Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 — Secercah Terang di Antara Reruntuhan
Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena dada Zahwa seperti kosong, menggantung tanpa tempat kembali. Dengan satu koper kecil yang hanya berisi beberapa pasang baju, ia melangkah menjauh dari rumah yang selama ini ia sebut “rumah tangga”.
Ia tak mungkin pulang ke rumah orang tuanya di kampung.
Ia tahu, jika ayah ibunya melihat keadaannya seperti ini, mereka akan hancur hati. Lebih baik ia menanggung semuanya sendiri dulu, sampai pikirannya jernih.
Dengan langkah pelan, ia menuju rumah Bu Tiara, tempat ia biasa membantu dan juga tempat ia menitipkan frozen food dagangannya. Mumpung masih pagi,setidaknya belum banyak orang yang bertanya-tanya kenapa matanya bengkak.
Setibanya di depan pagar rumah sederhana milik Bu Tiara, baru terasa bahwa ia bahkan lupa membawa air minum. Tenggorokannya kering, tetapi ia memaksakan senyum ketika pintu dibuka.
“Zahwa? Pagi benar… Astaga, kamu kenapa? Masuk dulu nak,” ucap Bu Tiara yang langsung menangkap keruhnya wajah Zahwa.
Begitu duduk, Zahwa tak langsung bicara.
Ia membuka aplikasi m-banking, dan angka yang muncul membuat tenggorokannya mengencang.
Saldo Rp 70.000.
Itu saja yang tersisa.
Kemarin ia memang membeli beberapa bahan untuk stok usaha, tidak menyangka setelah semua konflik dan pengusiran semalam… ia akan berakhir begini. Tanpa rumah, tanpa suami yang membela, dan tanpa tabungan.
“Bu… aku… boleh duduk di sini sebentar? Tenangin diri,” suara Zahwa pelan, nyaris putus.
Bu Tiara tidak banyak bertanya. Ia hanya mengambilkan segelas teh hangat dan menepuk bahunya. “Tenang, Nak. Perlahan cerita kalau sudah siap.”
Belum sempat ia menata napas, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.
Zahwa hampir mengabaikan, siapa juga yang akan mencari dirinya pagi-pagi begini?
Tapi karena penasaran, ia angkat juga.
“Assalamualaikum… ini Zahwa?”
“Wa’alaikumsalam. Betul, ini siapa ya?”
“ Ini saya nduk, Pak Arham, yang waktu itu beli rumah lewat kamu.”
Mendengar nama itu, punggung Zahwa otomatis tegak.
Pak Arham melanjutkan, “Maaf sekali nak … saya kehilangan ponsel beberapa minggu kemarin. Saya baru bisa menghubungi. Saya mau memberitahu bahwa komisi untuk kamu sudah cair. Saya sudah minta staf saya transferkan.”
Dunia Zahwa seperti berhenti sejenak.
Komisi?
Sekarang?
Saat ia benar-benar tidak punya apa-apa?
“Ya Allah…,” bisiknya lirih, hampir tidak keluar suara.
“Besok atau lusa paling lambat sudah masuk. Tolong kabari kalau sudah diterima,” ucap Pak Arham sopan sebelum menutup telepon.
Begitu panggilan berakhir, air mata Zahwa menetes tanpa bisa ditahan. Ia menutup mulutnya agar tangis tak pecah keras. Rasa syukur dan sedih bercampur jadi satu.
Bu Tiara hanya memeluknya.
“Lihat, Nak… Allah selalu punya jalan di saat kita merasa buntu.”
Setelah beberapa menit, Zahwa mengusap pipinya. Belum ada tempat tinggal, belum jelas akan ke mana, tapi setidaknya ia tahu: besok ia tidak akan kelaparan.
Namun, hidup memang tidak berhenti memberi ujian, kadang justru langsung dengan peluang baru.
Saat sedang menenangkan diri, ponsel Zahwa berbunyi lagi. Kali ini pesan dari nomor asing.
> “Halo, saya dapat kontak Mbak Zahwa dari pelanggan Bu Tiara.
Saya Daniel Arga. Ibu saya orang Indonesia, tapi kami tinggal di luar negeri.
Ibu saya rindu masakan Indonesia yang otentik.
Bolehkah saya pesan sample cooking untuk dicicip?
Kalau cocok, saya ingin bekerja sama.”
Zahwa menatap layar itu lama.
Nama asing, nada profesional, dan permintaan yang tidak main-main.
Seperti ada sedikit cahaya menyelinap ke celah hatinya yang tadi gelap.
Ia belum punya tempat tinggal, tapi ia masih punya keahlian.
Dan keahlian itu kini dipanggil oleh seseorang yang mungkin bisa membuka jalan baru.
Perlahan, Zahwa mengetik balasan.
Tangan sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasakan harapan.
> “InsyaAllah bisa, Pak Daniel.
Beri saya waktu hari ini untuk menyiapkan semuanya.”
Bu Tiara tersenyum ketika Zahwa menutup ponsel.
“Nak… hidup memang suka menjatuhkan seseorang tiba-tiba, tapi lihat… bangunnya juga Allah kasih tangga.”
Zahwa mengangguk, menatap koper kecilnya.
Ia tak punya banyak hal tersisa di dunia.
Tapi ia punya tekad, ilmu, dan kerja keras.
Dan mungkin, baru mungkin, Allah sedang menyiapkan bab baru untuk hidupnya.