NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: tamat
Genre:Dunia Lain / Tamat
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~Ujian Di Dunia Bayangan~

Cahaya biru yang menelan Edrick dan kawan-kawannya memudar perlahan. Mereka terjatuh di atas tanah keras yang bukan lagi bagian dari Averland. Udara di sekitarnya terasa dingin, tetapi langit di atas kepala mereka tidak menunjukkan bintang atau bulan—hanya kegelapan tak berbatas.

Edrick bangkit dengan napas tersengal. Ashenlight di tangannya masih menyala samar. “Semua baik-baik saja?”

Selene memeriksa bahunya. “Aku baik. Hanya sedikit pusing.”

Mira berdiri, memegangi busurnya. “Di mana kita?”

Darius memandang ke sekeliling. “Aku tidak mengenali tempat ini. Rasanya… seperti bayangan Averland.”

Mereka melihat siluet-siluet samar dari pegunungan Averland, tapi bentuknya retak dan berubah-ubah, seperti refleksi pada air yang bergelombang. Jalan-jalan yang biasa mereka kenal kini terdistorsi, dan suara-suara samar terdengar di kejauhan, seperti bisikan ratusan orang berbicara bersamaan.

Dari kegelapan, sebuah sosok bertudung hitam muncul. Wajahnya tidak terlihat, hanya dua mata bercahaya putih yang menatap mereka. Suaranya bergema di udara:

“Selamat datang di Dunia Bayangan. Di sini, setiap kebenaran yang kalian sembunyikan akan diungkap. Setiap kebohongan yang kalian ucapkan akan menjerat kalian. Untuk melangkah maju, kalian harus melewati ujian hati.”

Edrick maju selangkah. “Kami tidak datang untuk permainan. Kami mencari jalan untuk menyelamatkan Averland.”

Sosok itu tidak bergerak. “Averland hanyalah pantulan dari pilihan-pilihan kalian. Pedang Ashenlight tidak hanya memilih kekuatan, tetapi keberanian untuk menghadapi diri sendiri.”

Tiba-tiba, tanah di bawah mereka retak, dan keempatnya terpisah. Edrick jatuh ke dalam kegelapan ke satu arah, Selene, Darius, dan Mira ke arah lain.

Edrick mendarat di lapangan kosong, di mana reruntuhan kota Avermont berdiri, tapi kali ini kota itu utuh dan hidup. Api perang belum menghancurkannya. Ia mendengar suara tawa anak-anak, derap kuda, dan bau roti panggang. Namun, orang-orang yang lewat menatapnya dengan mata kosong, seolah mereka tahu sesuatu yang tidak ia ketahui.

Seorang pria tua mendekat, wajahnya samar. “Edrick dari Avermont,” katanya, suaranya datar. “Kau meninggalkan kota ini. Kau gagal melindungi mereka. Apa yang akan kau lakukan jika diberi kesempatan lagi?”

Edrick menelan ludah. “Aku… tidak punya pilihan saat itu. Kota sudah jatuh.”

“Pilihan selalu ada,” sahut pria tua itu, sebelum menghilang menjadi abu.

Di tempat lain, Selene berdiri di tengah aula latihan tempat ia dulu berlatih sebagai penjaga kerajaan. Suara gurunya terdengar, mengulang-ulang kata-kata yang dulu ia dengar: “Kau tidak pernah percaya pada siapa pun. Itu kekuatanmu—dan kelemahanmu.”

Selene menggenggam pedangnya erat. “Aku mempercayai mereka sekarang,” gumamnya.

Darius, sementara itu, menemukan dirinya di hadapan makam ayahnya, seorang prajurit Averland yang tewas dalam perang pertama. Di belakangnya, bayangan Garrick muncul, tertawa. “Kau akan berakhir seperti dia, Darius. Hanya seorang prajurit biasa yang mati tanpa dikenang.”

Darius mengangkat pedangnya. “Aku bukan ayahku. Dan aku bukan kau.”

Mira berdiri di tengah hutan gelap. Suara ibunya, yang sudah lama meninggal, terdengar memanggilnya. “Kau meninggalkanku, Mira. Kau memilih perang daripada keluargamu.” Air mata mengalir di wajah Mira, tapi ia menarik busurnya, berbisik, “Aku memilih melindungi Averland.”

 

Edrick berdiri kaku di lapangan Avermont yang ilusif. Suara-suara warga yang seolah mengenalnya kini berubah menjadi bisikan-bisikan tajam.

“Dia pengecut.”

“Dia melarikan diri.”

“Pedang itu tidak pantas berada di tangannya.”

Bisikan itu mengelilinginya seperti ribuan jarum. Edrick mengepalkan tangan. “Aku tidak pengecut. Aku bertahan hidup untuk melawan kembali. Aku membawa Ashenlight bukan untuk diriku, tapi untuk kalian semua.”

Cahaya biru pedang itu tiba-tiba menyala lebih terang, dan bisikan-bisikan itu mereda. Reruntuhan Avermont lenyap, meninggalkan jalan berbatu yang mengarah ke pintu gerbang bercahaya.

Di aula latihan, Selene menghadapi sosok gurunya—hanya saja, kali ini gurunya memegang pedang dan menantangnya. “Kalau kau percaya pada orang lain, buktikan. Pertahankan kepercayaanmu di bawah tekanan.”

Selene menangkis serangan pertamanya. Serangan-serangan berikutnya datang lebih cepat, memaksa Selene bergerak dengan refleks. Saat gurunya menebas dari arah kiri, Selene sengaja membuka sisi kanannya, memberi ruang bagi ilusi gurunya untuk menyerang. Di detik terakhir, suara Edrick terngiang di benaknya: Kita bertahan karena kita bersama. Selene menutup matanya sejenak, lalu menangkis dengan gerakan balik, menjatuhkan ilusi gurunya.

Sosok itu tersenyum tipis sebelum lenyap. “Percaya bukan kelemahan. Ingat itu.”

Darius berdiri kaku di depan makam ayahnya. Bayangan Garrick berubah menjadi dirinya sendiri, tetapi lebih tua dan letih. “Kau akan mati tanpa arti, sama sepertiku,” kata bayangan itu.

Darius menatap pedangnya, lalu berkata, “Mati dengan arti bukan soal dikenang. Ini soal bertarung demi sesuatu yang lebih besar.” Ia menancapkan pedangnya ke tanah, dan bayangan itu pecah menjadi serpihan cahaya.

Mira berjalan melalui hutan gelap. Sosok ibunya muncul lagi, kali ini dengan wajah lembut. “Kau akan selalu menjadi anakku. Jangan biarkan rasa bersalah menghancurkanmu.”

Air mata Mira mengalir, tapi ia tersenyum pahit. “Aku tidak akan. Aku akan menyelesaikan ini, untuk Averland dan untukmu.” Sosok ibunya memudar, meninggalkan jalan yang diterangi cahaya bulan buatan.

Keempatnya, di tempat berbeda, merasakan getaran halus di tanah. Suara gaib yang sama kembali terdengar:

“Ujian pertama selesai. Kalian telah menghadapi bayangan diri kalian. Tapi Dunia Bayangan belum selesai menguji.”

Tiba-tiba, tanah di bawah mereka kembali bergeser. Jalan-jalan batu dan hutan ilusi runtuh, menyatu menjadi satu ruang besar. Dinding hitam mengelilingi mereka, dan mereka menemukan diri mereka berdiri bersama lagi.

Selene menoleh pada yang lain. “Semua baik-baik saja?”

Mira menyeka air matanya. “Sejauh ini, ya.”

Darius menoleh ke Edrick. “Apa pedang itu menunjukkan sesuatu padamu?”

Edrick menatap Ashenlight. “Pedang ini… terasa lebih berat sekarang. Seolah-olah ia menyerap sesuatu dari ujian tadi.”

Suara gaib itu kembali: “Langkah berikutnya menunggu di pusat Dunia Bayangan. Di sana, bukan hanya hati kalian yang akan diuji, tetapi tekad kalian untuk menanggung beban kebenaran.”

Jalan panjang bercahaya terbentuk di depan mereka. Tanpa berkata-kata lagi, mereka melangkah maju bersama.

---

Langkah mereka bergema di jalan bercahaya. Udara semakin dingin dan berat, seperti setiap tarikan napas membawa beban tambahan. Di ujung jalan, cahaya biru berubah menjadi merah pucat, menandai akhir lorong.

Mereka keluar ke ruang besar berbentuk lingkaran. Lantai batu dipenuhi retakan yang bersinar, dan di tengahnya berdiri sosok besar berbaju zirah hitam. Sosok itu memegang pedang raksasa, wajahnya tersembunyi di balik helm.

Suara gaib kembali menggema. “Inilah ujian akhir. Hanya mereka yang sanggup menanggung beban kebenaran yang dapat melangkah ke luar Dunia Bayangan. Hadapi bayangan yang diciptakan dari ketakutan terdalam kalian.”

Zirah hitam itu bergerak. Dalam sekali tebas, ia hampir mengenai Edrick. Dentingan Ashenlight dan pedang hitam terdengar seperti dentang lonceng yang memecahkan udara.

“Ini bayanganku?” desis Edrick, menangkis serangan kedua.

“Tidak hanya milikmu!” Selene berseru, memblokir ayunan samping yang mengarah ke Mira.

Makhluk itu bergerak cepat, seolah-olah mempelajari gaya bertarung mereka. Setiap gerakan tampak seperti gabungan teknik-teknik mereka sendiri, dimodifikasi untuk mengalahkan mereka.

Darius menggertakkan gigi. “Ini tahu semua langkah kita. Kita harus berubah!”

Mira menembakkan panah ke titik lemah di sela zirah. Panah itu mengenai, tetapi hanya meninggalkan goresan dangkal. Selene berlari memutari lingkaran, berusaha mencari celah, sementara Edrick terus menahan serangan demi serangan.

Makhluk itu menebas ke bawah, menghancurkan sebagian lantai. Getaran hebat membuat Mira hampir jatuh.

“Aku butuh gangguan!” teriak Mira.

Darius melemparkan belati kecil ke arah helm makhluk itu, menarik perhatiannya. Saat zirah hitam berbalik, Mira menembakkan panah ke arah sendi lututnya. Panah itu kali ini menancap lebih dalam, membuat makhluk itu berlutut sebentar.

“Sekarang!” Selene menerjang, menebas dari sisi kanan, membuat retakan di pelat zirah.

Edrick mengambil kesempatan itu. Dengan teriakan keras, ia menancapkan Ashenlight ke celah di dada makhluk itu. Cahaya biru pedang menyala terang, mengalir melalui retakan-retakan di tubuh lawan.

Makhluk itu mengeluarkan raungan terakhir sebelum pecah menjadi pecahan cahaya yang beterbangan, lenyap di udara.

Keheningan menyelimuti ruangan.

Suara gaib terdengar lagi, kali ini lebih tenang. “Kalian telah menghadapi ketakutan kalian. Dunia Bayangan mengakui tekad kalian. Jalan menuju Averland kini terbuka.”

Lorong cahaya biru terbentuk di sisi lain ruangan. Mereka saling menatap.

Mira menepuk bahu Edrick. “Itu… cukup mendebarkan.”

Selene menghela napas lega. “Kita berhasil, tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ini baru permulaan.”

Darius membersihkan pedangnya. “Kita harus keluar sebelum dunia ini berubah pikiran.”

Mereka berjalan menuju lorong cahaya. Saat melangkah masuk, suara gaib itu terdengar sekali lagi: “Ingat, kebenaran lebih berat daripada baja. Jangan biarkan beban itu menghancurkan kalian.”

Cahaya menyilaukan menyelimuti mereka, dan dunia berubah. Mereka merasakan tanah Averland di bawah kaki lagi—angin gunung, bau tanah basah, dan langit abu-abu Averland menyambut mereka.

Namun, ketenangan hanya bertahan beberapa detik. Dari kejauhan, asap tebal mengepul dari arah utara. Darius mempersempit matanya. “Itu desa Highridge. Garrick bergerak lebih cepat dari yang kita kira.”

Edrick mengepalkan tangan di gagang Ashenlight. “Maka kita juga harus lebih cepat.”

Mereka menatap satu sama lain, kelelahan jelas terlihat, tetapi tekad mereka semakin kuat. Tanpa banyak bicara lagi, mereka mulai berjalan ke utara, meninggalkan Dunia Bayangan.

1
Siti Khalimah
👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!