ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#9
Wei Li menyadari satu hal penting pagi itu orang dewasa tidak berteriak saat takut. Mereka diam. Terlalu diam.
Ia duduk di ruang makan yang luas, meja panjang berkilau, makanan tersaji rapi—terlalu rapi untuk seseorang yang semalam hampir mati. Wei Li melipat kedua tangannya di atas meja, lalu membukanya lagi. Ujung jarinya mengetuk pelan, satu… dua… tiga kali, sebelum berhenti. Ia tidak lapar. Sup panas di depannya masih mengepul, tapi Wei Li hanya menatapnya tanpa niat menyentuh. “Kalau Nyonya terus menatap sup seperti itu,” suara Jae Hyun terdengar santai dari seberang meja, “supnya bisa merasa tidak diinginkan.”
Wei Li meliriknya. “Aku merasa hidupku lebih tidak diinginkan.” Jae Hyun mengangkat bahu. “Itu berarti kita seimbang.” Wei Li menghela napas, lalu mengambil sendok. Tangannya sedikit bergetar. Ia menyadarinya, mendengus pelan, lalu menurunkan sendok kembali.
“Jae Hyun.”
“Iya?”
“Kamu pernah… nyaris mati?” tanya Wei Li tiba-tiba, Jae Hyun berpikir sejenak. “Beberapa kali. Yang paling berkesan waktu hampir ketabrak sepeda listrik.” Wei Li mendongak. “Itu tidak membantu.”
“Pengalaman mendekati kematian jarang membantu,” jawabnya. “Biasanya cuma bikin orang lebih jujur atau lebih sinis.” Wei Li menyandarkan punggung ke kursi. Ia menyilangkan lengannya, lalu membukanya lagi tidak nyaman dengan posisinya sendiri. “Aku tidak jujur,” katanya. “Dan aku tidak merasa sinis.”
“Berarti masih shock.” Wei Li tertawa pendek. “Hebat. Aku selalu ingin diagnosa gratis.” Jae Hyun tersenyum, tapi matanya tetap mengamati Wei Li dengan saksama. “Nyonya tidak tidur semalaman.”
“Itu pernyataan atau tuduhan?”
“Pengamatan.”
Wei Li mengusap lengannya. “Setiap kali aku menutup mata, aku dengar suara kaca pecah.” Jae Hyun tidak langsung menjawab. Ia meminum kopinya, lalu berkata pelan, “Itu normal.” Wei Li menatapnya. “Di dunia kamu, mungkin.”
“Di dunia siapa pun yang masih hidup setelah seharusnya mati,” jawab Jae Hyun. Keheningan jatuh sebentar. Wei Li kembali menatap meja. Jemarinya mengepal, lalu ia paksa untuk membuka lagi. “Aku tidak seharusnya di sini,” katanya tiba-tiba. Jae Hyun mengangkat alis. “Di Shanghai?”
“Di hidup ini,” koreksi Wei Li. Jae Hyun menyeringai kecil. “Sayangnya, hidup jarang minta izin.” Pintu ruang makan terbuka. Seorang staf memberi tahu bahwa Kun A Tai sudah menunggu di ruang tamu kecil bukan sebuah ruang kerja. Itu aneh. Wei Li berdiri. Ia merapikan pakaiannya secara refleks, mengusap rok yang sebenarnya sudah rapi. “Kalau aku tidak kembali,” katanya sambil melangkah pergi, “tolong wariskan kopiku ke orang yang pantas.”
Jae Hyun terkekeh. “Saya akan meminumnya atas nama Nyonya.” Ruang tamu kecil itu lebih intim. Sofa gelap, meja rendah, jendela besar menghadap taman belakang. Kun A Tai duduk dengan santai terlalu santai untuk seseorang yang mengendalikan setengah kota. Wei Li berdiri di depannya beberapa detik, lalu duduk. Tidak ada sapaan. Kun A Tai menyodorkan tablet ke arahnya. “Lihat.”
Wei Li menerima tablet itu dengan kedua tangan. Ia membaca laporan singkat: pergerakan keuangan mencurigakan, nama perusahaan bayangan, koneksi ke luar negeri. Ia mengerutkan kening. “Ini… aku?”
“Ini efek dari namamu,” jawab Kun A Tai. Wei Li mengangkat wajahnya. “Aku tidak melakukan apa pun.”
“Aku tahu,” katanya. “Itu masalahnya.” Wei Li meletakkan tablet di meja. Tangannya bergerak ke pangkuan, saling menggenggam. Ia merasakan telapak tangannya lembap. “Mereka mencoba memancing,” lanjut Kun A Tai. “Melihat sejauh apa aku akan bereaksi.”
Wei Li tertawa kecil. “Aku jadi umpan.”
“Kau jadi variabel,” koreksi Kun A Tai.
Wei Li mengusap keningnya. “Aku tidak mendaftar untuk ini.” Kun A Tai bersandar ke sofa. “Tidak ada yang mendaftar.” Wei Li menatapnya, benar-benar menatap kali ini. “Kenapa kau masih melindungiku?” Pertanyaan itu menggantung di udara. Kun A Tai tidak langsung menjawab. Ia menatap keluar jendela, lalu kembali menatap Wei Li.
“Karena kau tidak melakukan apa yang seharusnya kau lakukan,” katanya. Wei Li mengerutkan kening. “Maksudmu… mati?”
“Ya.” Wei Li tertawa, kali ini lebih keras. “Itu alasan terburuk yang pernah kudengar.”
“Mungkin,” jawab Kun A Tai. “Tapi aku tidak terbiasa dengan orang yang tidak mengikuti naskah.” Wei Li menyandarkan punggung. Ia menyilangkan kaki, lalu membukanya lagi. Gelisah. “Aku tidak ingin terlibat,” katanya. “Aku tidak mengejar Shen Yu An. Aku tidak mengejar siapa pun.”
“Aku tahu,” jawab Kun A Tai. “Dan itu membuatmu berbahaya.” Wei Li mendengus. “Aku bahkan tidak punya senjata.”
“Kau punya pilihan,” kata Kun A Tai. Wei Li menatapnya tajam. “Pilihan apa?”
“Untuk tetap di sisiku,” jawabnya tenang. “Atau pergi dan melihat siapa yang lebih cepat menemukanmu.” Wei Li mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. “Itu bukan pilihan,” katanya.
“Itu kenyataan.” Keheningan kembali jatuh. Wei Li mengusap lengannya lagi, gerakan kecil yang berulang setiap kali pikirannya buntu. “Aku ingin satu hal,” katanya akhirnya. Kun A Tai mengangkat alis. “Katakan.”
“Kejujuran,” jawab Wei Li. “Tanpa permainan kata.” Kun A Tai menatapnya beberapa detik. Lalu berkata, “Baik.” Wei Li menahan napas. “Aku tertarik padamu,” katanya. Wei Li membeku. Bukan karena kata-kata itu romantis. Justru karena tidak ada hiasan apa pun di sana. “Tertarik… bagaimana?” tanya Wei Li hati-hati.
“Sebagai seseorang yang bisa mengacaukan sistem,” jawab Kun A Tai. “Dan tetap hidup.” Wei Li menghela napas, sedikit lega, sedikit kecewa—ia tidak yakin yang mana.
“Jangan salah paham,” lanjut Kun A Tai. “Aku tidak lembut. Dan dunia ini tidak aman.” Wei Li tersenyum miring. “Kau baru menyadarinya sekarang?” Kun A Tai tersenyum tipis balik. Saat Wei Li berdiri untuk pergi, Kun A Tai berkata, “Malam ini ada acara.”.Wei Li berhenti. “Aku tidak suka acara.”
“Aku tahu,” jawab Kun A Tai. “Karena itu kau harus datang.” Wei Li menoleh. “Kenapa?”
“Karena semua orang akan melihatmu,” katanya. “Dan setelah itu, mereka akan berpikir dua kali sebelum menyentuhmu lagi.” Wei Li mendengus. “Aku benar-benar umpan.”
“Umpan yang dilindungi,” jawab Kun A Tai. Wei Li melangkah keluar dengan kepala penuh. Di koridor, ia berhenti sejenak. Menarik napas. Mengepalkan tangan. Mengendurkannya. “Aku cuma mau kaya,” gumamnya pelan. “Kenapa selalu begini?”
Jae Hyun menunggunya di ujung koridor. “Jadi?” Wei Li berjalan melewatinya. “Malam ini kita pesta.” Jae Hyun tersenyum lebar. “Akhirnya. Saya butuh hiburan.” Wei Li menatap lurus ke depan. “Dan aku butuh baju yang bisa membuat orang berpikir aku berbahaya.”
Jae Hyun terkekeh. “Oh, itu bisa diatur.” Wei Li tidak tahu apa yang menunggunya malam nanti. Tapi satu hal pasti. Takdir tidak akan memberinya waktu untuk bernapas.