Alya, siswi SMA berusia 17 tahun dari keluarga miskin, tak pernah menyangka niat baik menolong pria tak dikenal justru membuatnya dituduh berzina oleh warga. Pria itu ternyata kepala sekolahnya sendiri. Reihan, 30 tahun, tampan dan terpandang. Untuk menyelamatkan reputasi, mereka dipaksa menikah dalam kontrak.
Kini, Alya menjalani hidup ganda: murid biasa di siang hari, istri kepala sekolah di balik pintu rumah.
Tapi mungkinkah cinta lahir dari pernikahan yang tak pernah diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 9
Alya duduk menyandar di dudukan kloset, tubuhnya masih mengenakan seragam sekolah yang basah kuyup. Rambutnya menempel di pipi, lehernya masih bergetar menahan sedu. Tasnya tergeletak di lantai, buku-buku basah, tintanya luntur, halaman-halaman mengerut seperti hatinya.
Tangisnya pecah tanpa bisa dihentikan.
Ia memukul-mukul dadanya sendiri, seperti ingin menghentikan denyut yang terus menyakitinya.
"Kenapa aku? Apa salahku?!"
Suara itu hanya bergema di dalam hatinya. Mulutnya terkunci, tapi kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tak pernah ada jawabannya.
"Kenapa aku harus dilahirkan seperti ini? Kenapa mereka semua memperlakukanku seolah aku kotor? seolah aku ini menjijikan?"
Alya meremas dadanya. Nafasnya tersengal, tubuhnya menggigil. Ia menyentuh lehernya, bagian yang tadi dilihat semua orang, lalu mulai menggosoknya keras-keras dengan ujung lengan seragamnya, seolah bisa menghapus bekas-bekas itu dari tubuhnya… dari hidupnya.
Kulitnya memerah, perih. Tapi tidak lebih perih dari hatinya yang seperti robek.
"Benci... benci... benci!" bisiknya, suara seraknya seperti ditelan ruang.
Benci pada dirinya sendiri. Benci karena tak mampu melawan. Benci karena membiarkan Reihan merenggut sesuatu yang tak bisa dikembalikan. Ia benci pada dunia. Pada semua yang diam saat melihatnya dipermalukan.
Pikirannya kembali ke pagi tadi. Semua tawa, teriakan, dan air yang mengguyur tubuhnya. Pandangan mereka. Sorakan mereka. Seolah-olah ia bukan manusia.
Padahal, ia hanya ingin belajar. Hanya ingin hidup tenang.
"Aku nggak boleh lemah... Aku nggak salah. Mereka yang salah. Mereka semua yang kejam, mereka tidak punya hati."
Ia mengusap air matanya. kasar, marah, penuh penolakan terhadap perasaan rapuhnya sendiri. Lalu ia bangkit. Mengambil tasnya yang basah dan menentengnya keluar dari toilet.
Hari masih siang. Langit begitu terang, tapi dunia Alya terasa lebih gelap dari malam.
Ia berjalan di trotoar sekolah, melewati gerbang tanpa pamit, tanpa menoleh. Tubuhnya gemetar, tapi langkahnya tegak. Kali ini, ia tidak kembali ke apartemen Reihan. Tidak akan lagi.
...
Di Rumah Sederhana Alya
Sari, ibunya, sedang menyapu halaman ketika matanya menangkap sosok kurus yang berjalan pelan dari arah gang. Ia mendekat, matanya membelalak.
“Alya?!”
Seragam putrinya basah, rambutnya kusut, wajahnya merah dan bengkak. Seperti habis diterjang badai.
Sari segera menjatuhkan sapu dan berlari menghampiri.
“Kamu kenapa, Nduk?! Astaga, kenapa begini?”
Alya hanya menggeleng pelan, tak sanggup menjawab. Suaranya habis. Ia mencoba tersenyum, senyum getir yang menyakitkan untuk dilihat.
“Enggak apa-apa, Bu. Alya cuma kehujanan tadi...”
Sari memandang ke langit yang cerah, panas menyengat. Tak ada hujan. Tapi ia tahu, ada badai lain yang menerjang putrinya hari ini. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi hanya mampu memeluk Alya perlahan.
“Alya mau istirahat dulu, ya...”
Ia melangkah masuk ke kamar sempit yang telah ia tinggalkan beberapa hari terakhir. Bau bantal yang familiar, lemari kayu tua, kasur tipis yang terasa lebih nyaman dari mana pun.
Ia rebah begitu saja, tanpa berganti baju. Tubuhnya basah, tapi hati dan pikirannya lebih basah oleh luka-luka yang tak terlihat. Ia memeluk bantalnya erat-erat, dan air mata kembali jatuh, tenang, tanpa suara.
"Aku nggak akan balik lagi... ke dunia mereka. Dunia yang bukan milikku."
Kata-kata itu terus ia ulang dalam hati.
Jika berhenti sekolah artinya menyelamatkan jiwanya, maka ia rela. Jika harus kembali hidup sederhana bersama orang tuanya, ia mau. Karena ia sudah muak menjadi bahan tawa, muak dipermainkan, muak dihancurkan oleh orang-orang yang bahkan tak mengenalnya.
Alya menatap langit-langit kamarnya. Matanya sudah tak bisa menangis lagi.
Yang tersisa hanya satu hal: keinginan untuk bertahan. Bukan demi orang lain. Tapi demi dirinya sendiri.
...
Dari balik kaca ruangannya, Reihan melihat semuanya. Melihat Alya yang diseret ke tengah lapangan, diteriaki, disiram air, tapi dia hanya menatapnya santai, seperti sedang menyaksikan kenakalan remaja biasa.
Ia melihat Alya berlari ke toilet, lalu berjalan meninggalkan gedung sekolah, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang, Tapi dia tak bergerak. Tak ada niat bertanya, "apakah kau baik-baik saja", apalagi sekedar meminta maaf, karena secara tidak langsung, ia lah penyebab Alya mengalami perundungan tersebut.
Baginya, itu bukan urusannya. Reihan hanya mengira Mungkin gadis itu akan pulang ke apartemen dan menangis seperti biasa.
Yang tidak ia tahu, Alya tidak akan kembali ke apartemen itu. Tidak akan pernah.