Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: Ombak yang Merusak Niat, Tawakal yang Diuji
Badai Penghancur
Tengah malam, Pulau Sunyi Bara dilanda badai yang ekstrem. Angin menderu melewati Pohon Cemara Laut yang menjadi tempatnya berlindung, dan hujan turun seperti dicurahkan dari langit. Suara badai itu bukan lagi bisikan laut yang misterius, melainkan raungan yang menakutkan, menguji keberanian dan kekuatan fisik Bara.
Bara meringkuk di bawah Pohon Cemara Laut, ranting-ranting tebalnya memberikan perlindungan yang minimal. Ia menggigil hebat. Namun, kedinginan fisik tidak sebanding dengan rasa panik yang melandanya.
Ia panik. Ia menyadari ia meninggalkan Buku Doa Musafir di Cadas Sunyi, di bawah lapisan pasir tipis, setelah ia selesai menulis janji spiritual untuk Nirmala. Ia ingat, saat ia merangkak tadi malam mencari pensil Mala yang hilang, ia tidak sempat membawa buku itu kembali ke tempat berlindung yang aman.
Aku harus kembali ke Cadas Sunyi. Aku harus selamatkan buku itu!
Bara bergegas, nekat menembus badai yang brutal. Setiap langkahnya terasa seperti perjuangan menembus dinding air. Matanya harus menyipit untuk menghindari butiran hujan yang menyakitkan. Ia mengabaikan bahaya tersembunyi seperti ular laut yang mungkin terbawa arus pasang, atau akar Bakau Gergasi yang licin dan siap membuatnya tersandung.
Rasa frustrasi karena kehilangan pensil Mala terasa kecil dibandingkan ancaman nyata ini. Buku itu adalah perwujudan Tawakal Murni-nya; ia tidak boleh kehilangan bukti kronologis takdir keluarganya.
Bara merangkak dan berjalan terseok-seok mencapai Cadas Sunyi. Angin di area terbuka itu terasa lebih ganas. Ia menyentuh area pasir tempat ia menyembunyikan buku. Pasir itu sudah basah kuyup, bahkan terasa seperti lumpur. Ia menggali dengan tangan yang gemetar dan terluka.
Ia menemukan Buku Doa Musafirnya. Buku itu tidak hanyut, tetapi setengah terendam air, terutama bagian bawahnya. Bara memeluk buku itu erat-erat, kembali merangkak mencari perlindungan ke bawah salah satu Akar Bakau Gergasi yang besar, berharap akar-akar itu memberinya kehangatan yang tak ia dapatkan.
Dengan tangan gemetar, Bara mencoba membuka halaman demi halaman. Halaman-halaman awal, yang berisi doa-doa umum dan catatan harian, masih bisa dibaca, meskipun sedikit kabur.
Namun, saat ia mencapai halaman tengah—halaman Janji Terpahit untuk Nirmala, di mana ia mencurahkan Ikhtiar Tertinggi-nya—hati Bara terasa dihantam palu godam.
Tulisan di halaman itu kini tintanya kabur dan kertasnya robek di beberapa bagian, terutama bagian bawah tempat ia menulis nama Mala. Tulisan terpentingnya tidak terbaca lagi, seperti noda air mata yang melunturkan janji.
Bara menjerit dalam hati. Ini adalah pukulan terbesar terhadap imannya. Ia sudah kehilangan pensil Mala. Kini, ia kehilangan bukti fisik dari ikhtiar spiritualnya.
Aku gagal. Aku bahkan tidak bisa menjaga janji yang tertulis di kertas.
Rasa frustrasi melanda Bara. Ia kembali ke titik nol Tawakal Murni. Ia harus meyakini bahwa doanya didengar dan diterima, walau tanpa bukti fisik apa pun. Ia tidak bisa menulisnya ulang—semua alat tulisnya sudah hilang atau rusak. Ia kini benar-benar harus percaya tanpa melihat.
“Ya Tuhan,” Bara berbisik, suaranya putus asa, “Aku tidak punya apa-apa lagi. Hanya keikhlasan ini yang kumiliki.”
Kemarahan dan Tekanan Ibu
Pagi hari di rumah Rina, matahari bersinar, tetapi badai emosional baru saja dimulai.
Bunda Ida masuk ke rumah tanpa mengetuk, wajahnya menunjukkan kemarahan besar. Ia tahu Rina tidak jadi menjual perhiasan (sebuah keputusan yang dipicu oleh ketukan pintu misterius tadi malam). Bunda Ida menganggap Rina sudah tidak waras, terlalu terobsesi pada Bara hingga mengabaikan realitas finansial anak-anaknya.
“Rina, mana berkas Harjo?” tanya Bunda Ida lugas, berdiri di ruang tamu, menatap tumpukan tagihan yang masih ada di meja.
Rina, yang sedang menyiapkan sarapan untuk Arka, datang dengan wajah lelah. “Sudah kusimpan, Bu. Saya tidak jadi menjual perhiasan itu. Saya tidak jadi menandatangani akta kematian Bara.”
Bunda Ida mendengus. Ia berjalan ke meja, mengambil tumpukan tagihan. “Sampai kapan kamu mau jadi istri yang delusional? Martabat tidak mengisi perut anakmu. Harjo memberimu batas waktu. Aku tidak akan membiarkan Arka dan Mala kelaparan karena kamu menunggu takdir yang tak pasti!”
“Saya yakin Bara masih hidup, Bu. Saya merasakan sesuatu,” Rina mencoba membela diri, suaranya lelah.
“Merasa apa? Rasa itu hanya membuatmu gila, Rina!” Bunda Ida menunjuk ke meja. “Aku sudah putuskan. Aku ambil alih kendali keuangan ini.”
Bunda Ida berjalan ke kamar, mencari tas tangan Rina, dan kembali dengan buku tabungan Rina. Ia menyita buku tabungan itu.
“Aku yang akan mengurus semua tagihan Arka. Aku yang akan mencarikanmu pekerjaan daring yang pantas, pekerjaan yang masuk akal, bukan angan-angan,” kata Bunda Ida.
Rina terkejut. “Ibu tidak bisa mengambil buku tabunganku! Itu aset Bara dan aku!”
“Aku bisa, Rina! Aku mengambilnya demi cucu-cucuku!” Bunda Ida menaikkan nada suaranya. “Aku tidak akan membiarkan anak-anakku kelaparan hanya karena kau menunggu takdir yang tak pasti! Martabatmu sebagai istri sudah terkikis saat kau tidak bisa membayar tagihan! Kau harus realistis!”
Rina merasa martabatnya sebagai seorang istri dan ibu telah diinjak-injak. Ia merasa tidak mampu dan tidak kompeten di mata ibunya.
“Saya akan mencari uang sendiri, Bu! Saya janji!” Rina memohon.
“Janji apa? Janji tidak membayar tagihan? Cukup Rina. Sampai Bara ditemukan, aku yang urus ini. Kau fokus saja pada anak-anak.”
Bunda Ida meletakkan dompet Rina kembali ke meja, tetapi buku tabungan itu ia masukkan ke tasnya. Ia pergi tanpa pamit, meninggalkan Rina dalam keheningan yang memekakkan telinga.
Rina tidak berdaya. Ia hanya bisa menangis dalam diam setelah Bunda Ida pergi, merasakan beban finansial dan mental yang luar biasa. Ia merasa ia telah kehilangan kendali penuh atas kehidupannya dan martabatnya sebagai istri.
Ia berjalan ke sofa, jatuh terduduk. Air mata Rina tumpah tanpa bisa ia tahan lagi. Ini adalah puncak kelelahan, setelah berminggu-minggu menahan tekanan Harjo, Bunda Ida, dan kekhawatiran atas Arka.
“Aku tidak kuat, Ya Allah. Aku tidak kuat,” Rina berbisik di sela isak tangisnya.
Luka yang Semakin Dalam
Nirmala (Mala), yang sunyi dan penurut, baru saja keluar dari kamarnya. Ia tidak rewel, tidak meminta apa-apa. Ia hanya haus.
Mala berjalan pelan menuju dapur, tetapi ia berhenti tepat di ambang pintu ruang tamu. Ia melihat ibunya terpuruk. Bahu Rina gemetar hebat menahan tangis, wajahnya basah. Rina tidak menyadari kehadiran Mala.
Mala membeku di tempat. Ia mengira kesedihan ini disebabkan oleh Ayah yang tak kembali.
Ayah tidak kembali, dan Ibu menderita karenanya.
Luka inti Mala yang baru saja menganga setelah ia mendengar Rina di telepon, kini diperparah oleh pemandangan ibunya yang menangis tak berdaya. Ia menyimpulkan bahwa ia dan ibunya adalah korban dari Ayahnya yang tidak cukup penting baginya untuk pulang.
Mala menarik napas dalam, memeluk boneka lamanya erat-erat. Ia tidak bergerak. Ia tidak mendekati ibunya, karena ia tahu, ia adalah anak yang tidak boleh merepotkan. Ia hanya berbalik perlahan, tanpa menimbulkan suara, dan kembali ke kamarnya.
Rina, yang masih terisak, mengangkat wajah. Ia tidak menyadari bahwa putrinya yang paling sunyi telah menyaksikan keruntuhan emosionalnya, dan menarik kesimpulan yang menyakitkan.
Krisis Fisik di Pulau
Jauh di Pulau Sunyi, Bara masih meringkuk di bawah Akar Bakau Gergasi, memeluk Buku Doa Musafir yang sebagian halamannya telah rusak oleh badai. Dingin menyerang tulangnya. Ia merasa kedinginan dan frustrasi, keyakinannya diuji tanpa bukti fisik apa pun.
Ia menatap halaman janji Mala yang rusak itu. Ia tahu ia harus segera mencari tempat berlindung yang lebih baik dan mengeringkan buku itu, sebelum seluruh kertasnya hancur.
Bara memaksa dirinya berdiri. Ia memandang ke laut. Badai sudah mulai mereda, meninggalkan air laut yang tampak keruh dan arus yang deras.
Tiba-tiba, mata Bara menangkap gerakan cepat di antara batu-batu basah di dekatnya. Itu adalah seekor ular laut, bergerak cepat, terkejut oleh arus badai yang telah berlalu.
Ular itu meluncur menuju Bara, mencari tempat yang kering. Bara tidak punya tenaga untuk lari. Ia hanya mampu mengangkat Tongkat Musafirnya sebagai tameng. Ular itu mendesis, lalu meluncur menjauh ke arah semak berduri.
Bara ambruk kembali ke tanah. Ia selamat dari badai dan ular, tetapi ia merasa ia telah mencapai titik nol kelelahan fisik. Ia tidak hanya lelah fisik, tetapi juga lelah spiritual karena kehilangan bukti janji yang ia tulis.
Divine Echo Tiba
Rina di rumah, di ambang keruntuhan, akhirnya berdiri. Ia memijat pelipisnya. Tekanan Bunda Ida, beban finansial, dan kesedihan Mala membuatnya merasa lelah hingga tubuhnya kolaps.
Ia terduduk di lantai, merasakan keputusasaan mendalam. Ia merasa tidak waras dan terlalu lelah untuk berjuang lagi.
Aku terlalu lelah untuk percaya. Aku terlalu lelah untuk menunggu.
Saat Rina bersandar di dinding, tubuhnya lemas dan hampir pingsan, ia memejamkan mata. Ia berada di puncak kelelahan dan ketakutan gila, di ambang keruntuhan mental.
Pada saat itu, di tengah heningnya rumah setelah Bunda Ida pergi dan Mala kembali ke kamarnya, Rina tiba-tiba mendengar sesuatu. Bukan suara ketukan. Melainkan suara yang sangat samar, hampir seperti gema, tetapi terasa menenangkan dan hangat di hatinya yang dingin.
Tenang.
Hanya satu kata. Gema "Tenang" yang sangat samar, nyaris seperti bisikan angin di malam hari. Suara itu terasa asing, namun terasa akrab seperti aroma parfum Bara yang sekilas ia cium. Gema itu muncul dan menghilang dengan cepat, tetapi berhasil menghentikan getaran panik di dada Rina.
Rina membuka mata, kaget. Itu adalah Divine Echo pertama yang sesungguhnya. Ia menyadari ia tidak gila. Sesuatu, atau Seseorang, telah merespons titik terendah Tawakal-nya. Rina kini memiliki kekuatan untuk bertahan, tetapi ia ketakutan akan makna di balik gema tersebut.