Dara yang baru saja berumur 25 tahun mendapati dirinya tengah hamil. Hidup sebatang kara di kota orang bukanlah hal yang mudah. Saat itu Dara yang berniat untuk membantu teman kerjanya mengantarkan pesanan malah terjebak bersama pria mabuk yang tidak dia ketahui asal usulnya.
"ya Tuhan, apa yang telah kau lakukan Dara."
setelah malam itu Dara memutuskan untuk pergi sebelum pria yang bersamanya itu terbangun, dia bergegas pergi dari sana sebelum masalahnya semakin memburuk.
Tapi hari-hari tidak pernah berjalan seperti biasanya setelah malam itu, apalagi saat mengetahui jika dia tengah mengandung. apakah dia harus meminta pertanggungjawaban pada lelaki itu atau membesarkan anak itu sendirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Malam ini Dara tengah meringkuk di atas kasur tipisnya. Setelah dari rumah sakit itu dia langsung pulang kerumahnya dan tak lupa mengabari Rina jika dia tidak masuk hari ini. Dan dari tadi pula tidak ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya, hanya minum saja yang ada dikontrakannya.
Uangnya telah habis untuk bayar ongkos ojek dan bayar kontrakan. Dan baru beberapa hari lagi dia gajian.
" kenapa sih harus aku tuhan" Niat hatinya ingin memperbaiki kehidupan tapi kenyataannya malah kebalikannya.
Dulu sebelum orang tuanya meninggal, dara tidak perlu bekerja sekeras ini. Orang tuanya memang memiliki ekonomi yang stabil dan mereka juga memiliki sebuah toko. Tapi setelah orang tuanya meninggal semuanya habis untuk bayar hutang.
Ia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya pelan. “Aku capek banget…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. “Tapi aku nggak bisa nyerah, kan?”
Tangannya kembali mengelus perutnya yang masih datar, lembut dan penuh kasih.
“Maafin Mama ya, Nak. Kamu pasti ngerasa kalau Mama sering nangis akhir-akhir ini. Tapi Mama janji, Mama bakal kuat buat kamu. Sekalipun dunia nggak berpihak, Mama nggak akan pergi dari kamu. Setitik air mata jatuh, mengalir di pelipisnya.
Dara memeluk bantal kecilnya erat, tubuhnya menggigil menahan dingin dan letih. “Besok aku harus kerja lagi. Nggak bisa terus-terusan gini. Aku nggak boleh lemah.”
Tak lama kemudian, kelopak matanya menutup sepenuhnya. Nafasnya teratur, dengan wajahnya tenang.
.......
Arkan baru saja tiba dikontrakkannya dara, jam sudah menunjukkan jam sepuluh lewat. Sejenak dia ragu apa dara sudah tidur jam segini, tapi hatinya tidak tenang jika belum melihatnya langsung.
Tok. Tok. Tok.
“Dara,” panggilnya. “Ini aku, Arkan.”
Tak ada jawaban. Hening.
Arkan mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras. “Dara, kamu di dalam?”
Masih tidak ada suara.
Ia meraih gagang pintu, mencoba memutarnya. Pintu itu terbuka perlahan, berderit pelan. Tidak terkunci.
Arkan mengernyit. “Kenapa pintunya nggak dikunci…” bisiknya waspada.
Ia melangkah masuk pelan-pelan. Lampu diruangan itu sudah dimatikan hanya ada lampu samar dari kamarnya dara dan dapur yang menerangi ruang tamu itu.
"Dara" Panggilnya lagi, tapi tidak ada sahutan.
Arkan perlahan mendekati kamarnya dara. matanya langsung tertuju pada Dara.
Wanita itu tertidur meringkuk di atas kasur tipis, tubuhnya berbalut selimut lusuh, wajahnya tampak pucat. Di sebelahnya, ada gelas kosong dan botol air mineral setengah terisi.
Arkan melangkah mendekat, menatap wajah itu yang tampak begitu lelah. Ia bisa melihat sisa air mata yang mengering di pipinya.
“Dara…” panggilnya pelan. Tapi wanita itu tidak bergerak.
Arkan berjongkok di samping kasur, menatapnya lebih dekat. Ia bisa mendengar napasnya pelan tapi masih teratur.
Setelah itu da langsung keluar dari kamarnya dara.
Pandangannya beralih ke sekeliling ruangan. Tak ada makanan, hanya beberapa bungkus mi instan kosong dan pakaian yang digantung seadanya di paku dinding. Tempat itu bahkan tidak layak disebut rumah bagi seorang wanita yang sedang hamil.
" Apa yang dipikirkan wanita itu, kenapa tidak ada makanan. sama sekali. Apa dia hanya makan mie instan saja."
Untung saja tadi sebelum kesini Arkan berinisiatif untuk membeli susu ibu hamil dan berbelanja sedikit untuk kebutuhan dapur.
Tanpa membuang waktu, Arkan keluar menuju mobilnya yang terparkir di depan kontrakan. Ia membuka bagasi, mengambil dua kantong besar berisi belanjaan yang tadi ia beli di minimarket.
“Setidaknya ini bisa bantu dia untuk beberapa hari,” gumamnya pelan, berjalan kembali ke dalam rumah.
Begitu masuk, ia melangkah ke dapur kecil yang menempel di ruang utama. Tempat itu gelap dan sempit, dengan rak piring yang hanya berisi dua gelas dan satu piring. Arkan menyalakan lampu dapur dan mulai menata belanjaannya satu per satu.
Ia menaruh bahan makanan di rak, menata susu di meja, dan memastikan semuanya tersusun rapi. Tangannya sempat berhenti ketika melihat panci kecil di kompor yang masih ada sisa air rebusan mie instan. Ia mendesah pelan.
“Jadi ini yang kamu makan akhir-akhir ini, ya?” bisiknya lirih, menatap panci itu dengan tatapan campuran iba dan rasa bersalah.
Saat menata susu di atas meja, Arkan berhenti sejenak. Ia menatap tulisan di kemasan itu “Untuk ibu hamil, menjaga kesehatan ibu dan janin.”
Senyum tipis tersungging di bibirnya.
Setelah semua beres, Arkan kembali menatap kamar tempat Dara tidur. Ia berdiri di ambang pintu, memperhatikan wajah wanita itu dari jauh.
Arkan mendekat sedikit, menarik selimut Dara agar menutupi bahunya yang tersingkap. Ia melakukannya perlahan agar tak membangunkan wanita itu.
“Tidurlah… kamu butuh istirahat,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri.
Setelah itu, ia berjalan ke ruang tamu kecil. Di sana ada kursi panjang dari kayu yang tampak usang, dengan bantal tipis di ujungnya. Arkan menarik napas panjang lagi, lalu duduk di sana.
" Apa sih yang kamu lakukan Arkan" bisa saja dia meninggalkan dara dan tidak peduli terhadapnya, karena wanita itu juga tidak memintanya untuk bertanggung jawab. Tapi seolah ada sesuatu yang janggal di hatinya.
Suara jangkrik terdengar di luar, bersahutan dengan bunyi angin yang menembus celah jendela. Arkan merapatkan jaketnya, lalu merebahkan tubuh di kursi panjang itu. Meski keras dan sempit, ia tak peduli.