NovelToon NovelToon
Brondong Untuk Kakak Cantik

Brondong Untuk Kakak Cantik

Status: tamat
Genre:Berondong / Anak Genius / Anak Kembar / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Tamat
Popularitas:26.1k
Nilai: 5
Nama Author: inda

Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.

Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.

Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 26

Malam itu, setelah suasana rumah kembali sunyi, Arka tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di ranjang, matanya menatap langit-langit kamar. Pikirannya terus terarah pada Juan, pada tatapan penuh licik pria itu, dan bagaimana Celin terlihat begitu mudah terseret ke orbitnya.

Arka bangkit dari tempat tidur, mengambil laptopnya, lalu duduk di meja kerja kecil di pojok kamar. Jemarinya mulai mengetik, membuka kembali database proyek-proyek internasional yang pernah ia telusuri bersama Aksa.

Tak lama, pintu kamarnya diketuk.

“Arka, lo belum tidur juga?” suara Aksa terdengar pelan.

Arka memutar kursi. “Masuk. Gue lagi mikirin Juan.”

Aksa masuk, masih mengenakan kaus hitam sederhana. Ia membawa setumpuk kertas hasil cetakan. “Gue juga. Lihat nih.”

Arka menerima kertas-kertas itu. Matanya menyipit ketika melihat laporan finansial dari salah satu proyek di Eropa Timur. Ada kejanggalan besar jumlah dana yang cair tidak sesuai dengan laporan hasil pembangunan. Bahkan beberapa tanda tangan terlihat dipalsukan.

“Ini… penipuan.” gumam Arka.

Aksa mengangguk. “Dan lebih parahnya, nama Juan nggak ada di dokumen resmi, padahal dia jelas terlibat di awal. Gue dapet ini dari forum bisnis internasional yang masih nyimpen arsip lama. Kalau ini sampai kita buka ke Papa, Juan nggak bisa ngelak lagi.”

Arka menatap Aksa dengan serius. “Tapi Papa udah keburu percaya sama dia. Kita butuh bukti tambahan. Bukan cuma kertas.”

“Rekaman,” jawab Aksa cepat. “Gue curiga Juan masih simpan catatan pribadi. Orang kayak dia nggak mungkin kerja tanpa back-up. Kita harus nemuin itu.”

Arka menatap jam dinding. Pukul sebelas malam. Rumah sudah sunyi. “Kalau gitu, kita butuh bantuan orang yang bisa gerak cepat.”

Keduanya saling pandang, dan hanya satu nama muncul di kepala mereka.

“Cakra.”

---

Cakra awalnya heran ketika Arka dan Aksa mengetuk pintu kamarnya malam-malam. Ia baru saja ingin tidur, tapi ekspresi serius dua sahabat nya ini membuatnya langsung bangun.

“Ada apa?” tanya Cakra

Arka duduk di tepi ranjang. “Kita nemuin bukti soal Juan. Tapi belum cukup. Kita butuh rekaman atau file yang nunjukin keterlibatan langsung dia. Dan lo… orang yang paling bisa gerak tanpa ketahuan.”

Cakra mengernyit. “Maksud lo, nyusup ke kamarnya Juan?”

Aksa mengangguk pelan. “Dia pasti punya sesuatu. Laptop, flashdisk, atau dokumen pribadi. Lo berani?”

Cakra terdiam sejenak. Bayangan Celin melintas di kepalanya—sorot matanya yang ragu, ketakutan yang disembunyikan di balik ketegasan. Ia mengepalkan tangan.

“Gue berani. Demi Kak Celin.” jawab Cakra akhirnya

Arka dan Aksa saling pandang, lalu sama-sama mengangguk. “Baik. Malam ini juga.”

---

Rumah keluarga Bagaskara memang besar, dengan banyak koridor dan kamar tamu. Juan menempati salah satu kamar di sayap timur lantai dua. Cakra berjalan pelan, nyaris tanpa suara, seperti bayangan yang menyusuri dinding.

Lampu koridor sudah padam, hanya tersisa cahaya samar dari lampu dinding. Jantungnya berdegup kencang, tapi langkahnya mantap. Ia sudah sering menemani Arka dan Aksa dalam urusan rahasia keluarga, tapi kali ini berbeda targetnya orang berbahaya yang bisa memutarbalikkan keadaan kapan saja.

Sampai di depan kamar Juan, ia berhenti, menempelkan telinga ke pintu. Sunyi. Ia memutar perlahan gagang pintu terkunci. Tapi Cakra sudah menyiapkan kawat tipis dari saku celana. Butuh waktu hanya satu menit hingga kunci berklik pelan.

Ia masuk.

Kamar itu rapi, terlalu rapi untuk ukuran orang yang katanya sibuk. Hanya ada koper di sudut, meja kerja dengan laptop tertutup, dan lemari kecil.

Cakra menutup pintu tanpa suara. Ia langsung menuju meja kerja. Laptop terkunci dengan password. Ia tidak mau ambil risiko membukanya di tempat. Ia mencari benda lain, hingga matanya menangkap sebuah flashdisk kecil yang terselip di balik buku.

“Ini dia…” bisiknya.

Namun sebelum ia sempat pergi, terdengar suara langkah mendekat. Cakra membeku. Jantungnya seakan melompat ke tenggorokan.

Pintu kamar mendadak terbuka.

Juan berdiri di ambang, kemeja putihnya kusut, sebatang rokok terselip di tangannya. Matanya menyipit melihat sosok Cakra di dalam kamarnya.

“Cakra?” suaranya datar, tapi penuh kecurigaan. “Ngapain kamu di sini?”

Cakra menelan ludah. “Gue… om bagas nyuruh gue cari laporan tambahan. Katanya mungkin ada di meja lo.”

Juan menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Begitu, ya?”

Suasana menegang. Tapi Cakra, dengan wajah datar, melangkah keluar melewatinya. “Udah gue cek, nggak ada. Maaf ganggu.”

Ia pergi tanpa menoleh. Tangannya mengepal erat di saku, menggenggam flashdisk yang berhasil ia amankan.

Juan memandang punggungnya menjauh, senyum tipis terulas di bibirnya. “Bocah pintar. Tapi terlalu berani.”

---

Di kamar Arka, Cakra meletakkan flashdisk itu di meja. Nafasnya masih memburu.

“Dia hampir nangkep gue,” ucapnya.

Arka segera menyalakan laptop, menyambungkan flashdisk. File demi file terbuka. Ada laporan keuangan, kontrak ilegal, hingga rekaman suara Juan berbicara dengan seorang mitra asing.

“Ini bukti!” seru Aksa. “Dengar ini.”

Mereka memutar salah satu rekaman:

“Dana sudah cair. Jangan catat nama saya. Kalau ada masalah, saya akan pindah ke Asia. Ada keluarga bisnis besar yang bisa saya manfaatkan di sana.”

Suara Juan jelas, tak terbantahkan.

Arka tersenyum dingin. “Besok pagi, kita kasih ini ke Papa.”

---

Keesokan harinya, suasana meja makan berbeda. Bagaskara duduk dengan koran, Juan di sampingnya dengan sikap santai. Celin datang, berusaha terlihat tenang, sementara Arka, Aksa, dan Cakra saling bertukar pandang.

“Papa,” ucap Arka akhirnya. “Ada hal penting yang harus Papa lihat.”

Bagaskara menurunkan koran. “Apa?”

Aksa meletakkan laptop di meja, lalu menyalakan salah satu rekaman. Suara Juan terdengar jelas di seluruh ruangan.

“…Jangan catat nama saya. Kalau ada masalah, saya akan pindah ke Asia. Ada keluarga bisnis besar yang bisa saya manfaatkan di sana.”

Suasana seketika membeku. Bagaskara membelalakkan mata, menatap Juan dengan wajah tak percaya. “Apa… ini?”

Juan, masih berusaha tenang, tertawa kecil. “Itu manipulasi suara. Fitnah.”

Namun Arka cepat menyela. “Bukan, Pa. Ada juga dokumen keuangan yang menunjukkan penipuan. Semua ada di flashdisk ini. Kami nggak asal nuduh.”

Cakra menatap Juan tajam. “Lo pikir bisa terus main aman? Sekarang semua kebongkar.”

Celin terdiam, wajahnya pucat.

Bagaskara memandang bergantian antara anak-anaknya dan Juan. Wibawanya membuat semua orang di meja nyaris tak berani bernapas.

“Juan,” katanya perlahan, tapi tegas. “Saya terima kamu di rumah ini karena saya percaya. Tapi kalau bukti ini benar… maka kepercayaan itu sudah hancur.”

Juan menegakkan tubuh, matanya berkilat. Untuk sesaat, topeng tenang di wajahnya runtuh, digantikan senyum dingin penuh ancaman.

“Baiklah. Kalau begitu… permainan sebenarnya baru dimulai.”

---

Celin merasakan jantungnya berdegup kencang. Untuk pertama kali, ia melihat sisi gelap Juan tanpa penyamaran. Dan di sisi lain meja, Cakra menatap lurus ke arahnya, seolah berjanji:

“Apapun yang terjadi… gue bakal jagain lo.”

Dan sejak saat itu, perang dalam keluarga Bagaskara bukan lagi tentang bisnis—melainkan tentang siapa yang akan menang di medan penuh tipu daya.

---

Bersambung

1
Nana Niez
itu baru namanya cewek canggih,,, kerennnn,, aq sukaaaa
Nana Niez
ah othor bikin terharuuuu, 😭
nuraeinieni
celin anak manis
🔴≛⃝⃕|ℙ$ Fahira Eunxie💎
ceritanya seru banget, banyak pelajaran yang diambil, salah satunya belajar untuk saling menyayangi walaupun mereka saudara tak sedarah...
🔴≛⃝⃕|ℙ$ Fahira Eunxie💎
makasih banyak kak untuk ceritanya... semoga sukses selalu ya kak, ditunggu novel-novel terbarunya
Tiara Bella
bagus ceritanya Thor....belum tentu aku bisa bikin dan merangkai kata² ya kan
Dewiendahsetiowati
terima kasih untuk ceritanya dan ditunggu karya selanjutnya thor
Rohmi Yatun
makasih Thor.. ditunggu karya selanjutnya 🌹🌹👍
Sulfia Nuriawati
kalo semua wanita berhati spt arini g akan ada anak²yg d adopsi cm utk mancing anak, trus pny anak sendiri anak adopsi d terlantarkan atw d beda²kan dlm segala hal
Tiara Bella
nangis aku....hik...hik....
nuraeinieni
kasian celin
nuraeinieni
aduh mewek juga bacanya
nuraeinieni
aq mampir thor
Tiara Bella
gercep bngt Cakra hbs wisuda langsung lamar Celin..... mantap thor
Rohmi Yatun
cerita yang luar biasa🌹🌹🌹🌹 👍
Cindy
lanjut kak
Tiara Bella
degdegan bacanya tkt Celin sm Cakra ketangkep sm Victor....twnya si Victor malah kabur
Tiara Bella
lanjut Thor biasanya 2 bab
Tiara Bella
ceritanya bagus
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!