NovelToon NovelToon
CARA YANG SALAH

CARA YANG SALAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Playboy / Selingkuh / Cinta Terlarang / Romansa
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: syahri musdalipah tarigan

**(anak kecil di larang mampir)**

Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.

Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.

Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.

Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.

Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. 3 Pria (turut berduka)

Angin malam meniup pelan debu tanah pemakaman yang masih menempel di ujung kaki celana Nadra. Baru saja ia turun dari sepeda motor tetangganya, masih dengan pakaian serba putih dan mata sembab, suasana depan rumahnya tampak berbeda, ramai, tapi bukan keramaian yang gaduh.

Empat pria berdiri di depan rumah. Mereka adalah Pak Dion, pemilik kafe tempat Nadra bekerja, Arven, Agra, dan Nayaka. Beberapa rekan kerja, kecuali Cynthia, tampak berdiri tak jauh, wajah prihatin dan pakaian santun.

Nadra berhenti sejenak. Matanya membulat, tak percaya mereka semua datang. Tapi sebelum otaknya mampu menyusun kalimat, hatinya sudah lebih mengambil alih.

Tanpa aba-aba, Nadra berlari ke arah Arven. Tubuh kurusnya jatuh dalam pelukan pria itu seperti air yang menumpahkan beban. Arven tersentak sejenak, namun segera membalas pelukan itu dengan hangat.

"Arven, Ibu.... Ibuku udah nggak ada." Suaranya tercekat, tangisnya pecah seperti hujan yang turun tiba-tiba. "Aku belum sempat bahagiain dia."

Arven menunduk, menenangkan. Tangannya mengelus rambut Nadra dengan lembut. "Kamu udah bikin beliau bangga, Dra. kamu kuat, Ibu kamu tahu itu."

Nadra mengangguk kecil dalam pelukan Arven. Tapi dari sisi lain halaman, seseorang mengamati dengan wajah tak tenang, Nayaka. Tangan di saku, tubuhnya sedikit condong ke tiang teras rumah. Tatapan matanya menusuk, bukan karena marah, tapi kecewa.

"Kenapa harus dia?" batinnya berbisik, dingin namun jujur. "Kenapa bukan aku yang kau jadikan tempat pelampiasan, Nadra?"

Agra menepuk pelan bahu adiknya. Sadar akan sorot matanya yang mulai berubah. "Bukan soal siapa yang lebih dulu mengenal, Nay. Tapi siapa yang lebih dulu mampu memahami luka."

Setelah cukup tenang, Nadra melepaskan pelukannya dari Arven, lalu mengusap sisa air mata yang masih menggantung di sudut matanya. Ia mencoba terserah, meskipun senyum itu lebih mirip upaya untuk berdiri di atas reruntuhan hatinya sendiri.

Satu per satu teman-teman kerjanya mendekat. mereka memeluk Nadra bergantian, tidak dengan kata-kata panjang, hanya pelukan hangat yang cukup untuk menguatkan.

"Terima kasih," ucap Nadra lirih, matanya menatap mereka satu per satu. " Sudah datang, dan sudah peduli."

Ia lalu mengisyaratkan tangan, mengajak semuanya masuk ke dalam rumah. Rumah kecil yang kini sunyi, namun menyimpan jejak kehilangan yang begitu besar.

Nadra berjalan lebih dulu. Di belakangnya, langkah-langkah pelan mengikutinya, Pak Dion, Arven, para rekan kerjanya, kemudian Agra dan Nayaka yang diam membisu.

Namun, saat tiba di depan pintu, langkah Nadra tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya jatuh pada sebuah noda merah kecoklatan di lantai teras, bekas darah Ibunya. Tepat di atas retakan ubin yang sudah lama tak diperbaiki. Ia menunduk, dadanya terasa sesak, seperti disayat oleh ingatan yang belum sempat sembuh.

"Di sini tadi Ibu tergeletak," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Ia menelan perih itu dalam diam, lalu melanjutkan langkah masuk ke ruang tamu. tapi kali ini, matanya tak sengaja menatap tiang kayu tua di sudut ruangan. Tiang itu dulu hanya bagian dari struktur rumah, kini menjadi saksi bisu kematian Ayahnya.

Langkah Nadra gontai. Tapi wajahnya tetap tersenyum. Senyum yang penuh usaha, senyum yang digunakan untuk menyembunyikan luka yang tak bisa diceritakan.

Nayaka berdiri paling belakang. Dari tempatnya berdiri, ia melihat semua itu. Matanya mengikuti setiap gerakan Nadra, gadis remaja yang dari luar terlihat biasa saja, bahkan terkesan bodoh dan polos. Tapi kenyataan berkata lain.

"Gadis sekecil ini harus menanggung beban sebesar itu," batinnya bergumam, perlahan. "Dan dia masih bisa tersenyum."

Agra menoleh ke arah Nayaka, memperhatikan wajah adiknya yang tiba-tiba berubah serius. Lalu bertanya pelan.

"Kenapa? Kaget? Ternyata bukan semua orang yang terlihat ceria hidupnya baik-baik saja."

Nayaka mengangguk pelan. Matanya masih tak lepas dari sosok Nadra yang kini sedang menyajikan air putih untuk para tamu.

"Dia bukan sekadar gadis manja yang suka ngambek," katanya, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia punya luka yang lebih dalam dari yang bisa kita lihat."

Pak Dion duduk, menatap sekeliling rumah dengan lirih. Wajahnya yang biasanya tegas, kini ikut melunak.

"Dunia ini memang lucu," ucapnya tiba-tiba. "Kadang yang kuat bukan mereka yang paling dewasa, tapi mereka yang tidak punya pilihan selain bertahan."

Nadra kembali ke ruang tamu membawa baki berisi teh hangat. Ia menawari satu per satu. Dan saat sampai ke Nayaka, pandangan mereka bertemu sesaat. Nadra mengangguk pelan, menyodorkan teh itu tanpa sepatah kata.

Nayaka menerimanya. "Makasih."

Nadra membalas pelan, "Sama-sama. Semoga nggak hambar."

Di dalam ruang tamu, suasana mendadak hening. Setelah beberapa cangkir teh dan tanya jawab ringan, suara Nayaka pecah dalam keheningan.

"Maaf," ucap Nayaka pelan, menundukkan kepala. "Maaf, karena sudah merepotkan kamu di rumah sakit tadi. Seharusnya, aku nggak minta tolong kamu. Mungkin kalau aku nggak kecelakaan, semua ini nggak akan terjadi."

Pak Dion menoleh pelan, begitu juga Arven dan rekan kerja lainnya. Wajah mereka memancarkan keterkejutan. Mereka tak mengerti arah pembicaraan Nayaka, namun ekspresi Nadra yang mendadak berubah, menyiratkan bahwa kata-kata itu telah menyentuh bagian terdalam luka yang belum kering.

Agra yang duduk di samping Nayaka hanya menarik napas panjang. Ia mengulurkan tangannya, mengelus pelan bahu adiknya, seolah ingin menahan agar Nayaka tak melanjutkan kalimat yang bisa menyesatkan hati siapa pun yang sedang berduka.

Namun sudah terlambat. Nadra mengangkat wajahnya perlahan. Senyum tipis menghiasi wajahnya perlahan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, senyum yang terlihat seperti tambalan di atas luka yang belum dijahit.

"Sudah, jangan saling menyalahkan," ucap Nadra tenang namun dingin. "Ini cuma takdir. Semua yang terjadi kebetulan. Nggak ada yang perlu dicarikan kambing hitamnya."

Dadanya terasa aneh, bukan karena sakit akibat benturan, tapi karena melihat gadis yang seharusnya menangis, malah memilih tersenyum pura-pura.

"Berhenti," ujar Nayaka tajam. "Berhenti pasang senyum palsu itu. Di depan aku, jangan lagi."

Nadra diam. Bola matanya bergetar. Tapi ia tak menurunkan senyum itu, malah menguatkannya.

"Kalau kamu kecewa, kalau kamu mau nyalahin takdir, silahkan. Tapi jangan pura-pura baik-baik aja di depan aku. Kalau kamu benci aku, bilang. Kalau kamu ngerasa aku bilang masalah, bilang."

Ucapan Nayaka seperti menampar ruang yang sudah penuh kesedihan. Namun Nadra tidak bergeming. Ia menarik napas pelan, lalu menjawab dengan suara nyaris gemetar.

"Kalau kamu nggak mengalami kecelakaan tadi," nada suaranya naik satu oktaf , lalu turun perlahan. "...mungkin sekarang aku yang jadi mayat di sebelah Ibu dan Ayahku."

Ruangan hening. Pak Dion tak lagi meneguk tehnya. Arven yang tadinya ingin angkat bicara, memilih menunduk. Beberapa rekan kerja Nadra memalingkan wajah, menahan Isak yang mulai memanas di pelupuk.

Nayaka tersentak. Sorot matanya berubah, campur aduk antara perasaan bersalah dan kemarahan pada dirinya sendiri. Ia berdiri, tanpa berkata lagi. langkahnya berat, namun pasti. Ia membuka pintu tanpa pamit, lalu pergi meninggalkan rumah kecil itu.

Agra hanya memandangi punggung adiknya. Ia menggeleng perlahan sambil bergumam pada Pak Dion.

"Anak itu memang keras kepala, tapi hatinya rapuh. Sayangnya, dia nggak tahu caranya menunjukkan peduli dengan benar."

Pak Dion mengangguk. "Kita semua punya cara sendiri buat bertahan dari luka. Tapi tidak semua tahu cara menyembuhkannya."

Sementara itu, Nadra kembali menunduk. Wajahnya tak ingin dilihat siapa pun. Tangannya menggenggam ujung bajunya erat, berusaha menahan tubuhnya agar tak runtuh di hadapan semua orang.

"Maaf," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. "Maaf kalau aku membuat semua orang tidak nyaman, aku cuma nggak tahu lagi harus jadi siapa malam ini."

Kalimat itu menyentuh semua yang duduk di sana. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, rekan kerja Nadra memeluk tubuh kurus itu yang terlihat rapuh. Memberikan semangat dalam pelukan hangat.

💔💔💔💔

Dingin pelan-pelan merayapi pori-pori kulit. Satu per satu tamu yang sempat mengisi ruang duka telah pamit. Hanya tersisa bayangan di dinding, sisa langkah, dan bekas aroma anyir menguap.

Di ambang pintu, Nadra berdiri bersama Agra. Angin malam menyentuh ujung rambutnya yang dibiarkan tergerai. Matanya menatap Agra dengan pandangan tenang namun lelah.

"Terima kasih, Om sudah datang," ucap Nadra pelan. "Maaf kalau rumahnya kecil, dan berantakan."

Agra menggeleng kecil, lalu tersenyum simpul. "Nggak usah minta maaf, Nad. Kamu sudah kuat hari ini, itu saja sudah cukup."

Nadra menunduk, menggenggam kedua tangannya.

Agra hendak menuruni teras menuju halaman, namun langkahnya terhenti saat melihat sosok pria berdiri di sudut teras, menyender pelan ke tiang retak yang sempat menjadi saksi bisu keputusasaan malam itu.

Nayaka, wajahnya tersembunyi sebagian oleh bayangan, tapi sorot matanya tajam, mengarah langsung ke Nadra.

Agra menghela napas. Ia tahu benar keras kepala adiknya. "Pulang, Nay," kata Agra tenang namun tegas. "Jangan ganggu Nadra dulu."

Namun Nayaka menggeleng pelan. "Aku masih ada urusan sama Nadra."

Agra mendesah, menahan Omelan yang nyaris lolos. Tapi pada akhirnya, ia memilih percaya. Ia menepuk bahu adiknya saat melewati.

"Kalau gitu. Jaga Nadra untukku."

Kalimat itu membuat Nayaka merengut, menoleh ke arah lain. Sikap kekanak-kanakan yang tak mampu ia hindari setiap kali merasa kalah dalam urusan perasaan.

Nadra hanya mengernyit, bingung dengan dinamika di antara dua pria itu. "Hati-hati, Om," ujarnya pelan, melambaikan tangan kecilnya.

Agra mengangguk sambil tersenyum, lalu perlahan pergi. Suara mesin mobilnya terdengar sayup menjauh, meninggalkan hanya dua sosok yang masih berdiri di sana.

Kini hanya Nadra dan Nayaka. Sunyi menyelimuti sejenak, seperti memberi waktu bagi keduanya untuk menyusun kata, atau sekadar menarik napas.

Nayaka membuka suara, pelan namun berat. "Kamu tahu, aku nggak bisa tidur sejak pulang tadi."

Nadra menatapnya sekilas, lalu memalingkan wajah. "Kalau kamu mau ngomongin soal tadi, lupakan aja. Aku juga nggak mau bahas."

Namun Nayaka menggeleng. "Bukan itu. Aku cuma kepikiran tentang kamu. Tentang hari ini."

Nadra diam. Angin malam menerpa wajahnya. Mata kecil itu mulai berkaca-kaca, tapi ia tetap diam.

"Tadi siang, aku cuma mikir gimana caranya berhenti nyalahin diri sendiri. Tapi malam ini, aku malah takut kehilangan orang yang bahkan belum sempat aku kenal lebih dalam," kata Nayaka pelan.

Nadra menekan ludah, mencoba menyimpan isak yang nyaris pecah. "Aku bukan siapa-siapa, Om. Aku nggak minta kamu mikirin aku."

Nayaka melangkah lebih dekat, menatap wajah gadis itu yang separuh tertutup bayangan. "Aku tahu. Tapi aku tetap mau mikirin kamu."

Nadra menggeleng. "Aku terlalu rusak buat jadi sesuatu yang bisa dipikirin."

Dan saat itu, Nayaka menjawab dengan lirih namun tegas. "Kalau kamu rusak, biarin aku jadi lem-nya."

Hening. Nadra menatapnya, mata mereka bertemu dalam kesunyian malam yang menyimpan banyak luka.

...Bersambung......

...Terima kasih dukungannya. 😘😘😘...

1
Pengagum Rahasia
/Sob//Sob//Sob/
Pengagum Rahasia
Agra begitu sayang sama adeknya, ya
Syhr Syhr: Sangat sayang. Tapi kadang adeknya nyerandu
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Oh, jadi asisten ingin genit genit biar lirik Agra. Eh, rupanya Agra gak suka.
Syhr Syhr: Iya, mana level Agra sama wanita seperti itu 😁
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Apakah ada skandal?
Syhr Syhr: Tidak
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Agra sedetail itu menyiapkan semua untuk Nadra. /Scream/
Pengagum Rahasia
hahah, karyawannya kepo
Syhr Syhr: Iya, hebring
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Kapoklah, Nadra merajok
Syhr Syhr: Ayo, sih Om jadi bingung 😂
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Yakin khawatir, nanti ada hal lain.
Pengagum Rahasia
Ayo, nanti marah Pak dion
Syhr Syhr: Udah kembut Nadra, pusing dia
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Abang sama adek benar benar sudah memiliki perusahaan sendiri.
Pengagum Rahasia
Kalau orang kaya memang gitu Nad, biar harta turun temurun
Syhr Syhr: Biar gak miskin kata orang².
Syhr Syhr: Biar gak miskin kata orang².
total 2 replies
Pengagum Rahasia
Haha, jelas marah. Orang baru jadian di suruh menjauh/Facepalm/
Pengagum Rahasia
Udah Om, pakek Duda lagi/Facepalm/
Syhr Syhr: Paket lengkap
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Kekeh/Curse//Curse//Curse/
Pengagum Rahasia
Mantab, jujur, polos, dan tegas
Syhr Syhr: Terlalu semuanya Nadra
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Cepat kali.
Pengagum Rahasia
Agra memang bijak
Pengagum Rahasia
Agra type pria yang peka. Keren
Syhr Syhr: Jarang ada, kan
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Sok tahu. Arven ada urusan keluarga, dia mau jadi penerus.
Syhr Syhr: Biasalah
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Udah pergi baru nyariin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!