Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 — Tribun
SEMENTARA di luar, Sasha, Naya dan Elisa juga mengalami kejadian-kejadian ganjil. Dengan sabar mereka menunggu Davin, Rayan dan Tari dekat tangga tribun. Tangga beton yang mengarah ke kursi penonton itu dipenuhi grafiti tak karuan. Beberapa seperti coretan anak-anak nakal—dan beberapa lainnya menyerupai simbol aneh yang tak mereka mengerti. Di bagian atas tribun, kursi-kursi plastik biru banyak yang patah, beberapa terbalik, dan di tengahnya ada sebuah payung besar sobek yang seolah ditinggalkan dengan terburu-buru.
Sasha mencoba memotret grafiti di dinding tangga. Warna dan tulisannya tampak menarik. Dia tersenyum puas ketika melihat hasil jepretannya sangat bagus. Gambarnya begitu terang dan jernih.
Ketika dia mengarahkan kamera ke tribun, di layar ponselnya tampak kursi-kursi penuh dengan orang yang menonton seperti kolam itu sedang beroperasi. Seorang wanita muda menoleh ke arahnya dengan tatapan kosong.
Buru-buru dia menurunkan ponselnya. Bulu kuduknya begitu saja meremang.
Are you kidding me?
Dia tak percaya pada apa yang dilihatnya barusan. Dia belum pernah mengalami kejadian aneh seperti ini. Tanpa dikehendakinya jantungnya berdegup lebih cepat.
Tapi berani sumpah—dia dengan jelas melihat kerumunan orang di tribun. Dia bahkan seperti bertatapan dengan wanita muda itu. Tatapan kosong itu tidak mengancam—tidak menakutkan—dan juga tidak seperti ingin menyampaikan sesuatu.
Sasha melirik Naya dan Elisa yang berdiri hanya sekitar dua-tiga meter di samping kanannya.
Dia memandang tribun dengan mata telanjang—kosong total.
Tuh, kan!
Seolah ingin membuktikan bahwa keyakinannya benar, dia kembali mengangkat ponselnya. Ketika dia mencoba memotret lagi, semua kursi terlihat kosong. Tak terlihat pemandangan ganjil apa pun, kecuali kondisi tribun yang menyedihkan.
Tapi dari kejauhan terdengar sorakan samar seperti pertandingan renang sedang berlangsung.
Sasha memeriksa ulang fotonya. Tribun kosong.
Dia tiba-tiba mengangkat wajahnya ketika dari ujung tangga terdengar suara tap tap tap cepat seperti langkah kaki anak kecil yang berlari.
Napasnya tercekat.
Dia menoleh ke atas—tangga kosong.
Suara langkah itu mendadak berhenti.
Dia menarik napas dalam, berusaha menenteramkan hatinya. Dia yakin telinganya bukan merekayasa ilusi suara. Dia tak mungkin salah dengar. Suara itu ada tadi.
--
--
Tak jauh di depannya, Naya berdiri sambil mengamati papan tanda “Khusus Anak-anak” yang berderit pelan. Dia mendengar suara percikan air. Padahal kolam anak-anak nyaris kering. Entah apa yang menggerakkannya, dia melangkah pelan ke arah kolam itu.
Naya mengedarkan pandangannya ke sekeliling area kolam renang. Matahari sudah makin condong ke barat—membuat garis-garis gelap memanjang di permukaan lantai. Namun bayangan senja masih belum kelihatan. Dia tahu bahwa suasana kolam itu pasti sangat angker pada malam hari. Tapi sekarang belum malam. Lagian, dia tak sendirian di situ.
Dia melihat air hitam di kolam itu mulai bergerak seperti beriak. Seluncuran merah itu kelihatan bersih dan basah… lalu terdengar suara anak kecil tertawa pendek.
Ya Tuhan!
Secara spontan Naya mundur. Tapi ketika dia menoleh lagi, seluncuran kecil itu kembali kering dan kotor.
Naya menggeleng pelan. Entah mengapa, imajinasinya dapat menciptakan ilusi yang begitu nyata--seolah-olah apa yang dilihatnya ada dalam kenyataan.
Dia masih berdiri beberapa meter dari kolam anak-anak. Angin membawa aroma samar kaporit dan bunga kembang sepatu busuk dari semak di tepi kolam.
Dia tersentak ketika melihat papan tanda “Khusus Anak-anak” berayun lebih cepat dari sebelumnya, meskipun angin hampir tak terasa. Permainan imajinasinya lagi?
Dia menjauh perlahan. Dia menoleh ke arah Sasha. “Sha, kamu liat “itu” tadi?”
Sasha mengernyitkan alis. Dia sendiri masih belum berhasil meredam kegugupannya. “Liat apa?”
“Papan tanda itu.”
“Iya, kenapa?”
“Nggak papa.”
Naya mencoba tersenyum pada Sasha—sekedar untuk menutupi kegelisahannya. Hhh, rupanya hanya dia yang melihat itu tadi.
Dia berpura-pura memotret area itu—berharap gangguan perasaannya berhenti. Dia belum pernah mengalami kejadian ganjil yang begitu nyata. Biasanya dia cuma mendengar bunyi-bunyi aneh di lokasi angker. Tapi dia sekarang menyaksikannya dalam bentuk visual.
Dia menjepretkan kamera ke kolam anak-anak—dan dia tiba-tiba merinding. Ketika menengok ke layar ponsel, dia mendapati seluncuran merah itu tampak bersih dan basah di foto—berbeda dengan aslinya yang kotor dan berdebu.
Fotonya membuktikan bahwa semua bukan ilusi….
--
--
Pada saat yang sama, di kaki tangga tribun, Elisa merasa makin gelisah. Langit mulai berangsur kelabu—dan gelap malam seakan siap membawa kejadian-kejadian aneh yang mencekam ke depan matanya.
Tiba-tiba dia merasa ada “sesuatu” yang menyentuh lengannya.
Bukan hembusan angin… tapi “sentuhan”….
Dia cepat menoleh—tidak ada siapa-siapa di sebelahnya. Bulu kuduknya langsung berdiri. Napasnya semakin cepat. Lalu, dari arah kolam loncatan tinggi, terdengar bunyi benda logam jatuh dan bergulir.
Elisa menoleh ke arah Sasha untuk memberi tahu sahabatnya. Tapi suaranya tercekat ketika mendengar tangga di belakangnya terasa bergetar—seperti ada orang yang berlari turun dengan cepat.
Dia bergerak mundur. Dia memberanikan diri untuk menengok ke arah tangga—tak ada siapa pun di sana. Bunyi langkah di tangga barusan terasa begitu nyata. Dia benar-benar mendengarnya.
Ya Tuhan, tempat ini bikin imajinasi gue makin liar.
Padahal malam belum tiba. Padahal mereka belum melakukan syuting. Tapi dia sudah merasa tegang dan tercekam.
Dia sekarang percaya bahwa video-video seram Rayan ternyata bukan sekedar visual effects. Dia tak bisa membayangkan kenekatan Rayan berkeliaran seorang diri di komplek pemakaman pada tengah malam—atau makan nasi bungkus di kamar mayat rumah sakit. Sejak awal dia tahu cowok itu memang tidak waras.
Apa keedanan itu yang disukai Sasha pada diri Rayan?
Dia tak perlu berada di tempat seram ini. Dia tak perlu menguji nyalinya dengan cara ekstrem seperti ini. Dan dia tak perlu malu hanya karena mulai gemetar ketakutan.
Elisa melirik jam di ponsel—layarnya berkedip sebentar sebelum normal kembali. “Baterai penuh, kok…” gumamnya, mencoba menenangkan diri.
Namun rasa gugupnya kembali menggeliat. Dia melihat—benar-benar melihat—payung besar sobek di tengah tribun bergoyang pelan. Padahal tak ada angin yang cukup kuat menggerakkannya.
Elisa menahan napas. Tanpa sadar dia bergerak mendekati Sasha. Tapi matanya terus melirik ke arah tribun. Seolah ada ancaman yang menakutkan mengintai di sana.