kehilangan bukan lah kesalahan ku, tetapi alasan kehilangan aku membutuhkan itu, apa alasan mu membunuh ayah ku? kenapa begitu banyak konspirasi dan rahasia di dalam dirimu?, hidup ku hampa karena semua masalah yang datang pada ku, sampai aku memutuskan untuk balas dendam atas kematian ayah ku, tetapi semua rahasia mu terbongkar, tujuan ku hanya satu, yaitu balas dendam, bukan jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
masa lalu
Dua Belas Tahun Lalu
Di, Sebuah gudang ekspor-impor di pinggiran kota, pukul 22.40 malam
Malam itu sunyi, hanya suara jangkrik dan langkah sepatu yang menggema di lantai semen. Di dalam sebuah gudang logistik berskala besar, dua pria berdiri saling berhadapan. Lampu remang-remang menyoroti wajah mereka.
Masa kejayaan Ahmad sedang berada di puncaknya. Semua usaha yang ia kelola berjalan mulus dari logistik, perdagangan, hingga ekspor ilegal yang tak diketahui banyak pihak. Konsumen percaya pada keahliannya. Dan semua itu membuat banyak musuh iri, termasuk orang yang berdiri di hadapannya malam itu.
“Selamat, Ahmad. Semua berjalan lancar. Setelah urusan di sini selesai, aku akan ke pusat dan urus sisanya,” ucap pria berusia hampir empat puluh, mengenakan jas hitam dan jam tangan mahal. Dialah Aryanto, sahabat sekaligus mitra bisnis Ahmad.
Ahmad tersenyum, mengangguk kecil. “Baiklah, kalau begitu. Aku tetap di sini. Ada konsumen penting yang kutunggu besok. Sayang sekali kau tak bisa bertemu dengannya.”
Tatapan Aryanto menajam. Senyum di bibirnya memudar.
“Kau memang berbakat dalam bisnis ini. Itu sebabnya kau tak pernah mau kembali ke pusat, ya?” sindirnya, mencoba menahan kecemburuan yang hampir meledak.
Ahmad menepuk pundaknya pelan. “Aku serius. Konsumen itu akan membuka jalur yang besar untuk kita. Tapi ini giliranku. Kita sudah sepakat, bukan?”
Aryanto melangkah maju, memastikan tak ada siapa pun di sekitar mereka. Suaranya rendah, tajam, penuh ancaman.
“Aku tidak ingin kau yang bertemu dengannya. Berikan dia padaku.”
Ahmad terdiam sejenak. Lalu, napasnya memburu.
“Kau melanggar perjanjian, Aryanto. Ini bukan cara kita menyelesaikan sesuatu.”
“Kalau dia tidak datang padaku, maka nyawa mu lah yang akan membayarnya,” ucap Aryanto dingin. “Ingat, kita memang bekerja sama, tapi tidak semua hal bisa dibagi rata.”
Malam itu, persahabatan berubah menjadi permusuhan. Sejak hari itu, Ahmad dan Aryanto bersaing habis-habisan di dunia perdagangan gelap. Hingga suatu malam, perselisihan mereka berubah menjadi pertumpahan darah.
Tak banyak kata. Hanya suara tembakan, jeritan, dan tubuh-tubuh yang tumbang.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya karena luka tembak di bagian dada, Aryanto sempat berbisik lirih pada Ahmad yang juga tergeletak bersimbah darah di dekatnya.
“Aku menyesal… karena kita tak bisa bertahan sampai akhir. Titip anakku... Leon... padamu…”
Ahmad menatap tubuh sahabat lamanya yang kaku. " aku akan menjaga nya, aku akan menjaganya seperti anak ku sendiri, walau untuk sekarang aku tidak tahu dimana keberadaannya"
Saat Ahmad mengatakan hal itu, barulah Aryanto menghembuskan nafasnya dengan tenang, seolah semua urusan nya sudah selesai, dia sudah menitip kan anak nya pada orang yang sangat ia percaya,
*
*
*
Masa Kini
Di, Rumah Sakit Swasta Elite, Jakarta Selatan, Pukul 19.25 malam
Ruangan rawat VIP itu dipenuhi aroma antiseptik dan suara alat pemantau detak jantung yang berdetak lambat. Ahmad terbaring lemah di atas ranjang, selang infus menancap di tangan kirinya.
Zelena duduk di sisi ranjang, tangannya menggenggam tangan sang ayah erat-erat. Air mata tak berhenti jatuh dari pipinya yang pucat.
“Sudahlah, Ayah tidak apa-apa. Jangan menangis seperti ini,” ucap Ahmad lembut, mencoba menenangkan putrinya.
“Ayah… apakah semuanya akan baik-baik saja? Ayah akan pulang, kan?” suara Zelena bergetar, penuh harap dan ketakutan.
Ahmad menatap Leon yang berdiri di sisi lain ruangan. Ia tersenyum lemah.
“Ayah akan pulang. Tapi sekarang, kau harus pulang dulu bersama Leon, ya…”
Ia meraih tangan Leon dan menggenggamnya, lalu menyerahkannya pada Zelena.
Leon mengangguk, penuh hormat. “Baik, Tuan. Saya akan membawa Zelena pulang.”
Zelena tidak menjawab. Ia membiarkan Leon menggenggam tangannya dan menuntunnya keluar dari rumah sakit menuju parkiran.
Malam itu dingin. Hujan baru saja reda. Lampu jalan memantulkan cahaya di permukaan aspal basah.
Di samping mobil, Leon menatap wajah Zelena yang tampak letih.
“Apakah kau merasa sakit?” tanyanya lembut.
Zelena memalingkan wajah, tatapannya kosong namun dalam. “Aku… hanya merasa sedikit aneh. Seperti… sesuatu yang tak bisa kujelaskan.”
Leon tak berkata apa-apa. Ia melangkah lebih dekat, lalu tiba-tiba memeluk Zelena dari belakang. Pelukannya erat namun penuh kelembutan, seakan ingin membungkus luka yang tak terlihat.
“Tidak apa-apa… semua akan kembali seperti semula. Aku di sini… selalu di sini…”
Tangannya mengusap kepala Zelena perlahan. Gadis itu terdiam, lalu memutar tubuhnya dan membalas pelukan itu. Hening.
Namun beberapa detik kemudian, ia melepaskannya pelan. Matanya menatap tangan sendiri… cincin pertunangan itu masih tersemat.
“Kenapa… kau tidak memakai cincinmu? Apa hanya aku saja?” tanyanya lirih.
Deg…
Leon terkejut. Ia tak menyangka Zelena memperhatikan itu.
“Seharusnya… kau yang memakaikannya padaku, kan?” lanjutnya pelan, namun dengan yakin ia katakan,
Leon buru-buru merogoh saku jasnya, mengeluarkan cincin kecil yang selama ini ia simpan.
Zelena tersenyum tipis, lalu mengambil cincin itu dan memasangkannya di jari manis Leon dengan perlahan, walau terlihat biasa saja, tetapi ini sangat indah,
“Jika Ayah menginginkan aku bersamamu… maka mungkin itu yang terbaik,” ucapnya tulus.
Perasaan aneh muncul saat Zelena memasangkan cincin pada Leon, seolah tanggung jawab atas Zelena harus ia lakukan, seolah semua ini nyata bukan nya rencana saja, perasaan Leon membuat nya goyang akan rencana yang sudah ia susun dengan matang,
Tepat saat itu, Arman melintas di seberang jalan menuju ruang rawat. Tatapan Zelena seketika berubah. Matanya menatap Arman dengan tatapan yang tak bisa ia sembunyikan, tatapan rindu, kagum… dan cinta.
Leon melihatnya. Ia melihat semuanya. Dan hatinya terasa remuk perlahan, itu membuat nya bingung, Zelena menyukai orang lain, tetapi perasaan nya pada Zelena juga mulai tumbuh,
“Bisakah… kau menatapku seperti itu juga?” bisik Leon dengan suara nyaris tak terdengar. “Aku juga ingin merasakan… dicintai olehmu…”
Deg…
Zelena tersentak. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mengalihkan pandangan cepat-cepat, pura-pura tak mendengar.
“Ehem… ayo pulang,” ucapnya sambil membuka pintu mobil. Suaranya gemetar, seolah mencoba menyembunyikan kegelisahan.
Leon hanya menatap punggungnya, lalu masuk ke mobil tanpa berkata apa-apa.
Malam itu… jalanan sunyi, tapi tidak dengan hati mereka, keduanya masih tidak bisa membaca perasaan nya masing-masing, masih ada keraguan dan juga masalah dengan masalalu,
Hai teman-teman, selamat membaca karya aku ya, semoga kalian suka dan enjoy, jangan lupa like kalau kalian suka sama cerita nya, share juga ke teman-teman kalian yang suka membaca novel, dan nantikan setiap bab yang bakal terus update,
salam hangat author, Untuk lebih lanjut lagi, kalian bisa ke Ig viola.13.22.26