Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Suasana ruang perawatan VVIP telah disulap menyerupai sebuah aula kecil nan elegan.
Tirai berwarna putih gading dipasang melingkari ruangan, dihiasi rangkaian bunga mawar putih dan lily segar yang mengeluarkan aroma lembut.
Sebuah meja kecil dibalut kain satin berdiri di tengah, tempat penghulu dan para saksi akan duduk.
Sebastian hadir dengan setelan jas putih tulang lengkap dengan dasi kupu-kupu perak.
Sementara Amira duduk anggun di kursi khusus pengantin, memakai gaun putih satin sederhana namun berkelas.
Wajahnya yang penuh bekas luka kini tampak jauh lebih tenang setelah sentuhan lembut para perias.
Diko dan dua dokter rumah sakit berdiri sebagai saksi.
Casandra berdiri di samping Amira, memegangi tangannya erat.
Penghulu membuka acara akad dengan suara tegas namun penuh hikmat.
“Baiklah, mari kita mulai akad nikah ini. Saudara Sebastian Vettel Vanderkus, apakah Anda sudah siap?”
Sebastian menatap Amira dalam-dalam lalu mengangguk mantap.
“Siap.”
Penghulu tersenyum dan membaca ijab kabul dengan lantang.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan Amira Lestari binti Rizal kepadamu, Sebastian Vettel Vanderkus, dengan mas kawin berupa:
Logam mulia emas murni seberat lima kilogram,
Satu unit rumah mewah di kawasan Puncak,
Satu unit mobil Rolls-Royce Phantom terbaru,
Serta saham perusahaan keluarga sebesar 10% dibayar tunai.
Sebastian menggenggam tangan penghulu dan dengan satu tarikan nafasnya ia langsung menjawab
“Saya terima nikah dan kawinnya Amira Lestari binti Rizal dengan mas kawin berupa lima kilogram emas murni, satu rumah mewah di Puncak, satu Rolls-Royce Phantom, dan saham perusahaan 10 persen, dibayar tunai. Alhamdulillah, sah!”
Para saksi langsung menjawab kompak setelah mendengar ijab kabul Sebastian.
“SAH!”
Casandra menitikkan air mata bahagia, sementara Amira menutup wajahnya dengan telapak tangan, tidak percaya bahwa dirinya yang dulu dihina sebagai “buruk rupa” kini dinikahi dengan penuh kehormatan.
Amira meraih tangan Sebastian dan menciumnya lembut.
“Sekarang, kamu resmi menjadi istriku.” ucap Sebastian sambil mencium kening istrinya.
“Dan kamu resmi menjadi takdir keduaku.” ucap Amira.
Kemudian Sebastian menandatangani buku pernikahan mereka.
Setelah buku nikah resmi ditandatangani, suasana ruang perawatan mendadak berubah menjadi penuh suka cita.
Casandra menepuk tangan pelan, diikuti para saksi dan penata rias yang masih berada di ruangan.
“Sekarang, kita lanjutkan resepsi kecil-kecilan,” ucap Casandra ceria.
Diko yang sedari tadi mengintip dari pintu langsung masuk sambil mendorong troli penuh makanan.
Ada nasi tumpeng mini, aneka jajanan pasar, puding buah, hingga minuman kesehatan rendah gula.
“Bapak, Ibu, pasien-pasien lain juga kita kirim makanan ya!” seru Diko bersemangat.
“Bagus, Dik. Bagikan semuanya!” sahut Casandra.
Dengan segera, Diko dan dua staf rumah sakit mulai membagikan goodie bag makanan ke tiap kamar pasien di lorong VVIP.
Beberapa pasien yang bisa berdiri bahkan ikut datang menghampiri pintu ruangan Amira dan Sebastian sambil mengucapkan selamat.
“Selamat ya, Nak! Semoga langgeng!” ujar seorang nenek pasien stroke sambil tersenyum ramah.
Amira hampir menangis lagi karena terharu. Wanita itu berdiri dengan kain selimut di pundaknya, tapi tetap ikut bahagia.
“Terima kasih, Nek. Doa Nenek sangat berarti,” ucap Amira sambil membungkuk hormat.
Tak lama kemudian, dokter yang menangani Amira pun datang membawa papan catatan medisnya.
Namun kali ini bukan wajah serius yang terlihat melainkan senyum lebar.
“Selamat ya, Tuan Sebastian, Nyonya Amira.” Dokter menjabat tangan Sebastian, lalu menoleh pada Amira.
“Pasien pertama saya yang menikah di ruang perawatan!”
Sebastian menggenggam tangan istrinya dan menatapnya tak lepas, bahkan ketika para perawat ikut masuk dan mengucapkan selamat.
Casandra mendekat membawa sepotong tumpeng, lalu menyodorkannya pada Amira.
“Amira, suapi suamimu.”
Amira mengangguk malu-malu, lalu mengambil nasi tumpeng dan menyuapkan ke Sebastian.
“Makan yang banyak, Pak Suami.”
Sebastian terkekeh, lalu gantian menyuapi Amira.
“Setelah ini kamu harus istirahat. Mulai hari ini kamu tidak boleh capek. Aku dan seluruh keluargaku akan menjagamu.”
Di luar pintu, beberapa pasien dan perawat ikut tersenyum, seolah ikut merasakan kebahagiaan mereka.
Sebuah pernikahan sederhana, diam-diam, namun penuh kehangatan.
Setelah acara selesai, Sebastian mengajak istrinya untuk kembali ke ruang perawatan.
"Istirahatlah dulu sebelum nanti malam kita berangkat ke Korea." ucap Sebastian.
Amira menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
Penata rias membantu melepaskan gaun pengantin dan membersihkan riasan wajah Amira.
Sebastian keluar dari ruang perawatan dan memanggil Diko.
"Siapkan jet pribadiku untuk keberangkatan nanti malam."
Dengan cepat Diko menganggukkan kepalanya dan menghubungi pilot.
Sebastian melihat istrinya yang sekarang sedang terbaring istirahat.
Casandra menghampiri putranya dan mengajaknya untuk duduk.
"Bas, nanti biar Mama sama Diko yang datang ke acara pertunangan Nakula. Mama ingin tahu seperti apa wajah mantan suami Amira yang sudah menyiksa menantu mama seperti itu." ucap Casandra sambil mencengkram erat kedua tangannya.
Sebastian tertawa kecil saat melihat mama nya yanga gemas.
"Iya, Ma. Tapi mama harus janji nggak bikin ribut dan jangan bicara tentang pernikahan kita." pinta Sebastian
Casandra menganggukkan kepalanya dan ia tidak akan membuat ribut.
Detik demi detik berganti dan Jarum jam dinding di ruang perawatan menunjukkan pukul 22.15.
Lampu-lampu kota terlihat berkelip dari balik jendela besar, memantul di kaca dan menggambarkan suasana malam yang tenang.
Amira sudah berganti pakaian setelan sweater putih wol lembut dan celana panjang cotton hitam.
Rambutnya diikat rendah, wajahnya bersih tanpa riasan, hanya dibalut dengan moisturizer dan perban tipis di beberapa luka.
Sebastian masuk ke dalam ruangan sambil membawa jaket tebal berwarna beige.
“Korea sedang dingin. Pakai ini, nanti kamu kedinginan,” ucapnya lembut sambil menyelimuti Amira.
“Aku belum pernah ke luar negeri sebelumnya.”
Sebastian memegang kedua pipinya dengan penuh hati-hati, takut menyentuh luka.
“Mulai malam ini, kamu tidak akan mengenang masa lalu lagi. Kita mulai hidup baru.”
Diko mengetuk pintu ruang perawatan dan ia langsung masuk
“Bos, mobil sudah siap. Jet pribadi juga standby di bandara Halim. Pilot bilang tinggal berangkat kapan saja.”
Casandra ikut masuk dengan membawa selimut bulu dan bantal leher.
“Ini untuk Amira nanti di pesawat. Jangan biarkan dia kedinginan, paham?” ujar Casandra sambil menatap tajam ke arah Sebastian dan Diko.
“Kami paham, Bu,” jawab mereka kompak.
Sebastian kemudian membantu Amira berdiri. Ia menggendong tas kecil berisi obat-obatan dan barang pribadi Amira.
“Mama akan menyusul besok setelah lihat muka Nakula itu. Kamu tenang saja.” ucap Casandra sambil mencium pipi menantunya.
“Hati-hati ya, Ma. Jangan marah-marah.”
“Mama nggak marah. Mama hanya ingin menunjukan wajah seorang ibu mertua yang elegan.”
Begitu mereka keluar dari kamar VVIP, beberapa perawat dan pasien yang masih terjaga ikut melambaikan tangan.
“Selamat jalan, Nyonya Amira!”
“Semoga cepat sembuh dan berbahagia!”
“Kirimi kami foto honeymoon-nya!”
Amira tertawa kecil sambil membalas lambaian mereka.
Sebastian menggenggam tangannya erat saat mereka berjalan menuju lift.
Begitu pintu lift tertutup, Sebastian menatap Amira dengan senyum hangat.
“Siap untuk petualangan barumu, Mrs. Vanderkus?”
Amira menarik napas panjang dan menjawab mantap,
“Siap, untuk hidup yang tidak lagi penuh air mata.”
Mobil hitam mewah telah menunggu di depan lobby rumah sakit.
Sopir membukakan pintu dan Sebastian membantu Amira masuk terlebih dahulu.
Saat mobil melaju menembus malam Jakarta yang berkilau lampu kota, Amira bersandar di bahu Sebastian.
karna bastian mandul