Menginjak usia 20 tahun Arabella zivana Edward telah melalui satu malam yang kelam bersama pria asing yang tidak di kenal nya,semua itu terjadi akibat jebakan yang di buat saudara tiri dan ibu tirinya, namun siapa sangka pria asing yang menghabiskan malam dengan nya adalah seorang CEO paling kaya di kota tempat tinggal mereka. Akibat dari kesalahan itu, secara diam-diam Arabella melahirkan tiga orang anak kembar dari CEO tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanda wistia fitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Kembali
Lima tahun telah berlalu sejak malam pelarian itu.
Waktu seolah berlalu cepat bagi Arabella, yang kini telah menemukan ketenangan baru di negeri tirai bambu. Anak-anaknya tumbuh sehat dan luar biasa cerdas, seolah Tuhan mengganti setiap luka dengan keajaiban kecil yang hadir lewat mereka.
Dimitry dan Michael, dua kembar yang berusia lima tahun itu, membuat semua orang di sekitarnya terpukau. Meski masih anak-anak, mereka sudah mampu berbicara dalam tiga bahasa Inggris, Mandarin, dan Perancis. Mereka juga sangat tertarik pada dunia teknologi, bahkan diam-diam pernah membantu Leo memecahkan sistem keamanan milik perusahaan riset tempat Arabella bekerja.
Namun, si bungsu Michelle berbeda.
Gadis kecil itu tumbuh dengan kebutuhan khusus. Ia didiagnosis autisme sejak usia dua tahun. Dunia Michelle tenang, lembut, dan penuh warna yang hanya bisa ia pahami sendiri. Arabella telah mencoba segalanya terapi, pengobatan, dan berbagai pendekatan emosional.
Salah satu master terapi yang paling dipercaya pernah berkata,
“Michelle bisa sembuh total, Bella… tapi hanya jika ada kerja sama dari kedua orang tuanya.”
Ucapan itu menembus hati Arabella. Selama ini, Michelle tumbuh tanpa pernah mengenal sosok ayahnya. Arabella tahu betul, bukan karena ia tak mau menceritakan, tapi karena setiap kali nama Julian muncul, rasa sakit lama ikut menyeruak.
“Bersabarlah beberapa waktu lagi, dia akan sembuh meskipun tidak secara langsung,” nasihat sang guru lembut pada Arabella suatu sore.
Arabella hanya mengangguk. Ia menerima semua takdir dengan lapang dada. Baginya, Michelle tetap anugerah terindah gadis kecil dengan rambut panjang berkilau, mata bulat sejernih kristal, kulit seputih susu, dan pipi pink yang selalu menggoda siapa pun untuk mencubitnya.
Hari itu, langit Beijing berwarna kelabu saat sebuah panggilan telepon masuk. Suara di seberang terdengar panik dan penuh isak.
“Bella… Nenekmu sakit. Keadaannya semakin memburuk. Kami takut… waktunya tidak lama lagi.”
suara Leo terdengar gusar di seberang telepon
Arabella terdiam lama, dadanya sesak. Lima tahun ia bersembunyi dari masa lalu, namun kini Tuhan seperti memanggilnya pulang.
Ia menatap ketiga anaknya yang sedang bermain di halaman rumah. Hatinya bimbang.
“Mau tidak mau,” gumamnya pelan, “aku harus kembali… ke San Francisco.”
Malam itu juga, Arabella bersama ketiga anaknya menumpang pesawat pribadi menuju San Francisco.
Suara mesin pesawat bergemuruh di antara gelapnya langit malam, menembus awan putih yang samar. Di kursi kelas bisnis, Arabella duduk memeluk Michelle yang tertidur di pangkuannya. Dimitry dan Michael duduk di sisi lain, sesekali menatap layar kecil di depan mereka.
Perasaannya campur aduk antara senang, takut, dan haru. Sudah lima tahun berlalu sejak ia meninggalkan kota itu. Lima tahun ia menata ulang hidupnya dari nol, mempelajari banyak hal, dan membangun kembali kepercayaan dirinya.
Bersama Leo, ia tak hanya menyembuhkan luka batin, tapi juga menemukan jati dirinya yang baru. Bahkan Leo telah menghadiahkan satu perusahaan kecil padanya perusahaan teknologi yang bergerak di bidang pembuatan chip untuk mobil pintar. Perusahaan itu masih muda, masih dalam tahap pengembangan, tapi bagi Arabella, itu simbol dari kerja keras dan kebebasannya.
Ia menatap ketiga anaknya dengan mata berkaca. Mereka adalah alasan mengapa ia terus berdiri hingga hari ini.
Tidak peduli berapa banyak cemoohan yang pernah ia terima orang-orang yang menyebut anak-anaknya “anak haram” karena tak pernah melihat sosok ayah mereka Arabella tak pernah gentar. Baginya, ketiga malaikat kecil itu adalah anugerah terindah yang Tuhan titipkan.
Michael menoleh dan tersenyum lembut, tangannya menggenggam tangan mama nya
“Mama jangan cemas, aku dan kakak Dimitry akan selalu menjaga Michelle selama di sana,” ucapnya pelan tapi penuh keyakinan.
Arabella tersenyum, membelai rambut putranya dengan lembut.
“Mama percaya kalian akan menjaga adik Michelle dengan baik. Kalian adalah kakak yang hebat,” ucapnya, suaranya bergetar antara haru dan bangga.
Pesawat perlahan menembus langit malam, meninggalkan negeri tirai bambu di belakang mereka. Arabella menatap keluar jendela, melihat gemerlap kota yang semakin mengecil. Dalam hati ia berdoa semoga kepulangannya kali ini tidak membuka kembali luka lama yang sudah berusaha ia tutup rapat
Setelah menempuh perjalanan belasan jam yang melelahkan, akhirnya pesawat yang ditumpangi Arabella dan ketiga anaknya mendarat di Bandara Internasional San Francisco.
Hari itu cuaca begitu cerah. Langit biru bersih dihiasi gumpalan awan putih, sinar matahari hangat menyambut kepulangan mereka seolah tahu, ada kisah besar yang akan kembali dimulai di kota ini.
Arabella melangkah pelan sambil menggandeng tangan kecil Michelle yang tampak menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu.
Sementara itu,Dimitry berjalan di samping Michael Keduanya bergandengan tangan erat, menatap sekeliling dengan kagum.
“Udara di sini wangi sekali, ya, Mama,” ucap Michelle polos, membuat Arabella tersenyum.
“Iya, sayang… ini kota tempat Mama lahir,” jawab Arabella lembut sambil membelai rambut halus putrinya.
Di luar bandara, sebuah Mercedes-Benz biru dove sudah menunggu mereka. Di depan mobil berdiri sosok yang tak asing Leo, dengan setelan kasual elegan dan senyum hangat yang selalu sama seperti lima tahun lalu.
Begitu melihat mereka, Leo langsung melangkah cepat menghampiri.
“Paman!” seru Dimitry riang, berlari kecil mendekatinya.
Leo terkekeh pelan, memeluk kedua bocah laki-laki itu bergantian.
“Halo, anak-anak tampan! Kalian sudah besar dan tinggi sekali. Padahal baru beberapa bulan tidak bertemu,” ujarnya sambil menepuk bahu mereka dengan bangga.
Kemudian ia menatap Arabella, sorot matanya lembut tapi juga sedikit khawatir.
“Selamat datang di rumah, Bella,” katanya lirih sambil menarik Arabella ke dalam pelukan singkat yang hangat dan menenangkan.
Arabella tersenyum samar, menatap sekeliling. Kota ini masih sama hiruk pikuk, megah, tapi menyimpan terlalu banyak kenangan pahit.
Hatinya berdesir. Ia tahu, kepulangannya ke San Francisco bukan tanpa risiko.
Namun untuk saat ini… ia hanya ingin menikmati momen sederhana ini, di bawah langit biru dan pelukan keluarga yang pernah menyelamatkannya
Kondisi Nenek akhir-akhir ini memburuk,” ucap Leo pelan begitu mobil mulai melaju meninggalkan bandara. Suaranya terdengar tenang, tapi ada nada khawatir yang sulit disembunyikan.
Arabella menoleh, menatap wajah sepupunya itu dengan lembut.
“Usia Nenek sudah sepuh, sakit seperti ini sangat wajar,” jawabnya dengan nada pasrah namun tulus. Ia menatap keluar jendela, memperhatikan deretan pepohonan dan gedung tinggi San Francisco yang terasa asing tapi juga akrab di hatinya.
Di kursi belakang, suasana jauh lebih cerah.
Dimitry dan Michael sibuk bercanda, sesekali bernyanyi lagu anak-anak yang mereka pelajari di sekolah internasional mereka di China. Suara tawa mereka memenuhi kabin mobil, ringan dan menenangkan.
Sementara itu, Michelle duduk di tengah, memegang boneka kelincinya erat-erat. Gadis kecil itu menatap keluar jendela, sesekali tersenyum kecil saat mendengar kakak-kakaknya bernyanyi.
Meskipun Michelle jarang berbicara, dua kakaknya selalu berusaha membuatnya ikut terlibat dalam setiap cerita.
“Lihat, Chelle, langitnya biru banget! Itu tanda hari ini hari yang baik,” ucap Michael sambil menepuk bahu adiknya.
Michelle menoleh, menatap kakaknya dengan mata bening, lalu mengangguk pelan. Senyumnya kecil tapi tulus selalu mampu membuat Arabella menahan air mata.
Leo menatap ketiga anak itu lewat kaca spion, lalu beralih menatap Arabella. “Kau berhasil, Bella. Mereka tumbuh jadi anak-anak luar biasa,” katanya dengan nada bangga.
Arabella tersenyum, menatap ketiga buah hatinya dengan mata berkilat lembut.
“Mereka adalah alasan aku bertahan selama ini,” jawabnya lirih.
Mobil terus melaju di bawah cahaya matahari sore, menuju rumah besar di tepi kota tempat Nenek yang mereka cintai menunggu dengan napas yang mulai menua.