Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah Terbiasa Kau Abaikan
Nateya menoleh pada dokter militer dan para perawat yang masih tercengang. Dengan suara tenang dan berwibawa, ia berkata,
“Silakan panggil Jenderal Elias masuk. Kondisi Mayor Ragnar sudah stabil, dia boleh melihat.”
Dokter militer pun segera memanggil Elias yang sejak tadi menunggu dengan gelisah di luar ruangan.
Elias masuk tergesa dengan langkah kaki yang mantap. Namun, begitu melihat Ragnar kini berbaring lebih tenang dengan perban baru di tubuhnya, dahi Elias langsung berkerut.
Alih-alih bertanya pada Nateya, Elias menahan diri. Sebaliknya, dia malah menoleh kepada dokter militer.
“Bagaimana kondisi Ragnar?” Suara Elias tegas, datar, seperti tentara yang menginterogasi tawanan.
Dokter militer itu menatap Elias, lalu menoleh sekilas pada Nateya dengan ekspresi takjub.
“Sudah stabil, Jenderal. Kalau boleh jujur, Nyonya Seruni—” ia ragu sejenak, lalu melanjutkan, “bekerja seperti seorang dokter senior. Bahkan, tekniknya tadi sangat luar biasa. Nyonya Seruni sangat pantas menjadi kepala dokter di barak militer.”
Ruangan mendadak hening. Mata tajam Elias beralih pada Nateya. Namun, ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Nateya yang menyadari tatapan suaminya justru mengangkat dagu sedikit, seolah menantang balik. Sambil tersenyum tipis, ia berdiri dan menghalau debu halus di pakaiannya. Seruni berjalan melewati Elias begitu saja, tanpa memberi kesempatan sang suami bicara.
“Aku harus pulang ke rumah,” ujar Nateya kepada dokter militer. “Mayor Ragnar akan sadar paling lama dua jam lagi. Tapi, pastikan pemulihannya dipantau selama dua belas jam ke depan. Jika ada hal mendesak, kabari aku lewat ponsel.”
Semua orang langsung menatap Nateya bingung. Nateya tersadar, lidahnya terpeleset. Tentu saja mereka heran, karena belum ada ponsel di masa kolonial.
Ia buru-buru meralat, suaranya tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Maksudku, utus saja salah seorang prajurit ke rumah untuk memberitahuku bila kondisi Mayor Ragnar memburuk."
Dokter militer segera menunduk dalam-dalam. “Baik, Nyonya Jenderal. Terima kasih.”
Tanpa menoleh lagi, Nateya melangkah keluar dari barak pengobatan. Gaya jalannya santai, bahkan terlalu santai untuk seorang wanita yang baru saja menyelamatkan nyawa seorang perwira tangguh.
Elias yang merasa tak diacuhkan di depan anak buahnya segera menyusul.
“Seruni, dari mana kau tahu teknik kedokteran tadi?” tanyanya, penuh selidik.
Nateya berhenti sebentar, lalu menoleh setengah tubuh. “Aku pernah belajar sangat lama pada seorang dokter legendaris. Tapi aku tidak perlu memberitahumu, Elias.”
Mendengar jawaban Nateya, raut wajah Elias mengeras. Ia tidak menyangka sikap istrinya akan berubah seangkuh ini.
“Aku akan mengantarmu pulang. Ini sudah malam.”
Semula, Elias mengira Seruni akan bersorak kegirangan karena mendapat perhatian darinya. Namun, di luar dugaan, Nateya malah menyeringai sinis.
“Tidak perlu. Aku ingin pulang bersama Kapten Arvid saja."
Sebelum berbalik, Nateya menatap Elias sembari menyipitkan mata.
"Aku sudah terbiasa kau abaikan. Bagiku tidak masalah, tapi anak buahmu butuh perhatian."
Ucapan itu serasa menusuk hati Elias. Elias tersentak, jantungnya berdegup keras. Namun, di depan anak buahnya, ia tak mungkin meledak atau bertengkar dengan Seruni.
Dengan suara yang dipaksa tenang, Elias menoleh pada Kapten Arvid yang berdiri di samping.
“Arvid, antarkan Nyonya pulang dengan mobil.”
“Siap, Jenderal.” Arvid menunduk hormat.
Nateya langsung melenggang santai, menggendong tas berisi peralatan medis yang tadi ia gunakan. Rambutnya berkibar tertiup angin malam, sementara wajahnya tetap tegak penuh kemenangan.
Elias hanya bisa berdiri di depan barak, menatap punggung Nateya yang perlahan menghilang di kegelapan.
Kapten Arvid segera membuka pintu mobil dengan penuh hormat, gerakannya tegap dan sopan.
Nateya pun masuk dengan anggun, sambil tetap memegang tas peralatan medisnya. Begitu pintu tertutup, Arvid bergegas ke kursi kemudi, menyalakan mesin, lalu membawa mobil dinas militer itu meluncur meninggalkan barak pengobatan.
Di dalam kabin, hanya suara mesin yang terdengar. Sesekali cahaya lampu jalan menerangi wajah Nateya yang tampak tenang.
Kapten Arvid, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya memberanikan diri bertanya. Suaranya dalam, sedikit serak.
“Apakah kondisi Mayor Ragnar sudah membaik, Nyonya?"
Nateya menoleh sedikit, tersenyum tipis. “Tenanglah, Kapten. Dia pasti akan pulih. Asalkan diberi waktu istirahat yang cukup, tubuhnya akan kembali kuat. Luka tusuknya sudah kutangani, dan racunnya sudah dinetralisir."
Arvid menarik napas lega, jemarinya yang menggenggam setir sedikit mengendur.
“Saya lega mendengarnya.” Ia sempat terdiam sebentar, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, seolah berbicara dari hati.
“Saya dan Mayor Ragnar bersahabat sejak lama. Dia bukan hanya rekan seperjuangan, tapi juga saudara bagi saya. Kalau nanti Mayor Ragnar sadar, dia pasti sangat berterima kasih pada Nyonya. Bahkan, saya yakin dia akan menghormati Nyonya seumur hidup.”
Nateya menoleh padanya, tersenyum penuh arti.
“Jika begitu, sampaikan padanya. Setelah Ragnar benar-benar sehat, aku ingin dia bertamu ke rumah. Ada hal penting yang ingin kubicarakan dengannya.”
“Tentu, Nyonya. Saya pasti akan memberitahunya."
Nateya kembali menyandarkan tubuh ke kursi, membiarkan senyum samar menghiasi bibirnya.
Dalam pikirannya terlintas satu rencana besar. Ragnar, dengan keberanian dan kesetiaannya, akan jauh lebih berharga dibanding Victor. Jika kelak Mayor Ragnar bisa menjadi ajudan setianya, maka posisi Seruni di rumah Jenderal akan semakin kuat.
Mobil pun terus melaju menembus malam, sementara Nateya memejamkan mata sebentar. Menikmati bayangan masa depan yang mulai tersusun di kepalanya.