"... selama aku masih berada didunia ini aku akan terus berusaha menjaga Luciana."
Perkataannya mengejutkanku. Selama dia masih berada didunia ini? Dia adalah seorang vampire yang hidup abadi, apakah itu berarti dia akan menjagaku selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon prel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Luciana
Hari sudah pagi, sejak semalam aku hanya berbaring ditempat tidur. Mataku terpejam namun aku tidak tidur, bagaimana bisa tidur mengantuk saja tidak. Aku tetap melakukannya karena bayi ini pasti memerlukan itu. Yah meskipun aku tidak benar-benar tidur paling tidak aku berbaring cukup lama.
Beranjak dari tempat tidur aku memutuskan untuk mandi. Memilih satu gaun berwarna ungu lalu mengenakannya, aku sudah tidak menggunakan korset karena perut ku sudah besar, aku takut menyakiti bayi ini.
Menyisir rambut didepan cermin aku mulai teringat nenek, kira-kira bagaimana kabarnya. Apakah dia baik-baik saja, sekarang dia pasti kewalahan menangani para pasien sendirian. Aku rindu pada nenek, aku rindu rumah kecilku dihutan.
Setelah selesai, kuputuskan untuk pergi ke dapur. Lebih baik aku memasak daripada bersedih memikirkan nenek. Aku yakin nenek pasti baik-baik saja, dia adalah orang yang kuat.
Tidak seperti biasanya bagian belakang manor house ini sedikit sepi. Saat aku hendak membuka pintu dapur mataku terusik sesuatu. Aku menoleh ada sebuah pintu-memang ada pintu diujung sana tapi aku tidak tau apa yang ada di baliknya-sekarang pintu itu sedikit terbuka membiarkan cahaya matahari masuk melewati celahnya.
Kuberanikan diri untuk mendekat lalu membukanya perlahan. Seketika mataku silau karena cahaya dari luar. Aku mengintip, ternyata ini adalah taman. Bentuknya persegi dikelilingi oleh tembok, ada gerbang di ujungnya.
Jika dugaanku benar, ini adalah gerbang belakang Manor house.
Cuaca cukup cerah hari ini. Aku berjalan pelan dan mencoba merasakan sensasi sinar matahari yang menyinari kulitku, tidak merasakan apa-apa, kulitku kini terlihat putih sempurna dibawah sinar matahari.
Taman ini sangat terawat, rumput hijau segar tumbuh rapi disisi kanan dan kiri jalan setapak yang berada ditengahnya. Aku berjalan mendekati bangunan diujung yang sepertinya adalah kandang kuda.
Benar, ada 3 ekor kuda didalam; hitam, coklat, dan putih. Kuda putih sangat menawan tapi yang hitam menarik perhatianku. Aku mendekat lalu mencoba mengulurkan tangan, sesaat kuda hitam ini hanya memandang ke arahku, ragu-ragu dia mencium tanganku. Matanya yang hitam menatapku dalam.
Kurasakan hembusan angin menerpa rambutku, angin yang berasal dari hutan diluar tembok ini. Aku mendekat ke arah gerbang lalu menyetuh besinya yang sudah berkarat. Kunikmati sensasi angin segar yang menerpa wajahku. Sangat menenangkan.
"Kamu mau kemana?". Sebuah suara membuatku terkejut. Kulepaskan genggamanku pada gerbang dan menoleh kebelakang.
Ternyata Stefan. Dia berdiri dibelakang ku menggunakan kemeja biru tua dan celana hitam.
"Mmm.. aku tidak akan kemana-mana, hanya berjalan-jalan sebentar melihat taman disini", jawabku.
"Kau rindu rumahmu?", dia bertanya dan kini aku menghadap ke arahnya,
"Tidak",
Aku berdusta. Aku sangat merindukan rumah dan nenek, ingin sekali rasanya pergi untuk mengunjunginya.
"Kamu ingin jalan-jalan ke hutan?", tanyanya tiba-tiba membuatku sedikit mendongak melihat langsung ke arah matanya. Stefan lebih tinggi dariku, mungkin tinggiku hanya sampai bawah pundaknya.
"Bolehkah?", aku balik bertanya dengan mata yang berbinar. Apakah benar aku boleh keluar?
"Tentu, tapi aku tidak bisa mengajakmu berjalan jauh".
Stefan berjalan masuk manor house dengan cepat mungkin hendak mengambil sesuatu. Dia bilang tidak bisa pergi jauh itu artinya aku tidak bisa pulang.
Dia kembali dengan membawa jubah hitam lalu menyodorkannya padaku. Jubah ini sedikit berat.
"Mau kubantu memakai nya?".
Belum sempat menjawab, Stefan sudah membantuku memakai jubah yang sedikit kebesaran pada tubuhku, tapi nyaman karena tidak sesak dibagian perut. Jubah milik siapa ini?
Inilah sikap Stefan yang membuatku bingung harus bagaimana. Kenapa sikapnya berbeda saat ada William dan Eve.
"Ini jubahku,memang sedikit besar tapi ini bisa menyembunyikan perutmu".
Stefan benar aku harus menyembunyikan perutku yang besar dan jubah ini sangat cocok untuk itu. Aku mencium bau khas dari jubah ini, bau Stefan. Entah kenapa bau tubuhnya memberi sensasi rileks pada hidungku.
Aku berjalan sedikit dibelakangnya, memandangi bahu tegap Stefan dari belakang. Sulit dipercaya Stefan mau menemaniku berjalan-jalan seperti ini.
Dia menoleh ke arahku, berhenti berjalan menungguku melangkah disisinya.
"Kenapa?".
Ah, dia menyadari kalau aku memperhatikan dia sejak tadi.
"Apa kamu tidak keberatan menemaniku berjalan-jalan dihutan seperti ini?", tanyaku mencoba mencari bahan pembicaraan.
"Tidak, aku tidak memiliki kegiatan dan aku tidak sengaja melihat mu dihalaman belakang tadi", jawabnya mulai berjalan.
Kini kami berjalan beriringan. Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke hutan ini karena tidak ada habisnya jika aku hanya memperhatikan Stefan.
Hutan ini sepi tidak ada suara apapun selain desiran angin yang menggerakkan dedaunan. Sangat sunyi, ternyata begini suasana hutan wilayah para vampire.
Hembusan angin sekali lagi menerpaku. Menerbangkan helain rambut hitamku yang tergerai sepanjang punggung. Angin ini sedikit berbeda, membawa aroma yang lain,
Aroma apel.
Aku berhenti lalu menoleh ke arah aroma ini berasal dan benar ada pohon apel berbuah lebat disana. Tunggu, sejak kapan aku bisa mencium bau apel? jaraknya pun tidak dekat dengan tempatku berdiri. Hidungku menjadi lebih peka sekarang.
"Kau mau apel?", seolah bisa membaca pikiran, Stefan tau apa yang aku inginkan.
"Mau", jawabku antusias.
Aku tersenyum lebar lalu berjalan cepat menuju pohon itu, bahkan aku meninggalkan Stefan dibelakang. Pohon apel ini tidak terlalu tinggi, buahnya sangat banyak, merah dan besar.
"Aku tidak bisa memanjat", gumamku sedikit sedih.
"Tentu saja kau tidak akan memanjat". Stefan melompat keatas cabang pohon. Aku sedikit terkejut melihatnya, bagaimana dia bisa seringan itu.
Dia memetik beberapa buah apel didepannya lalu menyimpan dikantong jubah yang dia pakai.
"Bukan yang itu", aku memprotes.
"Apanya?", dia memandangku.
"Apelnya".
"Apelnya?", Stefan terlihat bingung.
"Aku mau yang itu". aku menujuk buah apel dibelakang Stefan.
"Bukankah mereka sama saja?", tanya Stefan mengerutkan keningnya.
"Iya tapi aku mau yang itu". Aku merengek seperti anak kecil.
Ada apa lagi dengan diriku? kenapa aku menjadi sedih begini hanya karena apel. Pasti ini karena bayinya.
"Baiklah akan ku ambil", dia memetik apel yang kumaksud, aku tersenyum lebar melihatnya.
"Kau mau yang mana lagi?".
"Ambil beberapa lagi, aku ingin membawanya pulang". Aku menyuruhnya, sejak kapan aku bisa menjadi se-santai ini dengan Stefan?
Dia melompat turun lalu dengan cepat aku mengambil buah apel pilihan ku. Tangannya penuh dengan beberapa apel yang sudah dipetik.
Aku membersihkan apel menggunakan gaunku lalu menggigitnya, sangat manis dan segar. Aku tak hentinya tersenyum saat memakan buah apel ini.
"Kamu mau?",
Stefan hanya diam memandangku, dia menggeleng.
"Hmm.. ini enak sekali. Aku jadi lapar". Aku bergumam dengan mulut yang penuh.
"Kita kembali sekarang?". Stefan bertanya dan aku mengangguk.
Sisa perjalanan ini tidak ada pembicaraan diantara kami. Aku terus mengunyah apel dan Stefan sesekali melihat ke arahku, pasti dia berfikir bahwa aku adalah wanita yang rakus.
"Ini karena bayinya, aku jarang makan sebanyak ini".
Stefan tersenyum mendengar ucapanku. Tak kusangka senyumnya sangat menawan,tanpa sadar aku ikut tersenyum bersamanya.
Sesampainya dimanor house Stefan memberikan sisa apel yang dia bawa padaku, kami berdiri berhadapan dibawah naungan teras belakang manor house.
"Cepat kembali ke kamar dan beristirahat lah, minta Lizi membawakan makanan untukmu", Ucapannya sebelum pergi lebih dulu memasuki manor house. Aku masih diam ditempat menyaksikan dia berjalan pergi.
Ini adalah hari yang menakjubkan, aku berjalan-jalan bersama Stefan. Dia memetik apel untukku yang sedang hamil,mungkin jika ada orang yang melihat pasti akan mengira jika kami adalah pasangan suami-istri.
Aku menggeleng cepat, ini tidak benar.
Kenapa aku berdebar hanya karena memikirkannya. Aku buru-buru berjalan menuju dapur sembari berusaha menghilangkan hayalanku.
...~...