Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pantangan Dan Malam Jumat Kliwon
Sosok pocong bersusuk berdiri di ambang bayang kamar. Kain kafannya bergetar pelan, seperti digerakkan angin yang tak ada. Matanya kosong, namun menyimpan ancaman yang menusuk. Suaranya serak, menyelinap ke kepala Atna bagai jarum dingin.
“Dengarkan aku sekali saja, Atna,” bisiknya. Setiap kata terhentak, menggantung di udara. “Jangan—sekali pun—makan makanan terlarang. Jika kau melanggarnya, susukmu tak hanya memberontak, tubuhmu pun akan menanggung akibatnya. Ingat baik-baik: sate, pisang tanduk, pisang mas, labu air, jantung pisang, rebung, dan ayam.”
Atna menelan ludah, mulutnya mengering. Pocong itu meneruskan, nadanya kian berat.
“Makanan-makanan itu mengandung energi yang bertolak belakang dengan susukmu. Sekali saja kau mencicipinya, energi itu akan mengalir ke darahmu—dan susuk terbakar dari dalam. Kulitmu akan melepuh, bukan seperti luka biasa, melainkan api yang merambat di seluruh tubuhmu. Kau akan merintih dalam sakaratul maut, dan bila saat itu tiba… aku tak bisa lagi menahan kehancuranmu.”
Tubuh Atna gemetar. Gambaran ngeri berkelebat dalam benaknya: daging yang menghitam, bau anyir menusuk, napas yang terputus-putus, kafan yang menjerat semakin erat. Ia bahkan melihat susuk di tubuhnya sendiri berubah kaku, lalu merobek kulit dari dalam.
“Baik, Mbah… aku tak akan makan itu,” suaranya tercekat, setengah bersumpah, setengah ketakutan. Tanpa sadar tangannya terangkat, menyentuh sesajen di meja. Ritual yang biasanya menenteramkan kini terasa rapuh.
Pocong itu menatapnya sejenak, lalu bayangannya mengendur. “Ingat, Atna. Yang melanggar tak hanya menanggung sakit, tapi juga membangkitkan lapar kegelapan. Dan lapar itu akan menelan lebih banyak korban. Jaga makananmu. Jaga dirimu.”
Saat keheningan kembali, asap dupa mengepul pekat. Peringatan itu menggantung di udara, berat seperti hujan abu.
Atna duduk terpaku, mengulang daftar pantangan di kepalanya. Ia sadar, kali ini bukan sekadar soal takut—tapi urusan nyawa.
Ia duduk bersila di ruang khususnya. Dupa membentuk kabut tebal, menutup cahaya lampu minyak. Bau kemenyan bercampur aroma anyir samar, membuat udara menekan dadanya.
Di hadapan, meja sesajen dipenuhi bunga tujuh rupa, kemenyan, beras kuning, dan segelas air putih yang berkilau aneh dalam temaram.
Tangannya bergetar ketika meraih kujang pusaka pemberian sang dukun. Bilahnya tipis, melengkung, dingin—dan seolah berdenyut, hidup.
Saat jemarinya menggenggam gagang kayu itu, hawa beku merambat hingga ke tengkuk.
Ia memejamkan mata, melafalkan mantra yang sudah dihafalnya.
Namun kali ini berbeda. Kulitnya merinding dari ujung rambut sampai kaki, seakan ada sesuatu yang merayap di bawah permukaan kulit.
Lalu terdengar suara napas lain—bukan dari mulutnya, melainkan dari dalam tubuhnya sendiri.
Saat membuka mata, cermin altar memantulkan bayangan pocong berdiri tepat di belakangnya. Tapi bukan sekadar bayangan—wajah Atna dan pocong itu perlahan menyatu. Matanya berubah gelap, sorotnya kosong, berkilau aneh.
“Atna… kita sudah satu,” bisik suara parau. Keluar dari mulutnya sendiri, juga dari mulut pocong di cermin.
Tanpa sadar ia mengangkat kujang, menggores telapak tangannya. Setetes darah jatuh ke sesajen, langsung terserap seolah tanah itu haus.
Aroma darah memicu hawa panas merambat di seluruh ruangan, dan dupa menyala lebih terang.
Ritual selesai. Namun Atna tahu, sejak saat itu, ia tak hanya menggunakan kekuatan pocong itu—ia telah menjadi bagiannya.
Pocong menatap dari balik cermin altar. Matanya hitam pekat, dalam seperti jurang. Suaranya merayap lagi, berat, menancap di tulang.
“Atna… sekarang kita satu tubuh, satu napas. Ingat baik-baik. Ritual ini harus kau lakukan setiap minggu. Jangan pernah terlewat, walau sehari. Setiap tetes darah, setiap bunga yang kau tabur, akan menambah pesonamu—mengikat mata dan hati setiap lelaki yang melihatmu.”
“I-iya, Mbah…” ujar Atna menggenggam kujang erat, dinginnya menusuk kulit.
Tapi pocong itu belum selesai. Suaranya turun menjadi lirih, membuat bulu kuduk Atna berdiri.
“Dan… setiap malam Jumat Kliwon, temui orang itu—dukun yang menanam susukmu. Ia akan memperbarui ikatan kita. Jika kau lalai sekali saja…” Pocong itu tersenyum. Senyum tipis, retakan kafan yang memperlihatkan kegelapan di dalamnya.
“Pesonamu akan pudar. Dan aku akan menagih bayaran lain. Bayaran yang jauh lebih menyakitkan.”
Ruangan mendadak dingin. Asap dupa yang semula melayang lembut kini berputar, seolah menyerap kata-kata itu ke dinding rumah.
Atna menunduk dalam-dalam, sadar bahwa perjanjian ini bukan hanya soal kecantikan atau harta—melainkan perjanjian nyawa.
*
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu