Seorang kultivator muda bernama Jingyu, yang hidupnya dihantui dendam atas kematian seluruh keluarganya, justru menemukan pengkhianatan paling pahit dari orang-orang terdekatnya. Kekasihnya, Luan, dan sahabatnya, Mu Lang, bersekongkol untuk mencabut jantung spiritualnya. Di ambang kematiannya, Jingyu mengetahui kebenaran mengerikan, Luan tidak hanya mengkhianatinya untuk Mu Lang, tetapi juga mengungkapkan bahwa keluarganya lah dalang di balik pembunuhan keluarga Jingyu yang selama ini ia cari. Sebuah kalung misterius menjadi harapan terakhir saat nyawanya melayang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dunia Bawah Dan Kolam Petir Neraka!
Setelah perjalanan cukup panjang. Lumo dan Qingwan sampai di lembah tandus. Udara bergetar oleh panas yang tidak tampak, seolah dunia bawah itu sendiri sedang bernafas dengan hembusan kematian. Tulang-tulang besar berserakan di sepanjang lembah, menancap di tanah hitam seperti tugu-tugu keputusasaan. Ada yang masih menyimpan bekas cakar, ada yang retak di tengah, ada pula yang menghitam terbakar setengahnya, semua menyimpan kisah dari makhluk yang pernah hidup di dunia bawah ini.
Bau darah bercampur busuk menyebar ke setiap penjuru, menusuk hidung dan menekan dada. Di tengah lembah, kabut merah melayang rendah, menutup pandangan sejauh mata memandang. Lumo berhenti di antara tumpukan tulang itu, tatapannya menyapu udara, menangkap sesuatu yang samar.
“Jangan lengah,” ucapnya pelan namun tegas. Suaranya seperti petir yang teredam, memotong keheningan lembah. Qingwan mengangguk tanpa ragu, menyimpan kepercayaannya di dalam dada, lalu berdiri sedikit lebih dekat ke belakangnya.
Lumo menatap kabut di depannya, lalu mengangkat tangannya sedikit. Angin yang nyaris tak terdengar berputar di sekitar, dan dari balik kabut itu perlahan muncul sosok perempuan.
Langkahnya tidak menimbulkan suara. Ia melangkah seolah udara sendiri yang memikulnya. Gaun merah darah melingkar di tubuhnya, memantulkan cahaya seperti cairan hidup yang terus mengalir. Wajahnya indah namun membawa aura kematian, dan di antara rambut hitamnya tampak sepasang tanduk merah kecil, berkilau samar seperti kristal neraka.
“Oh,” ucapnya lembut, suaranya seperti bisikan dari dasar sumur. “Ternyata kau sudah menyadari kehadiranku.” Senyum tipisnya terbit, dingin namun menawan. “Bagus sekali. Belum pernah ada manusia yang sampai sejauh ini di dunia bawah.”
Lumo tidak menjawab. Ia hanya menarik Qingwan agar berdiri di belakangnya, gerakannya tenang dan tak tergesa. Kedua tangannya disilangkan di belakang tubuhnya, sikapnya tetap tenang seperti batu yang tidak mengenal panas ataupun takut.
Wanita itu mendekat perlahan. Matanya menatap tajam, namun di dalam tatapan itu ada sesuatu yang licik, seperti ular yang menyusup di balik senyum. “Kau tampan dan tenang,” katanya sambil mengulurkan tangan untuk menyentuh dada Lumo. “Sayang sekali, manusia sepertimu jarang muncul di dunia kami.”
Namun sebelum jarinya menyentuh kulit, nyala biru muncul di sekeliling tubuh Lumo. Api itu tidak meledak, namun membakar dengan kesunyian yang angkuh. Ujung kuku iblis itu tersentuh api, dan seketika membara, mengelupas, lalu meleleh jadi debu.
Iblis itu tersentak mundur, matanya membelalak kecil, tetapi bibirnya masih tersenyum. “Kau kasar sekali,” katanya manja, lalu menatap ujung jarinya yang hangus dan terpaksa ia potong sendiri agar api itu berhenti menjalar.
Lumo menatapnya dengan dingin. Di belakangnya, Qingwan menggenggam ujung bajunya, ngeri oleh aura gelap yang menyelimuti tempat itu.
“Karena kau di sini,” ucap Lumo pelan, “tepat sekali. Aku ingin tahu di mana Kolam Petir Neraka berada.”
Senyum iblis itu melebar, menampakkan gigi tajamnya. “Jika ingin tahu, bukan hal mustahil,” katanya lembut. Ia maju satu langkah, lalu berhenti ketika nyala biru kembali muncul di tubuh Lumo. Api itu berdenyut halus, seperti napas seekor naga purba.
Iblis itu mengangkat tangannya, menyilangkan di depan dada, seolah menyerah, tapi matanya tetap menyimpan niat yang tersembunyi. “Bagaimana jika kita bertukar sesuatu? Saling memberi keuntungan. Aku beritahu kau jalan menuju Kolam Petir Neraka, dan kau beri aku sesuatu sebagai gantinya.”
Lumo tidak menunjukkan minat sedikit pun. Ujung jarinya bergerak ke depan, dan dari sana muncul seberkas api biru yang berputar perlahan.
“Bocah,” kata wanita itu dengan nada kesal, “kau tidak bisa diajak bernegosiasi rupanya. Aku sudah bersikap baik padamu, tapi kau tidak menghargainya.”
Lumo menatapnya datar. “Kebaikan apa yang kau bicarakan?” ucapnya ringan. Lalu api itu melesat.
Ledakan cahaya biru menerangi kabut merah. Iblis itu menghindar cepat, membuat tengkorak raksasa di belakangnya terbakar seketika menjadi abu. Tatapan iblis itu berubah. Api itu bukan api biasa. Ia bisa merasakan kekuatan yang melampaui batas dunia bawah.
Ia menatap Lumo dengan pandangan lebih hati-hati. “Jika kau benar-benar ingin tahu lokasi Kolam Petir Neraka, aku bisa memberitahumu. Tapi tentu saja, aku butuh imbalan. Bukankah manusia selalu menukar sesuatu dengan harga tertentu?”
“Apa yang kau inginkan?” tanya Lumo tenang.
Senyum iblis itu melengkung indah namun beracun. Ia melangkah mendekat lagi, tapi berhenti ketika api biru di ujung jari Lumo bergetar seperti ancaman halus. Ia menarik napas pelan, lalu bersedekap. “Aku bisa mengantarkanmu ke sana. Bahkan aku bisa memastikan kau memurnikan Petir Neraka tanpa gangguan. Aku akan memohon izin langsung pada Raja Iblis yang terhormat.”
Kata itu membuat udara di sekitar bergetar. Lumo menyipitkan mata. “Raja iblis?”
“Tentu saja,” jawabnya dengan nada lembut. “Kau mungkin tidak tahu di mana kau berdiri sekarang. Dunia bawah ini terbagi dalam beberapa lapisan, dan lapisan ini adalah tingkat rendah. Tapi tetap saja, ada Raja Iblis yang menguasainya. Dan Kolam Petir Neraka... adalah sesuatu yang bahkan para iblis tingkat tertinggi sekalipun takut mendekatinya.”
Lumo diam, menatapnya tanpa ekspresi, namun dalam pikirannya berputar kemungkinan yang muncul dari kata-kata itu.
“Kolam Petir Neraka,” lanjut wanita itu, “tercipta dari zaman kuno. Saat perang besar antara para iblis dan para dewa. Ada dua kekuatan yang saling bertabrakan begitu dahsyat hingga langit dan bumi runtuh. Dari kehancuran itu tercipta kolam itu, sumber petir yang tidak bisa dipadamkan, gabungan antara kekuatan dewa dan iblis.”
Ia menatap kosong ke tanah, seolah mengenang sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak mengerti. “Namun tidak semua percaya kisah itu. Paman ku, sebelum pergi ke dunia bawah tingkat tinggi, sempat memperingatkanku... jangan pernah mencoba memurnikan Petir Neraka. Karena ia bukan sekadar energi. Ia adalah dua darah, dua Dao, dari dua ras yang berbeda.”
Lumo mengerutkan kening sedikit, merenung dalam diam. “Lalu,” katanya perlahan, “apa yang kau inginkan?”
Wanita itu tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Qingwan. Tatapannya licin, penuh nafsu yang tak bisa dijelaskan. “Aku ingin gadis itu,” katanya lembut. “Tubuhnya akan menjadi wadah yang sempurna. Dengan begitu aku bisa meninggalkan dunia bawah ini.”
Udara di sekitar seketika mendingin. Qingwan pucat, kedua tangannya menggenggam kain birunya erat-erat.
Lumo tidak bereaksi secara berlebihan. Ia hanya menatap iblis itu dengan mata datar, lalu berkata pelan. “Jika kau ingin tubuh gadis ini, bersiaplah untuk mati.”
Ujung jarinya berpendar biru.
Iblis itu mundur cepat, wajahnya berubah murka. “Kau... manusia busuk! Lebih kejam dari iblis itu sendiri!”
Lumo tersenyum samar. “Kau tidak jujur sejak awal. Aku hanya membalas dengan perbuatan yang setimpal.”
Wanita itu terdiam, menatapnya penuh kebingungan. “Bagaimana kau tahu?”
Lumo tidak menjawab, dan dalam diamnya itu, ketakutan mulai tumbuh di mata sang iblis. Ia menunduk perlahan. “Baiklah... aku akan memberitahumu segalanya. Tapi kau harus berjanji membawaku keluar dari dunia ini.”
Lumo meletakkan kedua tangannya di belakang punggung lagi. “Katakan. Sambil kau tunjukkan jalan menuju Kolam Petir Neraka.”
Wanita itu mengangguk pelan, lalu berbalik, langkahnya ringan namun aura gelapnya terasa menekan. Qingwan menatap punggungnya dengan cemas, tapi sebelum sempat berbicara, Lumo berucap datar, “Kau tidak perlu khawatir. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu.”
Qingwan menatapnya, matanya bergetar halus, lalu tersenyum kecil. “Wan’er percaya pada senior.”
Lumo mengangguk tipis. Langkahnya perlahan menyusul di belakang wanita iblis itu, sementara kabut merah di sekeliling mulai menebal. Tulang-tulang di tanah bergetar samar, seolah dunia bawah itu sendiri sedang berbisik, menyambut langkah mereka yang menuju ke rahasia terdalam Kolam Petir Neraka.
Langkah mereka menelusuri dunia bawah terdengar berat, bergema samar di antara tebing batu yang membentang seperti rahang raksasa purba. Tanah di bawah kaki retak-retak, mengeluarkan kepulan asap hitam yang beraroma belerang, dan langit di atas berdenyut dalam warna merah darah, seolah dunia itu bernafas dengan amarah yang tak pernah padam. Di sela jalan yang meliuk seperti nadi bumi, udara penuh dengan energi jahat yang menekan, dan setiap napas seolah menyusupkan racun halus ke dalam paru-paru.
Wanita iblis itu berjalan di depan, langkahnya ringan namun hati-hati, sementara Lumo dan Qingwan mengikuti dari belakang. Sesekali ia menoleh, rambut merahnya berkibar ditiup angin panas yang membawa suara samar jeritan dari kejauhan, suara jiwa-jiwa yang terperangkap di dunia bawah, abadi dalam penderitaan.
Perjalanan mereka akhirnya membawa ke sebuah goa besar yang mulutnya menganga seperti monster yang lapar. Dari dalamnya keluar aliran kabut merah yang berputar perlahan, mengandung aura kehancuran dan kematian. Tanpa banyak bicara, Wanita iblis itu masuk lebih dulu, diikuti Lumo dan Qingwan.
Di dalam goa, suara langkah bergema panjang. Dindingnya dipenuhi batu hitam berkilat seperti kaca obsidian, dan sesekali menyala samar, menampakkan bayangan wajah-wajah yang tersiksa. Wanita iblis menatap sekilas sebelum berkata lirih, “Namaku Linzhi. Itu nama yang diberikan ayah dan ibuku sebelum mereka mati.” Suaranya datar, tapi di ujungnya ada gema lembut, seperti seseorang yang berusaha mengingat sesuatu yang nyaris padam.
“Biasanya iblis tidak memiliki nama. Kami dikenal lewat bau darah atau jenis dosa yang kami lahirkan. Tapi ayah dan ibuku memberiku nama manusia, katanya agar aku bisa mengingat cahaya, meski hidup di kegelapan.”
Lumo berhenti sejenak, menatap punggung Linzhi yang tersapu cahaya merah. “Nama yang indah,” katanya tenang. Nada suaranya datar, namun dalamnya mengalir ketulusan yang jarang ia tunjukkan. Linzhi sempat terdiam, pipinya memerah samar, sebelum kembali berjalan tanpa menoleh.
Perjalanan terus berlanjut. Semakin jauh mereka melangkah, semakin dalam pula hawa jahat meresap. Linzhi mulai menjelaskan dengan suara datar namun jelas. Tentang tujuh jenderal iblis, masing-masing setara dengan Nascent Soul awal pada kultivator manusia. Mereka adalah tangan kanan raja iblis, penguasa dunia bawah. “Kekuasaan di dunia ini tidak mutlak,” katanya, “Raja iblis bisa digantikan kapan saja, selama seseorang memiliki kekuatan yang lebih besar darinya. Dunia bawah tidak mengenal kesetiaan, hanya kekuatan yang menentukan hirarki.”
Lumo mendengarkan tanpa menyela. Setiap kata disimpan rapi di dalam pikirannya seperti potongan teka-teki besar yang perlahan membentuk gambaran utuh tentang tempat ini. Qingwan berjalan di sisi Lumo, matanya waspada, sesekali melirik ke arah goa yang berkelok seperti ular batu.
Saat mereka keluar dari sisi lain goa, cahaya merah menyilaukan menyambut. Langit di luar tetap sama, merah pekat dengan kilatan hitam yang menari di antara awan seperti darah yang mendidih. Tanah di hadapan mereka tandus, tidak ada kehidupan sedikit pun, hanya hamparan datar yang membentang sejauh mata memandang.
Linzhi menatap jauh ke depan. “Kolam Petir Neraka dijaga ketat,” ujarnya. “Seratus iblis dan satu jenderal iblis selalu mengawasi. Raja iblis sudah tahu ada dua manusia yang masuk ke dunia ini. Mereka sedang memperketat penjagaan, terutama di sekitar kolam.”
Lumo tidak menunjukkan keterkejutan. Tatapannya tetap tenang, hanya cahaya biru samar di matanya yang bergetar lembut. Ia sudah menduga sejak pertama kali melangkah ke wilayah ini. “Kau tahu cara menembus penjagaan itu?” tanyanya datar.
“Sebenarnya,” jawab Linzhi, “ini masa tidur panjang bagi para iblis. Kami menjalani siklus tidur setiap seratus tahun sekali. Jika kau ingin menerobos masuk ke Kolam Petir Neraka, sekarang adalah waktu terbaik. Sebagian besar iblis sedang tertidur dalam gua-gua mereka, memulihkan kekuatan dan melupakan lapar.”
Ia melanjutkan ceritanya panjang lebar. Tentang masa lalu, tentang beberapa manusia yang pernah muncul di sekitar kolam itu puluhan tahun lalu. Mereka datang dengan niat mengendalikan atau memurnikan Kolam Petir Neraka, namun gagal total. “Kultivasi mereka merosot, sebagian bahkan mati tanpa suara. Mereka tak tahu bahwa kekuatan kolam itu bukan hanya petir, tapi perpaduan darah dewa dan iblis. Aku melihat mereka dari kejauhan, tapi tidak ikut campur. Saat itu, bahkan raja iblis pun tertidur.”
Lumo hanya mendengarkan dalam diam. Ia tahu, manusia yang disebut Linzhi pasti petinggi negara Gizo. Yang pernah di ceritakan Fengyuan.
Setelah melewati dataran panjang tanpa akhir, mereka tiba di depan sebuah batu besar menjulang tinggi, tertutup kabut merah pekat. Batu itu bergetar pelan, memancarkan gelombang spiritual yang mengandung tanda-tanda ruang tersembunyi. Linzhi berhenti, menoleh pada Lumo. “Ini pintu rahasia. Hanya aku yang tahu. Jalur ini langsung menuju Kolam Petir Neraka. Tapi…”
Belum sempat ia melanjutkan, Lumo sudah mengangkat tangan. Sebuah tungku hitam kecil muncul dari cincin penyimpanannya, berputar perlahan di udara. Dengan gerakan jari yang halus, ia membentuk segel rumit. Ratusan rune biru muncul, melingkari tungku itu seperti bintang di langit malam. Api biru menari di permukaannya, lalu tutup tungku terbuka perlahan. “Masuklah,” ucapnya pelan. “Tungku ini sudah kulapisi dengan formasi penghalang tingkat tinggi. Tidak akan ada yang bisa mendeteksi, bahkan kultivator Nascent Soul akhir sekalipun.”
Linzhi menatapnya dengan senyum samar, namun sebelum masuk, ia membentuk segel tangan iblis di udara. Batu besar itu bergetar, lalu terbuka membentuk celah spasial yang mengeluarkan cahaya merah tua. “Kalian bisa masuk. Jalur ini hanya terbuka selama satu napas.” Setelah itu, tanpa ragu, ia masuk ke dalam tungku hitam.
Lumo menutup tutupnya dan menyimpannya kembali ke dalam cincin. Ia menatap Qingwan sejenak, matanya lembut tapi tegas. “Ayo.”
Qingwan mengangguk. “Baik, Senior.” Lumo mengulurkan tangan, menggenggam tangan Qingwan agar tidak terpisah ketika berteleportasi. Saat mereka melangkah masuk, udara di sekitar mereka pecah menjadi cahaya biru dan merah. Batu besar itu bergetar keras, lalu celah spasial menutup tanpa suara, meninggalkan keheningan mutlak.
Di sisi lain, dunia bawah bergetar seolah merespons sesuatu yang besar.
Ratusan iblis berkumpul di dataran luas, tepat di bawah langit merah pekat. Mereka tertawa, menjerit, dan meneguk darah dari cawan batu, darah yang berwarna ungu tua, mengalir dari tubuh-tubuh yang tergantung di pilar-pilar tulang. Bau anyir memenuhi udara, bercampur dengan aroma logam dan belerang.
Seratus meter dari kerumunan itu, berdiri sosok besar, tubuhnya kekar, kulitnya sehitam batu vulkanik, dan di kepalanya sepasang tanduk panjang memantulkan kilat merah. Pedang besar bersimbah rune iblis ia peluk di dada, matanya menatap ke arah jauh, ke arah kilatan merah kehitaman yang membelah cakrawala.
Kolam Petir Neraka.
Cahaya petir memantul di permukaannya, merah dan hitam bergulung-gulung, seperti darah yang mendidih di neraka. Suara gelegar petirnya terdengar seperti jeritan ribuan arwah, mengguncang jiwa siapa pun yang mendengarnya. Aura kehancuran dari kolam itu begitu besar hingga udara di sekitarnya bergetar, menarik dan menolak sekaligus. Bahkan iblis-iblis di sana, sekuat apa pun mereka, tak berani mendekat terlalu jauh.
Di kejauhan, dua cahaya biru samar muncul dari langit, sebuah tanda kedatangan yang tak terlihat oleh mata iblis, namun bumi di bawahnya tahu: badai yang lama tidur, akan segera bangkit.