Lima abad setelah hilangnya Pendekar Kaisar, dunia persilatan terbelah. Pengguna tombak diburu dan dianggap hina, sementara sekte-sekte pedang berkuasa dengan tangan besi.
Zilong, pewaris terakhir Tombak Naga Langit, turun gunung untuk menyatukan kembali persaudaraan yang hancur. Ditemani Xiao Bai, gadis siluman rubah, dan Jian Chen, si jenius pedang, Zilong mengembara membawa Panji Pengembara yang kini didukung oleh dua sekte pedang terbesar.
Di tengah kebangkitan Kaisar Iblis dan intrik berdarah, mampukah satu tombak menantang dunia demi kedamaian, ataukah sejarah akan kembali tertulis dalam genangan darah?
"Satu Tombak menantang dunia, satu Pedang menjaga jiwa, dan satu Panji menyatukan semua."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Perbatasan Tak Kasat Mata
Semakin dekat mereka dengan koordinat Kota Terlarang, semakin drastis perubahan alam di sekitar mereka. Tanah di bawah kaki mereka berubah menjadi abu-abu pucat, dan pepohonan di sini tidak memiliki daun—hanya dahan-dahan runcing yang menyerupai jemari mayat yang menggapai langit.
"Berhenti!" bisik Zilong tiba-tiba. Ia mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat agar Jian Chen dan Xiao Bai tidak bergerak satu inci pun.
Zilong mengambil sehelai daun kering dan melemparkannya ke depan. Sesaat sebelum daun itu menyentuh tanah, sebuah benang tipis yang nyaris transparan berkilat terkena sisa cahaya. Dalam sekejap, daun itu terbelah menjadi lusinan potongan halus.
"Benang Sutra Pemutus Jiwa!" gumam Jian Chen dengan wajah pucat. "Jika kau melangkah sedikit lagi, kakimu akan terpisah dari tubuhmu tanpa kau sadari."
Mereka kini berada di "Zona Kematian", wilayah penyangga sebelum masuk ke Kota Terlarang. Di sini, kekuatan murni tidak lebih berguna daripada ketelitian. Zilong tidak lagi memanggul tombaknya dengan santai; ia memegang bagian tengah gagangnya, menggunakan indra perasanya untuk mendeteksi getaran di udara.
"Xiao Bai, bisakah kau merasakan keberadaan penjaga?" tanya Zilong pelan.
Xiao Bai memejamkan mata, telinga rubahnya bergerak halus. "Ada denyut nadi di bawah tanah... dan di atas pohon. Mereka tidak bernapas secara normal. Mereka menggunakan teknik Pernapasan Kura-kura untuk menyembunyikan hawa keberadaan. Kita sedang dikepung, tapi mereka belum menyerang."
"Mereka menunggu kita masuk lebih dalam ke area jebakan," Jian Chen menambahkan sambil mengalirkan Qi ke matanya agar bisa melihat benang-benang tipis di depan mereka. "Zilong, kita tidak bisa bertarung secara terbuka di sini. Satu ledakan energi saja bisa memicu ribuan jebakan mekanis di sekitar kita."
Zilong mengangguk. "Kita akan bergerak dalam formasi Langkah Naga Mengambang. Ikuti jejak kakiku dengan tepat. Jangan lepaskan energi Qi kalian secara meledak, biarkan ia mengalir tipis di permukaan kulit untuk perlindungan."
Zilong mulai melangkah. Gerakannya sangat lambat dan anggun, kakinya seolah-olah tidak menyentuh tanah. Setiap langkahnya menghindari benang sutra, pelat tekanan di bawah tanah, dan sensor gerak gaib.
Xiao Bai mengikuti dengan kelincahan silumannya, sementara Jian Chen harus berkonsentrasi penuh agar pedangnya tidak menyentuh dahan pohon yang dipasangi racun kontak.
Tiba-tiba, suara kepakan sayap terdengar. Seekor burung gagak bermata merah terbang rendah ke arah mereka.
"Jangan ditebas!" peringat Zilong saat melihat tangan Jian Chen bergerak ke gagang pedang. "Itu gagak pengintai. Jika darahnya tumpah, baunya akan memanggil seluruh pasukan bayangan ke posisi ini."
Xiao Bai dengan cepat menjentikkan jarinya, melepaskan sedikit aroma penenang yang membuat burung itu bingung dan terbang menjauh sebelum menyadari kehadiran mereka.
Setelah berjam-jam bergerak dalam kesunyian yang menyiksa saraf, mereka tiba di sebuah bukit yang menghadap langsung ke sebuah lembah raksasa. Di tengah lembah itu, berdirilah Kota Terlarang.
Kota itu tidak memiliki lampu. Ia tampak seperti lubang hitam besar di tengah bumi. Temboknya terbuat dari batu obsidian yang menyerap cahaya, dan menara-menaranya tinggi meruncing, dijaga oleh bayangan-bayangan yang bergerak secara mekanis.
"Itu dia!" bisik Zilong. Ia melihat ke arah gerbang bawah tanah yang dijaga oleh dua patung raksasa berbentuk malaikat maut. "Penjara itu pasti ada di bawah struktur utama."
"Zilong," Jian Chen memegang bahu kawannya. "Mulai dari sini, satu kesalahan kecil berarti kematian bagi kita bertiga. Tidak ada bantuan, tidak ada jembatan pengampunan. Kau yakin ingin melanjutkan?"
Zilong menatap bendera putih di punggungnya yang kini ia lipat agar tidak mencolok. "Jika aku takut mati, aku tidak akan pernah berani memegang tombak ini. Kita masuk saat pergantian jaga tengah malam."
Mereka bertiga kemudian merayap di balik bebatuan, menyatu dengan kegelapan, menunggu saat yang tepat untuk menyusup ke dalam sarang serigala yang paling ditakuti di dunia persilatan.