NovelToon NovelToon
Tumbal Rahim Ibu

Tumbal Rahim Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Kumpulan Cerita Horror / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:549
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

​"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
​Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
​Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
​Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Bekas Cakar di Perut Kirana

Dan di bawah bayangan tiang itu, Kirana melihat bayangan Dimas di lantai, berjalan ke arahnya, dan di belakangnya, tersembunyi, sebuah sosok kurus tinggi dengan mata menyala mengawasi dari balik pohon beringin.

Kirana bertindak cepat. Ia menjatuhkan dirinya ke lantai, berpura-pura tergelincir di atas lantai kayu yang licin.

Bruk!

Ia mengeluarkan erangan kesakitan yang meyakinkan, memegang perutnya. Ia yakin, suara itu cukup untuk menarik perhatian Nyi Laras dan para tamu tanpa menimbulkan kecurigaan.

Dimas, yang berjalan di koridor, langsung menoleh. "Kirana? Apa yang kau lakukan di luar kamar? Kau dengar aku harus pergi!"

Dimas berlari ke arahnya. Pada saat yang sama, Nyi Laras dan keempat pria berpakaian hitam itu berjalan cepat dari Pendopo menuju koridor.

"Ada apa, Mas? Tadi aku... aku mau muntah lagi, tidak sempat ke kamar mandi," Kirana berbisik, matanya berkaca kaca. Ia membiarkan air mata mengalir, air mata yang sejati, hasil dari ketakutan yang sesungguhnya.

"Kau ini ceroboh sekali!" Dimas membantunya berdiri. Ia melihat ke belakang, ke arah Nyi Laras yang kini berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya.

Nyi Laras menatap Kirana, wajahnya tanpa emosi, tetapi sorot matanya tajam dan menghakimi.

"Anak ini memang payah, Dimas," kata Nyi Laras datar. Ia kemudian beralih ke empat pria itu, tersenyum sinis. "Maaf, Tuan Tuan, sedikit drama keluarga. Silakan, kita lanjutkan di Pendopo. Dimas, cepat bawa istrimu kembali ke kamar dan kunci dia. Jangan sampai mengganggu negosiasi kita."

Kirana melihat Dimas bergidik sedikit mendengar kata 'negosiasi'.

"Ayo, Mas, cepat," Kirana berbisik, mendorong Dimas untuk membawanya pergi. Ia tahu setiap detik di sana adalah bahaya.

Dimas menggendong Kirana dengan kasar, membawanya kembali ke kamar. Ia mendorong Kirana ke atas ranjang.

"Kau dengar? Jangan membuat masalah! Ibu sedang menyelesaikan urusan kita. Ini demi kita, demi masa depan kita!" Dimas berbisik tegang, wajahnya mendekat. Ia mengeluarkan bau alkohol dan asap rokok yang menyengat.

"Urusan apa, Mas? Siapa mereka? Apakah mereka yang menagih utang?" tuntut Kirana.

"Diam!" Dimas menampar pelan pipi Kirana, tetapi tatapannya penuh ancaman. "Bukan urusanmu. Dokumen di kota hanya alasan. Aku menjaga Ibu dan tamu tamunya di Pendopo. Kau tetap di sini!"

Dimas mengunci pintu kembali. Kali ini, ia menyumpal lubang kunci dengan kain batik berdarah yang Kirana pasang tadi. Dimas tidak menyadari kain itu berlumuran darah.

"Aku akan kembali dalam empat jam. Jangan keluar!" Dimas mengancam, lalu menghilang.

Kirana sendirian lagi. Ia segera bangkit dari ranjang, air mata ia seka. Ia harus mencari 'Batu Hitam' dan mengunci Pendopo sebelum tamu itu melakukan apa pun.

Ia kembali menyentuh kunci yang tadi ia buka. Meskipun Dimas sudah menyumpalnya, ia yakin kuncinya masih bisa dibuka.

Tiba tiba, perutnya terasa panas, seperti terbakar. Kirana menjerit tertahan. Ia meraba perutnya di balik daster.

Ia menyalakan senter di ponselnya, mengarahkan cahaya ke perutnya yang membuncit.

Di sisi kanan perutnya, di mana janinnya terasa paling keras, ada tiga guratan merah tebal, seperti bekas cakar yang ditarik kuat. Guratan itu tidak berdarah, tetapi kulitnya robek dan memar, dan panasnya terasa seperti tersiram air mendidih.

Cakaran itu tampak baru, dan hanya bisa dilakukan oleh kuku yang sangat panjang dan tajam. Kirana yakin itu adalah perbuatan kucing hitam tanpa ekor yang ia lihat di loteng tadi.

Ia menutup mulutnya, menahan rasa mual dan takut. Mereka tidak hanya menguncinya, mereka juga menyakitinya secara fisik melalui perantara gaib.

Ia merangkak ke bawah ranjang, meraih cermin retak Kakaknya. Ia melihat pantulan dirinya di cermin retak itu. Di perutnya, di atas guratan cakar itu, ia melihat pantulan bayangan yang berbeda.

Bayangan Kirana di cermin itu terlihat utuh, tetapi bayangan perutnya tampak tembus pandang, dan di dalamnya, ada siluet samar wajah wanita tanpa kulit yang tersenyum padanya.

"Kau adalah milikku," bisik suara yang datang dari dalam cermin, suara yang dingin dan berat, sama dengan suara yang ia dengar dari balik pintu.

Kirana melempar cermin itu ke lantai. Ia kini menghadapi dua musuh: Nyi Laras yang manusia, dan entitas yang bersemayam di dalam rahimnya sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!