Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Bi, kemarin waktu saya datang ke sini apa ada yang bawa kotak kayu besar?" tanya Wulan kepada Bi Sumi yang tengah membantunya melepaskan hiasan kepala.
"Ada, Neng. Itu sudah dibawa ke gudang paviliun ini," jawab Bi Sumi sambil meletakkan satu per satu hiasan yang memenuhi kepala Wulan.
Kebaya pengantin sudah diganti dengan pakaian biasa. Bersiap untuk tidur melepas lelah. Wulan mengeluarkan kertas yang diberikan Kang Sumar saat membawa hadiah lamaran ke rumahnya dan memberikannya kepada Bi Sumi.
"Wulan minta tolong sama Bibi. Tolong dicek lagi apa semuanya lengkap?" pinta Wulan dengan sopan.
"Baik, saya periksa dulu," ucap Bi Sumi seraya pergi ke gudang memeriksa isi kotak yang dimaksud oleh Wulan.
"Kalian pikir saya tidak tahu kalau kemarin malam kalian menyelinap ke kamar saya dan mengambil beberapa barang? Kita lihat saja bagaimana saya akan menghukum kalian!" gumam Wulan sembari menatap dirinya sendiri di dalam cermin.
Rambut panjangnya digerai, disisir dengan pelan. Wulan sudah terbiasa tidak tidur malam, meski dalam tidur pun dia tetap terjaga. Seperti itulah caranya mempertahankan diri saat sendirian di gunung.
"Bagaimana, Bi?" tanya Wulan saat Bi Sumi kembali ke kamar.
"Saya sudah mengeceknya, Neng. Ada beberapa barang yang hilang termasuk gelang peninggalan mendiang ibu juragan. Harta pusaka yang selama ini dijaga oleh juragan sendiri," jawab Bi Sumi sembari menunjukkan kertas yang sudah ia tandai.
Wulan tersenyum sinis, melirik kertas tersebut dan mengambilnya. Membaca apa saja yang hilang.
"Besok saya akan pulang sekalian menagih janji bapak yang belum ditunaikan," ucap Wulan sembari melipat kertas tersebut dan menyelipkannya di pinggang.
"Janji? Janji apa? Biar saya temani Neng Wulan pulang." Bi Sumi mengkhawatirkan majikan kecilnya itu.
Wulan berbalik menghadap wanita paruh baya tersebut, menatapnya dengan lembut sambil tersenyum manis.
"Tidak apa-apa, Bi. Saya akan pulang sendiri saja. Bapak berjanji kepada saya, jika saya setuju menikah dengan juragan maka dia akan menyerahkan tanah warisan ibu yang selama ini menghidupi keluarga mereka," kata Wulan dengan yakin.
Bi Sumi tercenung mendengar jawaban itu, tapi ia memaklumi karena Wulan tidak mengenal siapa juragan Nataprawira itu. Bi Sumi tidak membahasnya lebih jauh.
"Bagaimana kalau Neng Wulan minta juragan menemani?" usul Bi Sumi yang seketika menghilangkan senyum di bibir Wulan.
Perempuan itu berbalik membelakangi, sadar seperti apa posisinya di istana tersebut.
"Apakah juragan akan menemani saya, Bi? Saya cukup tahu diri apa posisi saya di sini. Cuma istri yang dipaksa menikah dengan juragan. Di antara kami tidak ada rasa apapun, tidak perlu saling peduli satu sama lain. Lagipula, saya tidak ingin merepotkan juragan apalagi sampai mengganggu kesibukannya," ungkap Wulan seraya berbalik menghadap Bi Sumi kembali.
Ia meraih tangan wanita paruh baya itu dan menggenggamnya. Senyum manis tersemat di bibir, sangat manis dengan lesung di pipi.
"Bibi tidak usah khawatir. Saya bisa menjaga diri saya sendiri," katanya menenangkan.
Bi Sumi menghela napas panjang, menatap Wulan penuh perhatian. Tangan tuanya mengusap pipi wanita itu dengan lembut.
"Tapi untuk bisa keluar dari sini, Neng Wulan harus mendapat izin dari juragan. Mau tidak mau Neng Wulan harus menghadap juragan," katanya memberitahu.
"Bibi tenang saja, besok saya akan menghadap sendiri. Apapun yang terjadi, besok saya harus pulang," ujar Wulan nekad.
"Tapi ...."
"Saya tahu, Bi. Susah mendapat izin dari juragan. Saya juga tahu juragan bukan orang yang baik. Orang-orang mengatakan juragan adalah orang yang kejam dan tidak berperasaan. Mengekang semua istrinya di rumah dan akan menghukum mereka dengan berat jika melanggar. Aku akan berusaha menyenangkan hati juragan baru bisa mendapatkan izin untuk pulang," tutur Wulan membuat Bi Sumi terentak kaget.
Dahi wanita itu mengernyit dalam, matanya sedikit membesar, kedua bibir terbelah. Rasa tak percaya rumor yang beredar tentang sang juragan di luar sana.
"Bibi tidak perlu menutupi, saya tahu semuanya. Saya hanya ingin hidup dengan damai di istana ini dan tidak ingin bersaing untuk mendapatkan hati juragan. Semua orang pun tahu bagaimana juragan sangat memanjakan Nyai Ratih. Diberi kekuasaan di istana ini sampai semua orang harus tunduk kepadanya. Saya tidak ingin menyinggung siapapun."
Wulan tersenyum, apa yang dia katakan adalah kebenaran di dalam hatinya.
Neng Wulan salah paham. Jelas-jelas juragan sangat lembut kepada Neng Wulan. Itu adalah sesuatu yang baru terjadi.
Bi Sumi menghela napas, tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Sudah larut, sebaiknya Neng Wulan tidur. Mungkin sebentar lagi juragan akan kembali ke kamar ini. Saya akan berjaga di sini," ucap Bi Sumi menyudahi obrolan.
Tanpa mereka sadari, orang yang dibicarakan berada di bawah jendela kamar Wulan. Mendengarkan semua perbincangan mereka, termasuk rumor juragan yang buruk.
"Juragan ...?" Kang Sumar cemas.
Namun, tangan juragan yang terangkat ke atas, dan ekspresi yang biasa saja membuatnya tahu laki-laki dingin itu tidak terbakar amarah. Bahkan, tersenyum samar.
Apa saya tidak salah lihat? Juragan justru tersenyum.
"Bibi tidak perlu berjaga, tidur saja. Saya sudah terbiasa terjaga di dalam tidur." Wulan tak ingin mengganggu waktu istirahat Bi Sumi.
"Baiklah." Bi Sumi pergi ke ruangan sebelah untuk beristirahat.
Wulan merebahkan diri di ranjang, menutup kelambu dan mengawang ke langit-langit.
"Apa benar juragan bisa menemani saya pulang? Rasanya tidak mungkin!" Ia memejamkan mata dan tertidur.
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa