dan Aretha yang dia dengar dengan jelas.
'Pantas saja dia selalu datar, ternyata pernikahan ini benar-benar keterpaksaan.'
*
*
*
Saat jam makan siang tiba, Luna dengan sengaja datang ke kantor suaminya. Dia mengajak Charlie untuk makan di restoran sambil mengobrol sesuatu yang menguasai pikiran Luna beberapa hari ini.
"Ada apa dengan wajahmu? Kulihat dari tadi masam," ujar Charlie mengomentari mimik wajah istrinya.
Luna berhenti mengacak-acak makanan dan meletakan sendok serta garpunya, kemudian menatap Charlie dengan lekat. "Aku dengar Kak Feli dan Kak Ruben sedang program bayi tabung. Apakah itu benar?" Tanyanya, karena telah mendengar kabar itu dari sang ibu mertua.
"Benar, memangnya kenapa? Baguslah, mereka kan sudah menikah cukup lama, sudah seharusnya berusaha punya anak," jawab Charlie santai. Namun, tidak dengan Luna yang terlihat gelisah.
"Itu artinya anak kita juga perlu bersaing seperti kamu dengan Kak Ruben?" cetus Luna yang membuat Charlie ikut menghentikan aktivitasnya. Dia menatap sang istri dengan intens, ingin mendengar lebih jauh apa yang ada di otak wanita itu.
"Kamu sudah mengalah karena kamu bukan putra sulung keluarga Tares. Makanya sekarang kamu hanya jadi kepala divisi di perusahaan, sementara Kak Ruben sudah jadi Presdir, bahkan mungkin akan lebih tinggi lagi jabatannya. Jika mereka punya anak, apalagi laki-laki. Bukankah anak kita juga harus mengalah lagi? Itu yang kamu mau, Char?" jelas Luna yang sudah berpikir jauh ke depan. Karena tentu saja dia iri dengan semua yang didapatkan Ruben, sementara suaminya selalu terbelakang.
Charlie terdiam untuk mencerna perkataan istrinya. Dan tak ada satu pun yang dia elak, karena apa yang dikatakan Luna adalah fakta. Dia dan Luna memang sering dibanggakan oleh Sandra karena sudah punya keturunan lebih dulu, tapi sejatinya dia selalu kalah oleh sang kakak.
Charlie meraih tangan Luna untuk digenggam. Dia berusaha untuk menenangkan pikiran wanita itu, meski otak dia sendiri jadi melalang buana.
"Tenanglah, Sayang. Aku pastikan putra kita mendapatkannya secara adil. Karena Mama ada di pihak kita," ucap Charlie meyakinkan kegelisahan yang menyelimuti hati Luna. "Andai tidak, aku akan memperjuangkannya, meski harus melawan Kak Ruben dan Papa."
Wanita itu akhirnya mengangguk, meski belum seratus persen percaya tapi dia tidak mungkin memprotes terus-menerus.
*
*
*
*
jadi ketagihan sma yg baru kan .... wah ternyata