NovelToon NovelToon
Detektif Jola Joli

Detektif Jola Joli

Status: tamat
Genre:Misteri / Horor / Tamat
Popularitas:757
Nilai: 5
Nama Author: NonaNyala

Di balik ketenangan Desa Warengi Jati, sebuah tragedi mengoyak rasa aman warganya. Malam itu, seorang penduduk ditemukan tewas dengan cara yang tak masuk akal. Desas-desus beredar, rahasia lama kembali menyeruak, dan bayangan gelap mulai menghantui setiap sudut desa.

Bayu, pemuda dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam, terjebak dalam pusaran misteri ini. Bersama Kevin sahabat setianya yang sering meremehkan bahaya dan seorang indigo yang bisa merasakan hal-hal yang tak kasatmata, mereka mencoba menyingkap kebenaran. Namun semakin dalam mereka menggali, semakin jelas bahwa Warengi Jati menyimpan sesuatu yang ingin dikubur selamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaNyala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan Di Rumah Kosong (2)

Di episode sebelumnya Kevin dan Bayu merencakanan ingin pergi kerumah mbah Suto untuk menemukan jawaban atas apa yang Kevin lihat, akankah semua itu benar? Atau makhluk berwujud perempuan itu hanya merupakan Jin yang sedang menyamar untuk mempermainkan emosi manusia? Mari kita lihat di Episode ini...

Happy Reading..🕵‍♂️📸

......**----------------**...

 Saat Kevin dan Bayu datang, Mbah Suto sedang duduk di dipan bambu, mengunyah sirih. Matanya redup, tapi tajam. Ia tersenyum samar saat melihat keduanya.

 Bayu langsung nyelonong duduk tanpa basa-basi.

“Mbah, kulo badhe tanglet babagan omah kosong cedhak kali, sing katane biyen omahe bu Minah.”

 Kevin menegakkan badan, merasa tegang.

 Wajah Mbah Suto berubah, senyumnya memudar. Ia berhenti mengunyah, lalu menghela napas panjang.

 Mbah Suto. “Nggih, le. Kula taksih nyimpen crita bab griya punika. Nanging, saderengipun, kula badhe nyuwun. Menawi kowe sampun mlebet mriku?”

 Bayu menyeringai. “Yo, mosok ora, Kevin ndelok opo opo, Mbah.”

 Kevin buru-buru menoleh. “Bayu!”

 Mbah Suto hanya menatap Kevin lama, seakan bisa membaca hal-hal yang tersembunyi.

 Mbah Suto. “Saking alit, sampun katingal menawi awakmu punika benten, le. Ana perkawis ingkang boten kasat mripat, nanging mripatmu tansah saged nyekel.”

  Kevin tercekat. Bayu mencoba mencairkan suasana. “Mbah, awakmu gaul tenan iso mudeng, hehe.”

 Mbah Suto. “Rumiyin, Bu Minah punika boten seda kanthi lumrah. Wong-wong ngendika yen piyambakipun gerah, nanging sejatosipun gerahipun boten saking badan. Gerahipun saking tindak-tanduk menungsa.”

Kevin menelan ludah. “Ana wong sing gawe mati dewe’e?”

 Mbah Suto tidak langsung menjawab. Ia berdiri masuk ke dalam rumah, lalu kembali membawa kalung tua.

 Mbah Suto. “Kalung punika duwe Bu Minah. Sawise piyambakipun seda, barang-barange kathah ingkang kabagi, nanging kalung punika ketinggal wonten mriki.”

 Kevin gemetar, melihat sosok samar Bu Minah di belakang Mbah Suto.

 Bayu mengambil kalung itu hati-hati. “Suwun, Mbah. Tapi sapa sing nglarani dekne?”

Mbah Suto menundukkan kepala, suaranya pelan.

 “Le, ati-ati. Ora saben tiyang remen menawi rahasia jaman kepungkur kowe buka. Mliginipun, menawi rahasia punika taksih gesang wonten ing satengahing kita.”

 Kevin merasa dadanya sesak. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi Mbah Suto sudah menutup obrolan dengan senyuman yang terasa lebih seperti peringatan.

 Dalam perjalanan pulang, Bayu memutar-mutar kalung itu. “Pin, ini pasti petunjuk. Mimpi lu semalem juga soal benda, kan? Bisa jadi kalung ini kuncinya.”

 Kevin masih diam, matanya gelisah. “Bay, kalo bener ini pembunuhan… artinya ada orang yang masih bebas sampe sekarang.”

  Bayu menepuk bahu sahabatnya. “Dan tugas kita adalah nemuin siapa dia.”

  Kevin menunduk, tapi dari kejauhan ia kembali melihat sosok Bu Minah berdiri di tepi jalan, menatap kalung itu dengan mata kosong.

  Malam itu, Kevin duduk sendirian di kamarnya. Lampu belajar menyala redup, sementara kalung peninggalan Bu Minah tergeletak di atas meja. Liontinnya kecil, berbentuk bulat dengan ukiran bunga yang sudah memudar dimakan usia.

  Sejak sore tadi, Kevin merasa kalung itu seperti berdenyut pelan, seolah menyimpan sesuatu. Ia mencoba memejamkan mata, berharap tidak ada yang muncul. Tapi justru saat kelopak matanya menutup, suara lirih terdengar jelas

   “Jangan biarkan dia lolos…”

  Kevin terperanjat, matanya terbuka lebar. Nafasnya memburu. “Siapa… siapa yang lolos?”. Suara itu tak menjawab, hanya diikuti bayangan singkat seorang perempuan yang berlari di jalan setapak gelap, diikuti oleh siluet laki-laki bertubuh besar membawa sesuatu seperti linggis. Adegan itu muncul sekilas lalu lenyap, meninggalkan Kevin berkeringat dingin.

  Keesokan paginya, Bayu datang dengan muka sumringah sambil bawa sarapan. “Bangun, detektif indigo. Nih, gua bawain lontong sayur biar lu ada tenaga. Malem tadi dapet wahyu lagi, kan?”

  Kevin menatapnya lelah. “Gua nggak tau itu mimpi atau penglihatan. Tapi jelas banget. Ada laki-laki ngejar Bu Minah. Gede, bawa linggis.”

  Bayu langsung meletakkan lontong, wajahnya berubah serius. “Lah, kalo gitu fix, Pin. Bu Minah bukan mati sakit. Dia dibunuh.”

  Kevin menunduk. “Masalahnya… gua nggak bisa nunjukin bukti. Semua Cuma ada di kepala gua.”

  Bayu mengedikkan bahu. “Tenang, kan ada gua. Lu liat hantu, gua cari logika. Kerjasama kita udah dari SMP, inget? Waktu semua orang menjauh dari lu, Cuma gua yang nemenin. Jadi kali ini pun gua nggak akan ninggalin.”

  Kevin menatap Bayu, ada rasa terharu yang tak diungkapkan. Bayu selalu jadi jembatan antara dirinya dan dunia nyata.

 Siang itu mereka memutuskan kembali ke rumah kosong. Suasana lebih terang, tapi hawa dingin tetap menusuk. Debu berterbangan tiap kali angin masuk lewat jendela pecah.

 Kalung itu digenggam Kevin erat. “Kalau dia mau nunjukin sesuatu, pasti di sini.”

 Bayu mengamati sekeliling. “Oke, gua perhatiin yang nyata. Lu fokus sama apa pun yang muncul.”

 Kevin berdiri di tengah ruangan. Ia memejamkan mata, membiarkan sensasi dingin menjalari kulit. Seketika ia merasakan dorongan kuat untuk berjalan ke sudut ruangan. Langkahnya berat, seperti ada magnet yang menarik.

 Di sana, tepat di lantai dekat dinding, Kevin melihat bercak gelap samar. Bagi mata orang biasa itu hanya noda lembab, tapi bagi Kevin, noda itu berdenyut merah.

 “Bay… sini.”

 Bayu mendekat. “Apa? Lantai lembab?”

 Kevin menggeleng. “Ini darah. Bekas lama. Dia… jatuh di sini.”

 Bayu menekuk alis, lalu jongkok. Ia mengetuk lantai kayu pelan. Tok tok tok. Suaranya berbeda di satu titik, lebih kosong.

  “Pin, ini papan udah pernah dicongkel. Ada ruang kosong di bawahnya.”

 Kevin menahan napas. “Lu serius?”

 Bayu langsung merogoh kantong, mengeluarkan pisau lipat kecil. Dengan hati-hati ia mencongkel bagian papan itu. Kayu lapuk, mudah terbuka.

 Begitu papan terlepas, tercium bau apek menusuk hidung. Bayu menyinari dengan senter ponselnya, dan di dalamnya mereka menemukan sesuatu: sepotong kain lusuh penuh bercak kecokelatan, dan sebuah cincin berkarat.

 Kevin membeku. Begitu tangannya menyentuh kain itu, bayangan langsung menyeruak ke kepalanya. Ia melihat Bu Minah dipukul keras dengan linggis, tubuhnya jatuh tersungkur, darahnya membasahi kain itu. Cincin lepas dari jarinya, tercebur ke lantai sebelum si pelaku panik menutup papan kayu.

 Kevin terengah, hampir jatuh. Bayu sigap menangkapnya. “Pin! Hei, santai. Apa yang lu liat?”

  “Dia dipukul… di sini… pake linggis. Ini buktinya, Bay.”

 Bayu memandang kain dan cincin itu dengan tatapan penuh arti. “Kalau barang ini asli dari kejadian itu, berarti kita udah pegang bukti awal. Kita bisa bawa ke Pak RT, atau-”

 Kevin buru-buru memotong. “Jangan! Jangan sekarang. Kalo salah orang denger, kita bisa bahaya. Pelakunya mungkin masih di sini, di desa.”

  Hening. Hanya suara angin menerpa dinding rumah kosong.

 Bayu mengangguk perlahan. “Oke. Kita rahasiain dulu. Tapi Pin… ini bukan lagi soal hantu. Ini udah masuk ranah kasus pembunuhan beneran.”

 Kevin menggenggam kalung, kain, dan cincin itu erat. Wajah Bu Minah yang penuh luka kembali terbayang, tatapannya menuntut keadilan.

 Untuk pertama kalinya, Kevin sadar: penglihatannya bukan sekadar beban, tapi bisa jadi kunci untuk mengungkap kebenaran yang selama ini terkubur.

 Malamnya, Kevin duduk di kamar sambil menatap kalung, kain, dan cincin yang kini dibungkus kain bersih. Bayu sedang menulis catatan kecil, mencoba menyusun semua petunjuk seperti detektif sungguhan.

  “Kalung. Kain berlumuran darah. Cincin. Semua mengarah ke korban,” gumam Bayu.

  “Tinggal siapa pelaku. Dan kenapa.”

 Kevin bergumam pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. “Dia nggak akan tenang sebelum kebenaran terungkap.”

 Tiba-tiba angin dingin masuk lewat jendela, membuat lilin kecil di meja bergetar. Kevin menoleh… dan melihat Bu Minah berdiri di sudut kamar. Tidak menakutkan kali ini, melainkan tenang. Tapi matanya jelas memandang cincin itu.

 Kevin menghela napas berat. “Iya, Bu. Kami akan cari siapa yang melakukan ini.”

 Bayu, yang tidak bisa melihat, hanya menoleh bingung. “Lu ngomong sama siapa lagi, Pin?”

 Kevin menutup mata sejenak, lalu membuka kembali. Sosok itu sudah hilang. Ia menatap Bayu, dengan nada suara mantap yang jarang keluar dari dirinya.

“Bay, kita harus cari siapa yang terakhir kali bersama Bu Minah sebelum dia mati.”

 Bayu tersenyum tipis, menepuk bahunya. “Sip. Selamat datang di kasus pertama Detektif Bayu dan Indigo Kevin.”

Mereka berdua terdiam, menyadari jalan panjang di depan. Kasus ini bukan sekadar misteri. Ini adalah ujian persahabatan mereka, sekaligus awal dari perjalanan menjadi pasangan detektif paling unik yang pernah ada.

 Pagi itu, udara desa Warengi Jati masih lembab sisa embun. Kevin duduk di beranda sambil menatap cincin berkarat yang kini sudah ia cuci bersih. Meski karatnya tak bisa hilang sepenuhnya, ukiran halus berbentuk bunga melati di sisi cincin masih terlihat jelas. Bayu datang dengan langkah santai, menggenggam buku catatan kecil dan bolpoin. “Pin, gua kepikiran semaleman. Cincin ini bukan sembarang cincin. Ukiran melati itu biasanya punya arti khusus. Bisa jadi cincin kawin.”

 Kevin mengangguk pelan. “Gua juga kepikiran begitu. Semalem… Bu Minah nunjukin cincin ini. Dia pengen kita tau sesuatu lewat benda ini.”

 Bayu duduk di sampingnya, membuka catatan. “Oke, logikanya gini. Kalau ini cincin kawin, berarti harusnya ada pasangan. Kalo bukan suaminya, bisa aja orang dekat yang punya hubungan khusus. Kita bisa mulai tanya warga siapa yang inget Bu Minah sering pakai cincin model begini.”

 Kevin menelan ludah. “Tapi Bay, kalo kita tanya sembarangan, bisa-bisa malah pelakunya curiga.”

 Bayu tersenyum miring. “Makanya, kita nggak tanya langsung soal cincin. Kita pancing lewat obrolan ngalor-ngidul. Biar keliatan kayak ngobrol biasa, padahal nyari info.”

 Target pertama mereka adalah warung kopi di dekat sawah, tempat bapak-bapak desa sering berkumpul pagi. Suasana riuh oleh tawa, percakapan soal harga pupuk, sampai obrolan bola semalam.

 Kevin duduk agak kaku, sementara Bayu langsung mencairkan suasana. “Pagi, Pak! Kopinya dua, sama gorengan lima.”

 Pemilik warung, Pak Gimin, menyodorkan gelas. “Wih, Bayu. Jarang nongkrong pagi. Biasanya baru keliatan sore.”

 Bayu ketawa. “Hehe, lagi libur, Pak. Eh, ngomong-ngomong, gua jadi inget cerita lama. Waktu gua masih SMA sering liat ibu ibu cantik kalo ga salah namanya bu Minah lewat bawa belanjaan. Beliau suka ngobrol sama siapa, ya?”

 Salah satu bapak tua di meja sebelah nyeletuk. “Ah, Bu Minah itu orangnya ramah. Sering mampir beli gula di sini. Tapi kasihan, hidupnya sendirian. Suaminya dulu kerja di kota, katanya nggak pernah balik.”

 Kevin menajamkan telinga. “Nggak balik gimana maksudnya, Pak?”

 Bapak itu menghela napas. “Ya gitu… kabarnya ninggalin dia. Ada juga yang bilang suaminya kawin lagi. Tapi nggak ada yang tau pasti.”

 Bayu menimpali cepat, seolah Cuma basa-basi. “Oh gitu ya. Jadi Bu Minah nggak pernah nikah lagi?”

  “Seingat saya, nggak. Tapi dia punya cincin bagus, sering dipake waktu ke mushola. Cincin dengan ukiran bunga… apa ya, melati kalo nggak salah. Tapi sejak sakit, jarang keliatan lagi dipakenya.”

 Kevin dan Bayu saling melirik cepat. Itu cincin yang ada di tangan mereka sekarang.

 Bayu menutup obrolan dengan tawa kecil, pura-pura tak terlalu peduli. “Wah iya, Bu Minah emang rapi orangnya. Makasih, Pak.”

 Begitu keluar dari warung, Kevin langsung bicara dengan nada rendah. “Bay, berarti ini emang cincin Bu Minah. Tapi kenapa dia nggak dikubur sama cincinnya? Kenapa malah disembunyiin di bawah lantai?”

 Bayu mengetuk dagunya dengan bolpoin. “Karena pelakunya tolol, mau nyembunyiin kasus dia tapi malah akhirnya kebongkar. Dia ngumpetin biar nggak ada yang nyadar tapi malah ke ungkap juga kan tolol, Pin.”

 Kevin terdiam. Sekilas ia melihat bayangan Bu Minah berdiri di tepi jalan, tatapannya menunduk pada cincin itu. Ada kesedihan, tapi juga harapan. Mereka berdua terus mengulik informasi informasi tentang Bu Minah, dari ujung desa hingga awal desa. Sampailah sore hari awalnya mereka berhenti untuk mengulik informasi namun mereka belum menemukan hal yang pasti.

 Sore hari, mereka mendatangi rumah Bu Wati, tetangga dekat almarhumah Bu Minah. Rumahnya kecil, dipenuhi tanaman bunga di halaman. Bu Wati menyambut hangat, menawari teh manis.

  “Bayu, Kevin. Jarang sekali kalian main ke sini. Ada perlu apa, Nak?”

 Bayu yang bicara, santai tapi terukur. “Iya, Bu. Sebenarnya kami lagi nyari cerita-cerita lama soal Bu

Minah. Soalnya beberapa warga baru nggak kenal beliau. Katanya Ibu tetangga paling dekat.”

 Bu Wati tersenyum sendu. “Iya, Bu Minah orang baik. Tapi nasibnya menyedihkan. Dia sering sakit, nggak ada yang ngurus. Saya yang kadang bawain makanan.”

 Kevin memberanikan diri bicara. “Bu… waktu Bu Minah sakit, ada yang suka jenguk?”

 Bu Wati menunduk sejenak, lalu berbisik. “Ada. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Malam-malam, saya pernah lihat Herman sering datang. Dia masuk lewat belakang, nggak lewat pintu depan.”

 Kevin dan Bayu saling berpandangan kaget. Herman? Itu salah satu bapak yang aktif di pos ronda, bahkan ikut proyek mushola. Pak/Bang Herman ini orangnya aktif seperti Bayu sering bercanda dan tertawa.

 Bayu berusaha tetap tenang. “Mungkin dia Cuma bantu?”

 Bu Wati menggeleng. “Saya nggak tahu. Tapi tiap habis kunjungan itu, Bu Minah sering nangis. Saya denger dari balik dinding. Ada sesuatu yang dia simpan.”

 Hening panjang. Kevin menggenggam cincin di saku celana. Sosok Bu Minah muncul di belakang Bu Wati, wajahnya berlumur darah, matanya menatap Kevin seolah ingin mengatakan sesuatu. Kevin merasakan dingin menusuk tulang. Ia tahu, arwah Bu Minah ingin menunjuk seseorang dan nama Herman kini berputar-putar di kepalanya.

 Malamnya di kamar, Bayu menulis cepat di catatannya.

“Oke, kita punya petunjuk. 1. Cincin melati \= milik Bu Minah.

  2. Barang disembunyikan di bawah lantai \= indikasi pembunuhan.

  3. Herman sering jenguk diam-diam \= motif bisa macam-macam, entah hutang, asmara, atau dendam.”

 Kevin duduk gelisah. “Bay… gua takut salah nuduh. Tapi kalo bener Herman pelakunya, dia masih bebas di luar sana.”

 Bayu menepuk bahunya. “Makanya kita kumpulin bukti lebih banyak. Lu pake mata gaib lu, gua pake logika gua. Kita main pelan, jangan sampe dia sadar kita ngikutin.”

 Kevin mengangguk, tapi bayangan Bu Minah terus menghantui. Kali ini ia melihat Bu Minah berdiri di depan pintu, menunjuk ke arah pos ronda desa.

  “Bay…” suara Kevin bergetar. “Dia nunjuk… ke pos ronda.”

 Bayu menoleh cepat, wajahnya serius. “Pos ronda? Tempat Herman sering nongkrong. Pin, jangan bilang ada sesuatu di sana juga…”

Kevin menunduk. “Gua rasa… kita harus cari tahu.”

 Malam itu, langit Warengi Jati dipenuhi bintang. Udara sejuk berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari sawah. Pos ronda tampak ramai. Beberapa bapak duduk melingkar sambil ngopi, ada yang main kartu, ada juga yang sekadar ngobrol ngalor-ngidul. Herman termasuk di antara mereka, tertawa lepas, seakan tidak menyimpan beban apa pun.

 Bayu menyikut Kevin pelan. “Pin, lu lihat sendiri kan? Orang yang dicurigain Bu Wati lagi asik-asik aja nongkrong. Nggak ada tanda bersalah sedikit pun.”

 Kevin menelan ludah. “Orang kayak gini justru bahaya, Bay. Semakin keliatan biasa, semakin susah dibaca.”

 Bayu menepuk pundaknya. “Oke. Malam ini kita cari celah. Kalo ada yang janggal di pos ronda, lu pasti liat.”

 Mereka berdua pura-pura nimbrung. Bayu ngobrol santai, ikut ketawa kalau ada lelucon. Kevin duduk agak menyendiri, pandangannya liar mengamati ruangan.

 Di sudut pos ronda, ada sebuah lemari kayu tua berisi perlengkapan ronda: senter, kentongan kecil, dan beberapa kertas catatan jadwal. Namun bagi Kevin, ada sesuatu yang lain.

 Bayangannya kabur, tapi ia bisa melihat noda merah samar di gagang pintu lemari itu. Noda darah. Kevin bergidik. Ia mendekat perlahan, pura-pura mencari senter. Begitu tangannya menyentuh gagang, kilatan penglihatan langsung menyeruak.

 Sosok Bu Minah terhuyung masuk ke pos ronda, wajahnya penuh darah. Ada bayangan laki-laki tinggi mendorongnya jatuh. Tangan laki-laki itu menekan lehernya, sementara linggis berlumuran darah diletakkan di samping lemari.

 Kevin terhuyung mundur, wajahnya pucat.

 Bayu cepat menghampiri. “Pin! Lu kenapa?”

 Kevin berbisik dengan suara nyaris tak terdengar. “Bay… linggis itu ada di sini. Disembunyiin di lemari.”

 Bayu menoleh ke arah lemari, matanya membesar. Tapi ia menahan diri. “Kita nggak bisa buka sekarang, semua orang liat. Bisa-bisa malah ketahuan.”

 Kevin mengangguk cepat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia mencoba tenang, tapi matanya terus memandang Herman yang tertawa keras sambil menepuk bahu temannya.

 Bulu kuduk Kevin meremang. Kalau benar linggis itu ada di sini… berarti Herman sering nongkrong di pos ronda bukan kebetulan.

 Setelah tengah malam, satu per satu warga pamit pulang. Tinggal beberapa orang saja, termasuk Herman yang sudah setengah mabuk kopi. Kevin dan Bayu ikut pura-pura pulang, tapi mereka menyelinap lewat jalan belakang dan kembali saat pos sudah benar-benar sepi.

 Bayu menghela napas panjang. “Oke, ini saatnya. Lu siap, Pin?”

 Kevin menatap lemari itu. Hatinya berdegup kencang. “Gua siap.”

 Bayu mengeluarkan kunci kecil hasil pinjaman dari ayahnya yang biasa memperbaiki gembok. Dengan cekatan ia membuka kunci lemari. *Klek.*

 Pintu lemari terbuka perlahan, menimbulkan suara berderit yang membuat keduanya menahan napas.

 Di dalamnya, di balik tumpukan barang, mereka menemukan sesuatu terbungkus kain goni. Bayu mengeluarkannya pelan, lalu membuka ikatan kain.

 Terlihatlah sebuah linggis berkarat, dengan noda kecokelatan yang sudah mengering di ujungnya.

 Kevin mundur selangkah, wajahnya pucat. “Itu dia… Bay… itu senjata yang gua liat.”

 Bayu menatap linggis itu lama, lalu menutup kembali dengan kain. “Gila. Ini bukti kuat, Pin. Tapi kita nggak bisa sembarangan bawa keluar. Kalo ketahuan, tamat kita.”

 Kevin mengangguk. “Kita foto dulu. Simpan di ponsel. Minimal ada catatan kalau barang ini beneran ada.”

 Bayu mengambil ponsel, memotret linggis dari berbagai sudut. Setelah itu mereka menaruh kembali ke posisi semula, rapat dan rapi.

 Namun saat hendak pergi, Kevin merasa dingin menusuk dari belakang. Ia menoleh… dan melihat Bu Minah berdiri di pintu pos ronda, tubuhnya berlumur darah. Wajahnya hancur, tapi matanya menatap linggis itu penuh dendam.

 Kevin tercekat, matanya berkaca-kaca. “Kami udah nemuin, Bu. Kami janji, kebenaran bakal terungkap.”

 Sosok itu menghilang perlahan, meninggalkan hawa dingin menusuk.

 Bayu menepuk bahunya. “Lu liat dia lagi, kan?”

 Kevin mengangguk pelan.

 Bayu menarik napas panjang, matanya tajam. “Oke, Pin. Berarti fix. Herman terlibat. Pertanyaannya sekarang: gimana caranya kita bikin semua orang percaya… tanpa bikin kita berdua jadi target?”

 Kevin menatap gelapnya jalan desa. Di kejauhan, suara jangkrik bercampur dengan desir angin. Beban semakin berat di pundaknya. Ia sadar, semakin jauh mereka masuk ke misteri ini, semakin besar resiko yang mereka tanggung.

 Namun satu hal pasti Bu Minah tidak akan berhenti menuntut, sampai kebenaran terbongkar.

 Selepas menemukan linggis itu, Bayu dan Kevin pulang lewat jalan belakang desa. Malam makin larut, kabut tipis turun menutupi jalan setapak. Lampu jalan mati satu per satu, seakan ada tangan gaib yang sengaja memadamkannya.

  “Bay, ini nggak beres…” bisik Kevin, suaranya bergetar.

 Bayu menoleh, mencoba tegar meski jantungnya berdegup kencang. “Tenang, Pin. Jangan bikin panik. Kita udah pegang bukti, itu yang paling penting.”

 Namun langkah mereka terhenti ketika terdengar suara ranting patah dari semak belukar. Sesosok bayangan tinggi berdiri di kejauhan, samar-samar diterangi cahaya bulan.

 Kevin menyipitkan mata. “Bay… itu… bukan manusia.”

 Bayangan itu bergerak pelan, seolah mengikuti mereka. Tubuhnya hitam pekat, matanya merah menyala. Dari kejauhan, Kevin bisa melihat jelas itu bukan arwah Bu Minah. Sosok ini lain. Lebih gelap, lebih ganas.

 Bayu mencengkeram lengan Kevin. “Kita lari!”

 Mereka berlari menembus kabut. Suara langkah bayangan itu terdengar berat, menghantam tanah seperti palu. Nafas Kevin memburu, tapi setiap kali menoleh, sosok itu makin dekat.

Sampai di depan rumah Kevin, mereka langsung masuk dan mengunci pintu rapat. Kevin terengah-engah, punggungnya basah oleh keringat.

Bayu menempelkan telinga ke pintu. “Nggak ada suara…”

 Kevin menggigil. “Bay… itu bukan Bu Minah. Itu sesuatu yang lain. Dari dulu gua udah sering liat, tapi malam ini… rasanya dia bener-bener ngejar kita.”

 Bayu menatap Kevin serius. “Lu yakin itu nggak ada hubungannya sama kasus Bu Minah?”

 Kevin menggeleng. “Nggak tahu… tapi perasaan gua, ada yang lebih besar dari sekadar pembunuhan.”

 Hening. Hanya suara jam dinding berdetak.

 Tiba-tiba… DUARRR! Pintu depan terguncang keras, seperti dihantam sesuatu. Bayu dan Kevin terloncat kaget. Guncangan kedua menyusul, lebih keras.

 Kevin menjerit kecil, sementara Bayu meraih kursi, siap menghadang.

 Namun setelah itu, hening kembali. Tak ada suara. Tak ada guncangan.

 Kevin perlahan mendekat ke jendela, menyingkap tirai sedikit. Dari balik kabut, ia melihat sosok itu berdiri di luar pagar rumah. Tak bergerak, hanya menatap lurus dengan mata merah menyala. Bisikan lirih terdengar di telinga Kevin, padahal tak ada siapa pun di belakangnya “Kalian terlalu jauh masuk… sekarang giliran kalian…”

 Kevin terperanjat, tubuhnya limbung. Bayu cepat menangkapnya.

  “Pin! Fokus! Jangan jatuh sekarang!”

 Dengan sisa tenaga, Kevin menatap Bayu. “Bay… ini belum selesai. Kebenaran Bu Minah Cuma permulaan. Ada bayangan yang lebih gelap di desa ini.”

Bayu mengepalkan tangan, wajahnya tegang. “Kalau gitu, kita harus siap. Lu dengan mata lu, gua dengan logika gua. Apapun yang ngintai, kita bakal buka satu per satu.”

 Di luar, sosok bayangan itu masih berdiri. Kabut menutupinya perlahan hingga menghilang, tapi hawa dingin yang menusuk tetap tertinggal.

 Malam itu, Kevin dan Bayu sadar mereka bukan hanya sedang menyelidiki pembunuhan. Mereka sudah masuk ke dalam permainan antara dunia nyata dan dunia gaib dan tidak ada jalan untuk kembali.

......**------------------**...

...

DISCLAMER❗️⚠️

Cerita ini hanya karangan semata jika ada perilaku/kata yang kasar mohon di maafkan. Dan apabila jika ada kesalahan dalam pengetikan kata/typo saya mohon maaf, namanya juga kan manusia mimin juga manusia lohh, jadi mohon dimaklumi ya hehe..

Sekali lagi mimin mengucapkan mohon maaf jika per episode di dalam cerita yang mimin buat terlalu pendek soalnya mimin sengaja membagi agar BAB nya banyak, dan biar kaliannya juga greget hehehe...😜

1
Siti Musyarofah
jangan serem 2 thor aslinya aku takut
Elisabeth Ratna Susanti
like plus 🌹 untuk karya keren ini 😍
Elisabeth Ratna Susanti
ahhhh aku merinding disko nih 😱
NonaNyala
teruslah berkarya dirikuu
Elisabeth Ratna Susanti
kasihan. Zikri
Elisabeth Ratna Susanti
awal yang bagus.....bikin merinding disko.....good job Thor 🥰👍
NonaNyala: aaaa makasih maee akuuu🥰🤩
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!