NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:460
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9. Jadi Itu Namanya

Pertandingan akhirnya benar-benar dimulai. Suasana di lapangan indoor begitu riuh, sorakan penonton menggema dari berbagai sudut. Spanduk warna-warni berkibar, suara drum ditabuh keras, dan yel-yel masing-masing sekolah terdengar saling bersahutan, membuat suasana semakin panas.

Kedua tim masuk ke area lapangan dengan penuh percaya diri. Tepuk tangan menggema begitu nama mereka dipanggil satu per satu. Begitu juga Rayven dan tim Ravenclaw, yang disambut teriakan histeris dari para penggemarnya.

“Rayven! Rayven! Nomor satu!” teriak beberapa siswi dari tribun dengan wajah memerah karena histeris.

Ketua tim dari masing-masing sekolah maju, saling berjabat tangan, lalu pertandingan pun dimulai.

Bola melayang ke udara—tip off. Permainan berlangsung dengan cepat, keras, dan penuh semangat. Sejak menit pertama, kedua tim saling adu strategi. Point demi point terus berganti, membuat penonton semakin tegang.

“Go… go! Ayo tembak, tembak!” sorak pendukung sekolah sebelah.

“Defense! Defense!” teriak pendukung Ravenclaw membalas.

Sorakan seakan menelan setiap suara lain.

Babak demi babak berjalan. Pada kuarter pertama dan kedua, skor masih seimbang. Kedua tim sama-sama bermain agresif, membuat para penonton menahan napas setiap kali bola hampir masuk ring.

Namun memasuki babak ketiga, Ravenclaw mulai unggul tipis. Rayven, sebagai kapten, bermain dengan penuh energi. Ia melakukan beberapa kali steal dan berhasil memasukkan bola dengan dunk yang membuat seluruh tribun heboh.

“Woooo! Gila Rayven!” jerit salah satu penonton dari tribun.

Meski tubuhnya terasa lelah, Rayven memaksakan diri untuk terus bermain. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya fokus pada permainan. Sesekali, ia menoleh ke arah tribun, mencari sosok gadis itu—Alendra.

Kuarter keempat pun tiba. Suasana semakin panas. Alendra yang duduk bersama Nayla, Selena dan Elvira, mencoba bertahan dengan tubuhnya yang terasa semakin lemas. Pandangannya berkunang-kunang, namun ia tetap memaksakan diri tersenyum saat teman-temannya bersorak.

“Len, lo nggak apa-apa? Dari tadi pucat banget,” bisik Selena khawatir.

Alendra menggeleng pelan. “Gue… gue oke kok,” jawabnya, meski suaranya lirih.

Teriakan penonton semakin membahana ketika Ravenclaw berhasil memperlebar keunggulan. Hingga peluit panjang berbunyi, skor akhir menunjukkan kemenangan untuk sekolah Rayven.

“Yeeees! Kita menang!” sorak Julian sambil menepuk bahu Rayven. Seluruh anggota tim berpelukan, menyalurkan kebahagiaan atas usaha mereka. Tribun pendukung Ravenclaw meledak dengan sorakan riang.

 

Ruang ganti tim Ravenclaw dipenuhi tawa dan sorakan. Keringat masih menetes di wajah mereka, namun rasa lelah tertutupi oleh euforia kemenangan.

“Anjir, gila! Kita juara lagi tahun ini!” seru Julian sambil menepuk-nepuk dada.

“Udah gue bilang kan, Ravenclaw itu nggak ada matinya,” timpal Aksa dengan senyum puas.

Darren meletakkan handuk di bahunya, lalu meneguk air mineral sampai setengah botol habis. “Lo main gokil banget, Ven. Kalau lo nggak ada, kita pasti udah keteteran.”

Rayven hanya tersenyum tipis, masih terengah, lalu duduk di bangku panjang. Teman-temannya larut dalam kegembiraan, namun pikirannya sedikit melayang. Bayangan gadis yang ia lihat di lorong sekolah siang tadi masih mengusiknya. Gadis itu… entah kenapa tatapannya terasa membekas.

“Eh, ngomong-ngomong soal tadi, lo pada sadar nggak sih?” Axel tiba-tiba membuka percakapan, matanya menyipit penuh arti.

“Sadar apaan?” tanya Kenzo yang sedang sibuk mengikat kembali tali sepatunya.

Axel melirik Rayven sebelum menjawab, seakan tahu ada sesuatu. “Gadis yang tadi gue lihat di lorong. Yang sempet lewat pas kita mau ke lapangan. Dia sempet kayak… kaget gitu waktu ngelihat lo, Ven.”

Rayven mendongak perlahan, matanya menajam. “Lo kenal?” tanyanya datar.

Axel mengangkat bahu, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding. “Nggak kenal pribadi sih, tapi gue tahu namanya. Gue sempet denger dari anak-anak cewek. Katanya dia murid beasiswa disini, lumayan terkenal soalnya sering ikut acara sekolah.”

Julian menimpali sambil mengernyit penasaran. “Lumayan terkenal gimana maksudnya?”

Axel tersenyum kecil, lalu menjawab santai, “Namanya Alendra. Katanya salah satu murid berprestasi, sering bantu isi piala dan acara di sekolah kita. Anak pintar gitu lah.”

“A—Alendra?” Rayven mengulang pelan, seolah nama itu berat keluar dari mulutnya.

Alvaro yang sejak tadi diam ikut menimpali. “Oh, gue pernah denger tuh nama. Kayak pernah disebut pas lomba akademik bulan lalu. Anak itu sering jadi perwakilan sekolah kita, kan?”

“Bener,” sahut Axel sambil mengangguk. “Bukan cuma pintar, katanya dia juga disukai banyak guru karena sopan. Tapi jujur aja, kayaknya ada sesuatu di balik tatapannya tadi.”

Rayven menunduk, jemarinya meremas botol air mineral hingga plastiknya berkerut. Tatapan itu… seakan ia pernah melihatnya sebelumnya. Bukan di lorong sekolah, tapi di malam yang jauh lebih kelam.

Kenzo terkekeh, mencoba memecah suasana. “Ven, jangan bilang lo kepincut sama anak piala sekolah? Wah, kapten kita akhirnya punya tipe lain selain fans-fans lo yang ngejerit tiap lo main.”

Tawa kecil terdengar dari Darren dan Julian, tapi Rayven hanya diam, matanya menajam penuh pikiran.

Alendra… jadi itu namanya.

Ruang ganti makin riuh. Musik dari speaker kecil yang dibawa Julian diputar keras-keras, membuat suasana semakin hidup. Beberapa anggota tim bahkan sudah mulai menari konyol dengan tubuh masih berkeringat, menyalurkan rasa lega setelah berbulan-bulan latihan terbayar dengan kemenangan.

“Besok pasti berita sekolah rame banget. Kita juara, bro!” seru Aksa sambil mengangkat botol minuman ke udara, disambut sorakan yang lain.

Alvaro menyenggol bahu Kenzo. “Udah siap belum lo jadi idola cewek-cewek sekolah sebelah? Liat tuh tadi ada yang sampe nangis pas kita menang.”

Kenzo tertawa terbahak. “Itu bukan buat gue lah, pasti buat Rayven. Kapten kita kan yang paling jadi pusat perhatian.”

Semua serentak menoleh ke Rayven yang hanya duduk diam, menatap lantai. Botol air mineral di tangannya sudah hampir penyok karena diremas terlalu keras.

“Ven?” panggil Darren dengan nada heran. “Lo kenapa diem banget? Biasanya lo yang paling keras teriak kalo abis menang.”

Rayven mendongak, tapi sorot matanya redup. “Nggak apa-apa. Lagi capek aja.”

Axel yang sejak tadi mengamati, mengangkat alis. “Capek? Atau mikirin cewek itu?”

Ruangan seketika hening beberapa detik sebelum tawa pecah.

“Woy, gila lo! Kapten kita ternyata ada yang bikin salah tingkah!” seru Julian sambil tertawa.

“Seriusan, Ven? Baru juga liat sebentar, lo udah kepikiran?” tambah Aksa meledek.

Rayven tidak menjawab, hanya menyandarkan tubuhnya ke loker besi di belakang, menarik napas panjang. Ia berusaha menepis, tapi nama itu terus terngiang.

Alendra… kenapa harus lo?

Kenzo mendekat, menepuk bahunya. “Kalo lo emang penasaran, tinggal tanya. Kita gampang cari tahu lebih banyak soal dia.”

Rayven menoleh sekilas, lalu kembali terdiam. Hatinya diliputi kegelisahan. Ia sudah tahu nama gadis itu, tapi ia tidak yakin apakah benar Alendra adalah orang yang ia khawatirkan selama ini. Gadis itu terlihat rapuh, tatapannya begitu tajam tapi penuh luka. Dan tatapan itu… mengingatkannya pada sesuatu yang ingin ia lupakan.

Axel kembali bersuara, kali ini lebih serius. “Ven, gue nggak tau apa yang ada di kepala lo. Tapi jujur aja, dari cara dia ngeliat lo tadi… kayak ada sesuatu. Bukan tatapan cewek yang cuma sekadar kaget liat kapten basket.”

Rayven terdiam, tenggorokannya tercekat.

Tawa, sorakan, dan suasana pesta kecil di ruang ganti mendadak tak berarti baginya. Yang ada hanya satu nama yang kini menempel kuat di pikirannya — Alendra.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!