Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9. Ulangan fisika
Arunika kembali datang lebih awal, bahkan gerbang baru dibuka. Purnomo sangat sibuk, ia mengeluarkan uang dan menyuruh putrinya naik angkutan umum.
"Sepertinya kamu tidak bisa Ayah jemput Nak. Kamu naik angkot aja ya!" Arunika menerima uang dua puluh lima ribu rupiah dari sang ayah.
"Iya Ayah, kan ulangannya cuma satu pelajaran!" jawabnya tak masalah sambil menyelipkan uang ke dalam saku seragamnya.
'Ayah pergi ya, assalamualaikum!' pamit Purnomo memberi salam.
"Waalaikumsalam, hati-hati Yah!' sahut Arunika membalas salam.
Purnomo membunyikan klaksonnya, Arunika menatap punggung ayahnya hingga menghilang di kelokan jalan. Baru lah ia melangkah masuk, kembali Mang Deden menyapanya ramah.
"Pagi Neng Arunika!"
"Pa-pagi ... Pak!' balas Arunika masih saja gugup.
Deden hanya tersenyum, ia sudah tau. Tapi ia tak mempermasalahkan hal itu. Arunika ke kelas dan mulai menyapunya. Hari ini giliran piketnya, kursi-kursi masih di atas meja.
Usai menyapu, ia menurunkan satu persatu bangku. Tak ada yang membantu, hingga separuh dari kursi-kursi itu turun, yang lainnya berdatangan. Tapi sama sekali tak menghiraukan Arunika yang kesulitan menurunkan bangku-bangku itu hingga selesai.
"Nah, beres!' lalu semua anak yang tadi di luar masuk, Raka juga masuk dengan tergesa-gesa.
Ia terkejut karena seluruh bangku sudah turun dari atas meja. Ia menatap Arunika yang juga memandangnya.
"Maaf," ujarnya penuh penyesalan pada Arunika. Raka juga piket hari ini.
"Tidak masalah!" geleng Arunika santai.
"Mestinya jangan angkat semua! Turunin aja bangkumu sendiri!" keluh Raka yang menyalahkan tindakan Arunika.
"Hah?" Arunika menatap Raka.
"Maksudku, jangan lagi seperti ini! Jangan terlalu baik!" jawab Raka mengklarifikasi ucapan sebelumnya.
Tak lama guru-guru mulai berteriak pada murid-muridnya. Mereka menyuruh semua segera masuk k kelas masing-masing.
Arunika duduk di bangkunya dengan nafas sedikit menderu. Keringat menetes dari pelipisnya. Raka melirik dan langsung menyeka dengan jemarinya.
Secara refleks, ,kepala Arunika menghindar, jemari Raka menggantung di udara. Lalu terdengarlah sorakan para murid di kelas itu.
'Cieee ... Cieee!"
Arunika buru-buru menunduk, wajahnya memanas. Sorakan teman-teman membuat suasana jadi makin canggung. Raka tersenyum tipis, lalu segera menarik tangannya.
“Udah, jangan bikin dia tambah malu,” tegur Raka setengah bercanda ke teman-temannya. Tapi justru semakin banyak yang bersorak.
Untunglah, bel tanda masuk berbunyi. Semua buru-buru kembali ke tempat duduk masing-masing. Guru pengawas datang membawa setumpuk kertas ujian Fisika.
“Baik, anak-anak. Hari ini kalian akan melaksanakan ulangan Fisika. Saya harap semuanya tenang dan fokus mengerjakan. Jangan ada yang menyontek!” suara lantang Pak Hari, guru Fisika yang terkenal tegas.
Hening. Suasana kelas berubah tegang. Lembar soal dibagikan satu per satu, hingga akhirnya sampai ke meja Arunika.
Jantungnya berdegup, tapi kali ini bukan karena rasa gugup — melainkan semangat. Matanya berbinar saat membaca soal pertama. Tangannya segera lincah menuliskan rumus di kertas buram.
Coretan angka-angka memenuhi halaman demi halaman. Arunika larut, seakan sedang bermain teka-teki yang paling ia sukai. Senyum kecil tak sengaja muncul di wajahnya setiap kali menemukan jawaban.
Raka yang duduk tak jauh darinya sempat melirik. Ia melihat bagaimana Arunika begitu menikmati ujian ini, berbeda dengan kebanyakan siswa lain yang wajahnya sudah kusut sejak soal pertama.
“Wah, kamu sangat menguasai pelajaran ini ya?” bisik Raka pelan saat pengawas sedang berjalan ke barisan lain.
Arunika mendongak, terkejut. Pandangannya bertemu dengan tatapan Raka yang penuh kekaguman.
“Eh... anu... iya, sedikit,” jawab Arunika kikuk, pipinya memerah.
Raka tersenyum manis. “Keren. Kamu kelihatan bahagia banget ngerjainnya. Aku malah pusing liatnya.”
Arunika hanya tersenyum kecil, lalu buru-buru menunduk lagi. Tapi senyum itu bertahan lama di bibirnya, bahkan membuat tangannya makin mantap menuliskan jawaban.
Di luar jendela, matahari merangkak naik. Suasana ujian berlangsung tenang, hanya suara pensil yang beradu dengan kertas.
Gesekan pulpen dan kertas, beberapa murid mencoba peruntungan dengan menghitung kancing seragamnya untuk soal pilihan ganda.
"A, ,b, c, d, a, b, c,.d, a, b!' wajah siswa itu langsung berbinar dan menghitamkan lingkaran pada kolom B.
Pak Guru pengawas hanya menggeleng melihat kelakuan muridnya itu. Tetapi, ia juga mengingat masa lalu yang juga sama kelakuannya.
'Semoga kamu nanti jadi anak yang paling sukses di antara semuanya, Nak!' ia mendoakan muridnya itu tulus.
Ia kembali berkeliling, berhenti di sisi Arunika. Coretan di kertas buram menarik perhatiannya. Bahkan Arunika bersenandung lirih ketika mengerjakan semua soalnya.
"Wah ... Keren!" pujinya dan membuat Arunika terkejut, ia mendongak.
Pak Guru mengambil coretannya, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampak kepuasan terlihat jelas.
"Lanjutkan Nak!" ujarnya lagi memberi semangat sambil menyerahkan kembali coretan Arunika.
'Makasih Pak!" sahut Arunika sangat lirih.
"Jangan buru-buru ngerjainnya. Santai saja! Waktu masih lama!" serunya lalu duduk di meja, ia juga mengerjakan soal-soal ujian itu.
Matanya tetap mengawasi, ia tak pernah melarang murid-murid membuka sedikit buku pelajaran. Asal tidak berisik, Pak Guru bernama Aswandi itu mentolerir contekan asal tidak gaduh dan membuat guru-guru lain berdatangan ke kelas itu.
"Ayo yang di belakang!" peringatnya ketika melihat dua siswa kasak-kusuk di tempat paling belakang.
"Jangan sampai Bapak berdiri dan mengambil kertas jawaban kalian!" ancamnya.
Lalu dua murid tadi pun tenang, mereka hanya mengintip buku di kolong meja. Meyakinkan lagi rumus yang pernah mereka pelajari.
Pak Aswandi selalu tau kapan pengawas hilir mudik memeriksa setiap kelas. Ia akan berdiri dan gegas menyambut mereka di pintu. Pengawas-pengawas itu hanya melongok kepala mereka ke dalam kelas. Melihat sebentar dan kembali berkeliling mengawasi kelas lain.
Semua siswa sangat menyukai Pak Aswandi yang tau kebutuhan murid-muridnya.
'Makasih Pak!' ucap salah satu siswa. Pak Aswandi langsung melotot dan memberi kode dengan jari telunjuknya di bibir.
'Ssshhh!" siswa itu langsung melipat bibirnya ke dalam.
Setelah semua jawaban dikumpulkan, Pak Aswandi meminta para murid duduk tenang. Suaranya terdengar berat namun tegas.
"Sebenarnya ini adalah perbuatan yang tidak mendidik sama sekali!" katanya jujur.
"Mestinya Bapak tegas, tidak mentolerir segala bentuk kecurangan."
Tatapannya menyapu seluruh ruangan. Para siswa hanya bisa menunduk. Mereka memang sudah belajar mati-matian, tapi tetap saja, pelajaran ini terlalu berat bagi sebagian besar dari mereka.
“Tapi Bapak pernah ada di posisi kalian,” lanjut Pak Aswandi, suaranya sedikit bergetar.
“Bapak dulu juga pernah menyontek. Tapi Bapak menekankan pada diri sendiri… hanya sekali seumur hidup Bapak melakukan kecurangan itu.”
Ia berhenti sejenak, menatap wajah-wajah muridnya yang tertunduk.
“Bapak tidak pernah meminta kalian mendapat nilai sempurna. Yang Bapak harapkan hanya satu: nilai yang kalian peroleh adalah hasil dari kerja keras kalian sendiri.”
Suasana tetap hening. Hanya terdengar helaan napas panjang dari Pak Aswandi.
“Semoga hari ini adalah hari terakhir kalian menyontek,” ujarnya lirih tapi tegas.
“Kelas dibubarkan.”
Beliau lalu berdiri, merapikan semua kertas ujian ke dalam amplop cokelat, dan bersiap meninggalkan kelas.
Serentak, seluruh siswa berdiri dan membungkuk hormat.
“Terima kasih, Pak Guru! Doakan kami sukses, agar bisa membanggakan orang tua kami!” seru mereka kompak, termasuk Arunika.
“Aamiin yaa Rabbal ‘alamin.” Senyum tulus Pak Aswandi mengiringi langkahnya keluar dari kelas, meninggalkan kesan mendalam di hati setiap murid yang mendengar kata-katanya.
Semua murid keluar kelas bersamaan, esok hari ujian terakhir mereka. Semua keluar gedung bertingkat itu, Arunika berjalan menuju jalan raya bersama dengan yang lainnya.
"Loh, nggak dijemput Run?" tanya Raka.
'Nggak Raka!" geleng Arunika menjawab.
"Oh, kalau gitu aku duluan ya!' pamit Raka menaiki ojek langganannya.
Arunika hanya mengangguk, ia menyebrang jalan besar itu dan di sana ia naik angkutan umum menuju rumahnya.
bersambung
Next?
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu